16 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Integritas Diri Akademisi

Integritas Diri Akademisi

Oleh Ratna Januarita

”Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana.” Demikian peribahasa yang kita kenal sejak berabad silam. Namun, masihkah berlaku demikian di era gelombang kapitalistik kini?

Kasus plagiarisme yang baru saja terungkap (lagi) tentunya (untuk ke sekian kalinya) mencoreng wajah dunia akademik. Terlebih karena pelakunya adalah profesor atau guru besar.


Pada tingkat karier tertinggi ini, akademisi dituntut untuk tidak saja mumpuni di bidangnya, tetapi juga pantas menjadi teladan. Untuk mencapai jabatan fungsional sekaligus puncak karier dosen ini, akademisi harus menempuh beragam rupa jalan dan ujian yang menempanya menjadi insan akademik dengan integritas diri. Diharapkan, integritas diri yang solid pulalah yang akan menjadikan pohon keilmuan yang ditekuninya berbuah manis, yaitu manfaat luas (berkah) bagi bangsa dan negara.


Mengutip

Kegiatan mengutip karya orang lain adalah bagian yang tidak terhindarkan dalam proses menulis. Hal ini mengingat salah satu syarat karya tulis (terutama karya ilmiah) adalah objektivitas. Tanpa diimbangi dengan pendapat orang lain, suatu karya tulis cenderung bersifat subjektif. Ada prinsip umum yang mutlak diterapkan saat mengutip. Prinsip itu adalah penyebutan sumber tulisan secara akurat. Ada pun teknik mengutip, antara lain membubuhkan sepasang tanda kutip di awal dan akhir teks kutipan. Ini dilakukan apabila hendak mengutip secara utuh.

Teknik lainnya adalah menuliskan kembali (rewrite) teks yang hendak dikutip dengan bahasa (pemahaman) kita sendiri.Cara mengutip dengan teknik ini bisa menjadi salah satu bagian tersulit. Melakukannya dalam bahasa ibu sendiri pun sering kali tidak mudah. Rasanya seluruh ide berbahasa terserap habis oleh ide yang sudah dipaparkan penulis dari tulisan yang hendak kita kutip. Tata cara pengutipan yang keliru, baik karena lalai maupun lupa, dapat terkualifikasi sebagai plagiarisme. Apalagi bila kekeliruan ini dilakukan secara sengaja.

Seseorang dianggap melakukan plagiarisme apabila menggunakan ide dan karya orang lain, kemudian ”they use it or copy it and pretend that they thought of it or created it” (Collins Dictionary, 2000) atau ”take (the work or an idea of someone else) and pass it off as one’s own” (Oxford Dictionary, 1999).

Plagiarisme adalah haram, karena mencederai syarat lain dari suatu karya tulis, yaitu kejujuran. Cederanya syarat kejujuran ini juga merampas hak intelektual yang merupakan exclusive right dari penulis yang tulisannya dikutip. Pengutipan yang tidak senonoh akan memperoleh stigma plagiarisme dengan konsekuensi sangat berat dan memalukan, antara lain, hilangnya kesempatan menyelesaikan studi, masuk dalam daftar hitam yang bersifat permanen, pencabutan gelar akademik, hingga naming and shaming (penyebutan nama dan plagiarisme sehingga akan sangat mempermalukan). Pada tataran ini, hancurlah integritas pribadi seorang penulis.

Apabila karya tulis plagiat dipublikasikan, gradasi ketidakjujuran menjadi semakin tebal dan besar karena akan menjadi pembohongan publik. Pada tataran ini, integritas di luar diri penulis juga mengalami kehancuran, yaitu bidang ilmu yang ditekuninya dan institusi tempat ia bernaung.

Harga integritas

Integritas atau kejujuran merupakan prasyarat dalam membangun akhlak mulia, sebagaimana diajarkan agama-agama langit. Kaum Muslimin meneladani sifat-sifat shiddiq, fathonah, amanah, dan tabligh yang menjadi bagian akhlak Muhammad Rasulullah. Kalangan Nasrani menghayati sifat kasih sayang yang diajarkan Isa Almasih. Demikian pula umat beragama lainnya mencontoh akhlak mulia dari para aulianya. Semua sifat tersebut merupakan varian dari inti akhlak, yaitu jujur. Barangkali, kejujuran muncul ketika individu berada pada posisi asali (original position) sebagaimana konsep keadilan (as fairness) yang diajarkan John Rawls dalam ”Theory of Justice”. Pada posisi ini, setiap individu tidak terpengaruh oleh unsur-unsur apa pun yang akan memengaruhi dirinya. Posisi demikian menempatkan individu pada situasi jernih (jujur, integritas) dalam memandang sesuatu. Sebagaimana uraian Plato, seseorang dapat dikatakan sempurna bilamana akhlak dan potensinya sudah serasi dan seimbang (Muthahhari, 1995). Apabila akhlak runtuh dan hilang, hilanglah inti kemanusiaannya.

Nyata sudah, praktik plagiarisme bukan semata-mata pengkhianatan kejujuran dalam berilmu ataupun melanggar ranah hak cipta. Plagiarisme adalah pemerkosaan terhadap integritas diri sang akademisi (internal) dan integritas diri keilmuan serta kelembagaan (eksternal). Sanksi atas plagiarisme dapat menjadi titik balik terbangunnya akhlak luhur dari kalangan akademisi melalui tegaknya kejujuran dalam berkarya. Kejujuran adalah salah satu sisi dari wajah moral. Dalam konteks produktivitas akademik dibutuhkan satu pemikiran kritis tentang moral yang pada gilirannya kelak masuk pada persoalan etika.

 Frans Magnis menegaskan, dalam masyarakat yang semakin pluralis dan transformatif, etika menjadi semakin dibutuhkan. Menurut penulis, termasuk pula etika penulisan. Secara simultan, seyogianya kalangan pembuat kebijakan, baik di tingkat perguruan tinggi maupun nasional, dapat lebih tegas dalam mekanisme reward (penghargaan atas karya penulis penuh integritas) dan punishment (penghukuman atas karya plagiat).

Kiranya hikmah terbaik dari plagiarisme yang baru terungkap, kita tidak perlu takut untuk mengutip, sepanjang dalam koridor kejujuran. Praktik tak senonoh ini telah memperteguh moral maxim tentang kejujuran, bahwa kejujuran adalah mata uang sejati yang tidak terdevaluasi oleh kapitalisme dan berlaku di mana pun sepanjang masa.***

Penulis, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, anggota Komite Nasional Kebijakan Governance, dan mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Unpad.
Opini PIkiran Rakyat 17 Februari 2010