16 Februari 2010

» Home » Kompas » Ekologi-Politik Banjir

Ekologi-Politik Banjir

Banjir yang melanda Bogor-Jakarta beberapa hari lalu merupakan bencana alam akibat faktor alam dan manusia (antropogenik). Tingginya curah hujan merupakan faktor alam, tetapi rendahnya resapan air ke tanah akibat alih fungsi lahan dan bangunan di sekitar kawasan Puncak merupakan faktor antropogenik.
Tentu banjir antropogenik tak hanya di Bogor-Jakarta, tetapi juga di daerah lain. Bagaimana pendekatan ekologi-politik (political ecology) mencermati fenomena banjir ini? Paling tidak ada tiga isu penting.
Pertama, isu sumber kerusakan lingkungan. Mitos bahwa orang miskin adalah perusak lingkungan cukup mengakar. Orang miskin hampir selalu jadi tertuduh atas berbagai kerusakan lingkungan, seperti kebakaran hutan, kerusakan terumbu karang, dan kerusakan mangrove. Ketika banjir pun, orang miskin jadi tertuduh karena membuang sampah sembarangan ke sungai atau membangun permukiman di sekitar daerah liaran sungai (DAS).


Sebegitu parahkah orang miskin sehingga setiap kerusakan lingkungan yang lalu menimbulkan bencana mereka selalu dituduh jadi penyebab? Mitos-mitos seperti ini kini sudah mulai ditinggalkan. Para ahli ekologi-politik, seperti Forsyth (2003) dalam bukunya Critical Political Ecology, justru berbalik mengonstruksi pemikiran baru bahwa orang kaya menggunakan sumber daya jauh lebih banyak dan karenanya memiliki dampak terhadap lingkungan lebih besar.
Dalam kasus banjir Bogor-Jakarta, pemikiran tersebut makin terbukti. Siapa pemilik vila, hotel, dan bangunan lain yang menyalahi tata ruang dan berdampak negatif secara ekologis di kawasan Puncak? Orang awam dengan mudah akan menjawab hanya orang kaya mampu memiliki itu semua. Hanya orang kaya yang memiliki akses untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan dan minta perlindungan ketika menyalahi tata ruang.
Kedua, isu relasi kewenangan dalam tata kelola hulu-hilir. Keterkaitan hulu-hilir dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) masih langka. Kesulitan paling menonjol adalah bahwa kawasan ekologi merupakan lintas wilayah administratif. Sementara di era otonomi daerah yang bertumpu pada kekuatan kabupaten/kota, ego kedaerahan ternyata memberikan kontribusi nyata pada sulitnya membangun pengelolaan kolaboratif SDA.
Kabupaten yang berada di hulu, karena membutuhkan tambahan pendapatan asli daerah, mengeksploitasi SDA atau industrialisasi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap wilayah hilir yang dikuasai pemerintah kabupaten/kota lainnya. Padahal, pengelolaan SDA dari hulu ke hilir membutuhkan koordinasi, kerja sama, serta keterpaduan. Tentu kasus banjir saat ini tidak terlepas dari perangkap persoalan tata kelola hulu-hilir tersebut. Munculnya istilah ”banjir kiriman Bogor” yang populer itu menggambarkan bahwa orang awam sudah memahami keterkaitan hulu-hilir.
Sekarang tinggal bagaimana Kementerian Kehutanan yang bertanggung jawab atas DAS, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DKI yang punya wilayah, serta pemkab/pemkot duduk bersama memecahkan masalah ini. Memang kuncinya pada konsistensi tata ruang nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta keberanian menegakkan aturan dalam tata ruang tersebut.
Ketiga, isu relasi antarsektor. Pengelolaan hutan di kawasan hulu akan berdampak pada kondisi DAS, bahkan sampai ke wilayah pesisir. Keterkaitan hutan dan pesisir sangatlah erat. Pengelolaan hutan yang kurang pas akan bisa berdampak pada sedimentasi wilayah pesisir yang pada gilirannya dapat merusak ekosistem terumbu karang dan ekosistem pesisir lain. Akhirnya perikanan pun terganggu.
Namun, hingga saat ini keterkaitan pengelolaan lintas ekosistem dan sektor tersebut belum berkembang. Sebenarnya masyarakat zaman dulu memiliki cara sendiri mengelola keterkaitan hulu-hilir (hutan dan pesisir). Di Lombok Barat, ada sistem sawen yang mengatur kapan orang boleh menebang pohon di hutan, menanam padi, menangkap ikan. Untuk mengatur sawen, di hutan ada otoritas lokal bernama mangku alas, di sawah ada mangku bumi, dan di laut ada mangku laut. Mereka membangun koordinasi dan kolaborasi dalam pengelolaan masing-masing ekosistem. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa hutan-sawah-laut merupakan satu kesatuan dengan hutan sebagai buana alit. Hutan dianggap sebagai ”ibu” karena merupakan sumber air yang kondisinya akan berpengaruh pada ekosistem di hilir.
Diyakini oleh masyarakat bahwa sawen sangat berarti dalam menjaga kelestarian sumber daya di ketiga ekosistem. Sayangnya sawen harus berakhir pada tahun 1965-an ketika para mangku dituduh sebagai penganut komunis dan akhirnya institusi itu dihancurkan oleh negara. Ini sekadar gambaran bahwa sebenarnya masyarakat pun mampu melakukan pengelolaan itu.
Dari ketiga isu, tampak bahwa banjir merupakan ”puncak gunung es” dari sejumlah persoalan politik SDA hulu-hilir selama ini. Akar persoalannya adalah perlunya perubahan cara pandang sumber kerusakan lingkungan, relasi pusat-daerah dan antardaerah, serta relasi antarsektor. Perubahan cara pandang bukan semata wilayah akademik, tetapi juga politik karena implikasinya pada bagaimana cara pandang tersebut bisa tecermin dalam kebijakan baru nantinya.
Arif Satria Dosen Ekologi-Politik Fakultas Ekologi Manusia IPB
Opini KOmpas 17 Februari 2010