16 Februari 2010

» Home » Republika » Fenomena Politik S

Fenomena Politik S

Sofyan Syafri Harahap
(Guru Besar FE Universitas Trisakti)

Hubungan antara state atau persisnya elite politik dan rakyat di Indonesia sudah lama menjadi bahan kajian para peneliti politik, kajian-kajian tentang ini banyak keluar dalam era Orde baru. Secara umum hubungan antara state dan rakyat itu bisa disebut sebagai hubungan dengan berbagai dimensi dan sifat. Untuk melihat lebih jelas sifat hubungan ini, ada baiknya kita melihat dari beberapa jenis kelompok, misalnya, hubungan antara state dan rakyat miskin, state dengan orang kaya, dan state dengan birokrat. Pada tulisan ini mari kita lihat beberapa fenomena mutakhir tentang ketiga sifat hubungan itu dalam era SBY saat ini.

State dengan orang miskin
Tidak bisa disangkal hubungan state dengan rakyat miskin hanya terjadi pada saat menjelang pemilu minimal sekitar setahun menjelang pemungutan suara.

Pada saat ini rakyat akan selalu menjadi buah bibir dan bahkan menjadi perhatian partai politik dan pemerintah, baik calon baru atau incumbent. Semua berlomba-lomba untuk mengambil hati rakyatnya.

Hal ini lumrah karena pada periode ini sangat dibutuhkan suara rakyat untuk bisa menjadi dasar dalam pengangkatan anggota DPR, DPD, dan akhirnya bupati/wakil, wali kota/wakil, gubernur/wakil, dan presiden/wakil presiden. Pada era menjelang pemilu nyaris tak terdengar penggusuran, pengambil alihan rumah TNI, dan kekerasan yang dilakukan pejabat, state kepada rakyatnya. Justru sebaliknya yang terjadi adalah pemberian santunan, kenaikan honor, pembagian beras raskin, peresmian proyek, perbaikan jalan dan jembatan, dan berbagai iming-iming lainnya untuk kepentingan rakyat. Janji-janji politik yang bersifat surga idaman juga akan bertaburan, bahkan didukung oleh kontrak politik. Namun, jangan kecewa pola hubungan state dan rakyat ini akan berakhir segera setelah proses pemilu selesai.

Semua janji politk dan hembusan angin surga itu akan berakhir sejalan dengan berakhirnya pesta demokrasi. Memang, tepatlah istilah ''pesta demokrasi'' selesai pesta selesai urusan. Masalah saat pascapemilu adalah masalah lain, kalau tadi memenangkan pilkada/pilpres saat ini adalah membayar dana pilkada/pilpres, membayar balas jasa kepada yang memberikan kontribusi pemilu, serta secara pelan-pelan mempertahankan kekuasaaan dengan segala macam cara.

State dan orang kaya
Hubungan state dan orang kaya bisa disebut seperti hubungan 'patron client'. Pejabat yang merupakan representasi dari state selalu dan akan terus mencari client-nya (umumnya orang kaya) dalam menjalankan ambisi politiknya menguasai kekuasaan.

Karena dalam negara demokrasi kapitalis maka tidak ada jalan menuju kekuasaan tanpa biaya. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan sang calon untuk proses perebutan kekuasaan itu semakin besar kemungkinan untuk bisa berhasil meraih jabatan yang diidamkan.

Client, orang kaya tadi juga sangat membutuhkan patronnya di ranah kekuasaan. Kebutuhan patron oleh pengusaha mutlak perlu dalam negara ''demokrasi pura-pura'' seperti di negara sedang berkembang seperti di Indonesia.

Dalam sistem pemerintahan seperti ini kekuasaan state atau pejabat jauh melebihi tanggung jawab publik yang harus ditunaikannya. Inilah yang menjadi pemicu korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang tidak akan mungkin bisa diselesaikan oleh KPK. Polri, kejaksaan, hakim apalagi dengan pidato ''menghibur'' Presiden sekalipun. Dengan taburan duit yang dilakukan oknum client ini secara menyebar tidak hanya kepada elite puncak, tetapi juga harus ditebar kepada kelompok menengah dan kecil, maka kelanggengan bisnis sang client akan dijamin dan dieprjuangkan oleh patron (elite politik).

State dan birokrat
State dan birokrat harus sejalan dan elite politik selalu menjadikan birokrat menjadi kenderaan politik. Ini sebabnya Soeharto di zaman Orde Baru menjadikan birokrat sebagai underbow Golkar, partai pemerintah saat itu. Korpri diberikan berbagai fasilias dan keleluasaan mengambil rente birokrasi (korupsi) dari rakyat dan organisasi ini dijadikan bagian dari partai berkuasa dan carreer path tanpa ada hak untuk melawan dan memberikan penolakan terhadap keinginan elite.

Hubungan elite politik dan birokrat inilah yang menjadi alasan kenapa selalu kepada daerah, Presiden yang ikut pemilu selalu mudah untuk memenangkan pemilu. Karena hubungan antara elite politik dan birokrasi sudah kadung kuat yang dibangun selama kekuasaannya.

Fenomena penghentian kendaraan bemo di Jakarta yang berjumlah hampir 2.000 (dengan jumlah tanggungan keluarga bisa mencapai 10.000 jiwa), sudah beberapa kali tertunda (mungkin karena pemilu/ pilkada) adalah fenomena yang bisa menjelaskan hubungan state (elite politik) rakyat miskin ini.

Pemerintah dan aparatnya bahkan Universitas, LIPI, BPPT tidak pernah mencari jalan keluar untuk menyelamatkannya, misalnya, dengan bantuan transformasi teknologi, redesain, dan alokasi atau pengalihan pekerjaan mereka yang terkena. Sebaliknya, apa yang terjadi dengan Anggoro dan Anggodo Widjoyo, Robert Tantular, Artalyta, dan konglomerat lain? Ternyata berbanding terbalik 180 derajat. Hubungannya menggambarkan fenomena hubungan elite politik dan orang kaya.

Fenomena hubungan politik dan birokrat hampir sama dengan hubungan elite politik dan orang kaya. Hal ini bisa dilihat dari cara SBY dan lingkarannya memberikan berbagai fasilitas kepada para menteri, gubernur, bupati DPR, guru, lurah, perangkat desa, dan alat birokrat lainnya.

Mereka ini ditaburi juga dengan berbagai fasilitas, mulai dari honorarium, uang ini uang itu, kesempatan membagi-bagi proyek bagi client-nya, dan bahkan membiarkan mereka melakukan korupsi (misalnya tidak memberi izin pemeriksaan).

Birokrat akan diberikan perlindungan sepanjang pandai meniti buih, dan jika mau lebih aman, harus melaksanakan 'waskat' (Wajib setor ke atas) dalam berbagai bentuk halus dan kasar.

Opini Republika 16 Februari 2010