Oleh Mario Masaya
Kasus yang menimpa salah seorang Profesor Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan menjadi berita hangat nasional. Hal ini disebabkan oleh popularitas dosen tersebut di kancah dunia akademik dan tulisannya yang telah diterbitkan di berbagai media massa dan jurnal nasional ataupun internasional. Selain itu, kariernya yang sangat cemerlang dengan mendapatkan gelar profesor di bidang Ilmu Hubungan Internasional pada umur 41 tahun, membuat dosen itu menjadi salah seorang profesor termuda di Indonesia. Namun, kasus plagiarisme yang menimpa dirinya membuat masyarakat terkejut.
Apa yang bisa bangsa ini pelajari dari kasus yang menimpa dosen tersebut?
Hal pertama yang menarik dari kasus plagiarisme ini adalah munculnya perdebatan di dunia akademis melalui berbagai blog. Perdebatan ini memperlihatkan adanya dua sudut pandang dalam menyikapi permasalahan tersebut.
Di satu sisi, banyak akademisi yang sangat gundah karena kasus plagiarisme tersebut. Mereka menganggap tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi dan harus dikenakan hukuman seberat-beratnya. Di sisi lain, banyak pula kalangan akademisi yang menganggap kelompok pertama sebagai orang-orang yang munafik. Mereka secara tidak langsung memaklumi, dengan melihat bahwa pemenang Pulitzer Prize, Doris Kearns Goodwin, juga melakukan plagiarisme pada bukunya The Fitzgeralds and the Kennedys yang menjadi best seller pada 1987. Hukuman terhadap Goodwin tentu saja sangat keras, yaitu mundurnya dia dari juri Pulitzer Prize.
Fenomena ini sangat menarik untuk dicermati, karena ternyata pendapat dari kalangan kedua ini menunjukkan bahwa sebetulnya kasus plagiarisme adalah kasus biasa yang dilakukan oleh hampir semua akademisi di Indonesia. Hal ini menunjukkan nilai-nilai idealisme mereka yang berada pada titik terendah. Inilah pelajaran pertama yang harus kita refleksikan. Sebelum kasus yang menimpa dosen tersebut, tidak ada tindakan serius terhadap kasus plagiarisme di Indonesia. Bahkan, kasus-kasus tersebut dianggap biasa dan tidak diungkap. Dengan terkuaknya kasus ini, diharapkan semua akademisi di Indonesia akan lebih berhati-hati dalam menuangkan pikirannya di dalam tulisan.
Kita dapat mengambil pelajaran kedua dengan melihat, mengapa banyak mahasiswa universitas tempat dosen itu mengajar masih mengaguminya, meskipun ia telah melakukan kejahatan akademis. Dukungan kepada dosen itu mengalir di media internet seperti Facebook, dan tampak di berbagai media massa yang telah mewawancarai mahasiswanya. Dari sini terlihat bahwa mahasiswa yang pernah diajar oleh dosen itu sangat prihatin dengan keadaannya, dan masih menyukai cara ia mengajar yang secara sinergi menggabungkan konsep dan praktik.
Cara mengajar ini patut ditiru oleh sebagian besar pengajar yang minim pengalaman. Satu hal yang sangat disayangkan. Dia dengan serius mewanti-wanti mahasiswanya untuk tidak melakukan plagiarisme, tetapi dia menjilat ludahnya sendiri.
Pelajaran lain yang dapat diambil adalah pengakuan dosen itu di depan umum beserta mahasiswanya. Dia telah memberikan surat pengunduran diri tepat ketika salah satu artikel yang ditulisnya dicurigai merupakan plagiat. Melihat gelar profesor yang disandangnya, ia dapat disandangkan dengan jenderal bintang empat di dunia militer dan kepolisian. Keputusannya untuk mundur langsung dari jabatannya sebagai dosen di universitas tempat dia mengajar memberikan tamparan keras bagi para petinggi pejabat negara di Indonesia, yang bahkan tidak mau mengakui kesalahan ketika terbukti bersalah.
Tampaknya pejabat di Indonesia secara umum tidak memiliki rasa bersalah dan harga diri yang besar jika dibandingkan dengan pejabat di luar seperti Presiden Korea Selatan, Roh Moo-hyun, yang bunuh diri tahun lalu, bahkan sebelum kasus korupsi yang menimpa dirinya terbukti.
Pelajaran terakhir yang dapat dipetik dari kasus plagiarisme ini adalah adanya kebutuhan untuk diadakannya suatu kontrol yang lebih ketat terhadap berbagai macam artikel yang akan diterbitkan di semua media masa. Suatu hal yang sangat mengejutkan adalah ketika melihat, ternyata dosen tersebut tidak hanya terkait satu kasus plagiarisme. Hal ini memperlihatkan lemahnya kontrol terhadap tulisan-tulisan akademisi di Indonesia.
Kontrol terhadap tulisan-tulisan yang akan diterbitkan ini harus dipelopori oleh media massa. Media massa merupakan sarana edukasi yang paling cocok untuk menyentuh masyarakat di tingkat grassroot. Ketika fungsi kontrol media massa terhadap plagiarisme melemah, kebohongan publik bisa terjadi.
Lebih dari itu, perlu diingat bahwa bukan hanya nama baik universitas saja yang tercoreng karena kasus ini, tetapi juga dalam cakupan yang lebih besar, yaitu di kalangan akademisi Indonesia pada umumnya. Akan timbul pertanyaan yang menggeneralisasi dari akademisi di luar Indonesia, ”kalau profesor di Indonesia saja begitu, bagaimana akademisi lainnya?” Dengan demikian, sebetulnya perang melawan plagiarisme yang harus dimotori oleh media masa ini harus dilakukan oleh semua pihak tanpa terkecuali dan tanpa pandang bulu.***
Penulis, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Duta Muda ASEAN-Indonesia.
Opini Pikiran Rakyat 16 Februari 2010