16 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Kota Solo, potret karya entrepreneur

Kota Solo, potret karya entrepreneur

Sejak dipindahkan dari Kartasura 265 tahun silam, Kota Solo yang dulunya ibukota Kerajaan Mataram sebenarnya memiliki kekhasan sendiri dalam hal perjalanan sejarah para entrepreneur yang berkarya di dalamnnya.

Dimulai dari proses perencanaan pemindahan ibukota Kartasura setelah pemberontakan RM Garendi yang diinisiasi oleh Pakubuwono II yang memerintahkan membentuk tim untuk memilih dan meneliti lokasi baru yang akan dijadikan ibukota baru.



Tim pertama adalah tim teknis yang diketuai Mayor Hogendorff didampingi Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja. Tim ini ditugasi untuk melakukan studi kelayakan terhadap tiga desa, yaitu Desa Kadipolo, Desa Sanasewu, serta Desa Sala. Tim kedua diketuai Pangeran Wijil didampingi antara lain Kyai Khalipah Buyut, Kyai Pengulu Pekik Ibrahim, Tumengung Hanggawangsa, Tumenggung Tirtawiguna, Tumenggung Mangkuyuda, serta Tumenggung Puspanegara. Tim kedua ini merupakan tim spiritual yang ditugasi untuk memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Esa serta mendeteksi sinyal alam untuk memilih lokasi yang tepat.

Singkat cerita, setelah melalui proses analisis dan diskusi yang mendalam, maka diputuskanlah Desa Sala sebagai lokasi ibukota yang baru. Oleh tim pertama, Desa Sala dinyatakan paling layak berdasar kaidah perhitungan nalar pada masanya, sedangkan berdasarkan petunjuk Tuhan dan kearifan spiritual, Desa Sala juga dinyatakan paling feasible Di sinilah titik temu antara kekuatan nalar dan kearifan spiritual dalam proses pemilihan Desa Sala sebagai ibukota baru Mataram.

Rasional dan asketis

Kesesuaian upaya rasional dan asketisme batin dalam merancang bangun Desa Sala menjadi sebuah ibukota kerajaan inilah yang merupakan buah karya para entrepreneur saat itu yang direpresentasikan oleh kepemimpinan Raja Pakubuwono II.

Prestasi Pakubuwono II dilanjutkan oleh penerusnya, antara lain Pakubuwono X yang intensif membangun prasarana, sarana, dan penanda kota. Pembangunan gapura batas kota, pemugaran Masjid Agung, pembangunan Stadion Sriwedari, mendirikan Madrasah Mamba’ul Ulum, serta mendirikan RS Kadipala adalah bebarapa contoh dari karya para entrepreneur di masa pemerintahan Pakubuwono X. Dari bangunan yang disebutkan tadi, hanya RS Kadipala yang sekarang hanya bisa dilihat bekas bangunannya saja.

Dalam perkembangannya Solo juga diwarnai oleh dinamika para entrepreneur dalam usaha batik. Sejarah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ke-19, Kota Solo menjadi pusat industri batik, baik untuk pasar lokal maupun nasional. Situasi ini antara lain didorong penemuan metode membatik dengan cap tembaga oleh pengusaha batik di Kampung Kauman pada pertengahan 1840 yang dibarengi booming permintaan batik karena berkembangnya perkebunan di Jawa (Suhartono dalam PPEP, 2008: 56).

Kampung Batik Laweyan dan Kauman telah menjadi sebuah landmark baru bagi Kota Solo terutama dalam menambah komponen suplai pariwisata. Keberadaan kedua kampung ini juga menjadi saksi betapa pertumbuhan ekonomi Kota Solo juga antara lain pernah dimotori oleh para entrepreneur batik yang tinggal di kedua wilayah tersebut. Mesin penggerak ekonomi dari bidang perbatikan kini telah diperkuat oleh hadirnya perusahaan batik modern seperti Batik Danar Hadi, Batik Semar, dan Batik Keris. Dengan kemunculan tren kembali ke busana batik beberapa tahun belakangan ini telah mendorong lahirnya para entrepreneur batik generasi baru.

Banyaknya merek dagang dan butik batik yang menyebar seantero kota makin mengukuhkan kontribusi para entrepreneur batik ini pada ekonomi Kota Solo. Cerita tentang perjalanan sejarah Kota Solo dalam konteks kiprah para entrepreneur-nya tidaklah lengkap bila tidak memperbincangkan kepemimpinan kota saat ini yang dipegang oleh duet Jokowi-Rudy. Tanpa bermaksud ikut dukung-mendukung dalam Pilkada Kota Solo bulan April mendatang, harus diakui bahwa kepemimpinan Jokowi-Rudy dengan sangat wantah memperlihatkan wajah entrepreneur-nya. Roh kepemimpinan dengan jiwa entrepreneur tersebut tidak nampak ditunjukkan oleh para walikota Solo sebelumya sejak kemerdekaan RI. Kendati setiap walikota memiliki prestasinya sendiri pada masanya, namun para walikota lama lebih kental warna birokratnya dibanding warna entrepreneur-nya.

Dinamika

Ritme pembangunan kota terutama yang berkaitan dengan membangun branding kota terasa berjalan cepat dan penuh inovasi. Dari sisi pembanguna fisik misalnya terlihat antara lain keberhasilan pemindahan pedagang klithikan ke Pasar Nataharja Semanggi sebagai langkah awal penataan PKL tanpa konflik, pembangunan/penataan taman kota dan ruang publik kota seperti Manahan, kawasan Tirtonadi, fasilitas city walk di kawasan Slamet Riyadi, serta penataan kawasan Ngarsapura. Semua pembangunan dan penataan fisik tersebut disamping memperkuat ikon Kota Solo masa lalu tetapi juga makin memperkaya ikon kota saat ini.

Kebanggaan warga kota juga diangkat dengan difasilitasinya berbagai acara internasional seperti WHCCE, SIEM, SIPA, serta Solo Batik Carnival yang akan memberikan dampak lanjutan pada penguatan citra dan visi kota sebagai kota budaya. Penciptaan night market di Ngarsapura, pembangunan pusat wisata kuliner Galabo hingga kereta wisata Jaladara telah menambah opsi wisata bagi para wisatawan maupun bagi masyarakat kota dan sekitarnya, yang ujungnya adalah meningkatnya kesejahteraan.

Tulisan pendek ini jelas tidak akan mampu menampilkan semua karya para entrepreneur berserta kontribusinya dalam rentang waktu perjalanan usia Kota Solo. Sebagaimana ketika disebut Kota Solo atau Surakarta maka akan berasosisasi dengan misalnya Bengawan Solo, Keraton Solo, Mangkunegaran, Stasiun Balapan, Batik Solo, Pasar Klewer, Gudheg Ceker, Timlo Solo, Pecel Solo, Srabi Solo, Waljinah, Gesang, Ki Anom Suroto, Ki Purba Asmara, Wong Solo, Putri Solo, dan masih banyak sekali produk yang dapat dihubungkan dengan kota Solo.

Semua itu menunjukkan betapa kemajuan kota beserta dinamikanya tidak dapat lepas dari karya para entreprenuer-nya. Dan makin banyak entrepreneur di banyak bidang di Kota Solo ini, berarti makin sejahteralah masyarakatnya. - Oleh : BRM Bambang Irawan Dosen Fakultas Ekonomi UNS
Opini Solo Pos 17 Februari 2010