16 Februari 2010

» Home » Okezone » Kasus Century dan Marketing Politik

Kasus Century dan Marketing Politik

PENANGANAN kasus Bank Century oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR semakin menarik untuk dicermati. Di balik diskusi-diskusi teknis perbankan dan keuangan, tersirat pesan politik yang sangat kental.

Terlebih setiap rapat bersifat terbuka dan disiarkan langsung oleh media televisi. Liputan sejumlah media cetak juga membuat pembahasan rapat menjadi sorotan publik. Semakin luas masyarakat (pemilih) dapat melihat performa politisi, rapat-rapat di Pansus merupakan investasi politik.

Dinamika Pansus merupakan aktivitas marketing politik, tidak hanya bagi politisi, melainkan juga bagi partai politik menghadapi sejumlah pilkada dan Pemilu 2014. Sejumlah penelitian ilmiah dalam marketing politik mengedepankan peran penting permanent campaign dibandingkan hanya dengan electoral campaign.

Kampanye permanen atau yang lebih dikenal sebagai kampanye politik merupakan investasi politik jangka panjang. Politisi berusaha untuk menegaskan political positioning di antara pesaingnya. Positioning yang dilakukan akan dapat memudahkan proses pembedaan (differentiation) sekaligus diharapkan meningkatkan apresiasi dan dukungan (calon) pemilih terhadap seorang politikus dan/atau partai politik.

Menggunakan skema ini untuk menganalisis dinamika Pansus Angket Bank Century, maka proses yang terjadi di setiap tahapan merupakan panggung politik bagi politisi dan partai politik. Tidaklah mengherankan apabila tiap anggota Pansus berusaha menjadi yang “terbaik” untuk dapat “terlihat” secara politis di mata pemilih.

Begitu juga dengan tiap-tiap fraksi berusaha untuk menjadi “pengawal” kerja Pansus. Kinerja dan keberhasilan Pansus menjadi “taruhan politik” dan berisiko tinggi apabila selama proses dan outputnya dianggap kurang memuaskan. Persaingan menjadi kata kunci untuk memahami dinamika politik seputar Pansus. Persaingan dalam kampanye permanen bersifat pembangunan citra politik (political image building).

Strategi ini bersifat laten dan perlu dilakukan terus-menerus sehingga konsistensi menjadi kata kunci. Pemilu 2009 baru saja dilewati dan kampanye permanen baru saja di-launching. Dalam sistem persaingan politik yang semakin terbuka, setiap persoalan nasional dapat menjadi peluang kampanye jangka panjang bagi para politikus dan partai politik. Pembangunan citra membutuhkan “kasus” dan keberpihakan politik.

Tidaklah mengherankan apabila ajang memperebutkan pengaruh politik terjadi dalam setiap kasus yang akan diangkat melalui Pansus DPR. Lantas bagaimana dengan lobi-lobi politik? Penyelesaian ini merupakan mekanisme yang ampuh selama periode Orde Baru. Namun di era keterbukaan politik pasca-Reformasi, masyarakat berkeinginan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik strategis.

Termasuk juga di lembaga legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Penyelesaian Pansus Bank Century melalui lobi-lobi politik menjadi semakin sulit dilakukan di saat masyarakat menginginkan transparansi proses politik. Terlebih pandangan awal tiap fraksi sudah disampaikan sehingga sulit untuk bisa berbeda drastis dalam pandangan akhir. Perang imej terjadi secara terbuka antara kekuatan politik yang menentukan arah hasil Pansus.

Partai Golkar menempatkan isu reshuffle kabinet dan kasus tunggakan pajak sebagai usaha negosiasi dan lobi politik. Namun tentu hal ini akan berisiko tinggi apabila Partai Golkar pada akhirnya mengambil sikap yang bertolak belakang dari pandangan awal yang telah disampaikan. Apabila Golkar berubah drastis, hal tersebut dapat menjadi blunder politik. Masyarakat (pemilih) akan mengartikan hal tersebut sebagai bentuk inkonsistensi Partai Golkar dan tentu akan membahayakan konstruksi kampanye permanen Golkar untuk 2014.

Pembelajaran menarik dari kasus Bank Century adalah akuntabilitas pengambil keputusan publik yang bersifat strategis. Pemerintah perlu menyampaikan argumen-argumen tentang mengapa dan kenapa sebuah keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diputuskan. Tidak hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, melainkan juga menghindari gugat menggugat di kemudian hari.

Andaikan pada November 2008 pihak yang mengambil keputusan untuk bailout dan/atau penyertaan modal sementara (PMS) menjelaskan kepada publik mengapa, bagaimana, dan hasil yang diinginkan disampaikan secara transparan, kasus Bank Century tidak akan terjadi. Tentu, bagi politisi dan partai politik, kasus Bank Century memberikan peluang sekaligus ancaman bagi pembangunan citra positif mereka di mata pemilih.

Berharap bahwa Bank Century adalah kasus terakhir yang “terpolitisasi” akan sangat tergantung pada penerapan good governance dan transparansi pengambil kebijakan. Terlebih lagi di tengah-tengah biaya marketing politik yang sedemikian mahal, akses ke sumber-sumber pembiayaan politik dapat menjadi faktor penentu (determinant factor) bagi kemenangan pemilu dan pilkada.

Ketidaktransparanan para pengambil kebijakan dapat dengan mudah diartikan sebagai sebuah bentuk kolusi dan menjadi rumor politik tentang sumber pembiayaan politik. Medan pertempuran politik yang begitu intens seputar Pansus Bank Century jangan juga menciptakan disinsentif bagi pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah. Bagaimanapun pembangunan ekonomi nasional perlu diletakkan pada koridor persaingan global.

Oleh karena itu, kita semua membutuhkan birokrat-birokrat yang inovatif, tapi dalam koridor ketentuan yang berlaku. Menjadikan momentum politik dalam Pansus Bank Century sebagai pembangunan citra politik adalah sebuah kewajaran politik, tetapi tetap menjaga para pengambil keputusan publik merasa “aman” dan “terlindungi” adalah agenda yang perlu diselesaikan di kemudian hari. Dengan demikian, dinamika politik tidak menciptakan “trauma” bagi para pengambil kebijakan.(*)

FIRMANZAH, PHD
Dekan Fakultas Ekonomi UI  

Opini Okezone 17 Februari 2010