16 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Menekan Laju Penghancuran di Area Tambang

Menekan Laju Penghancuran di Area Tambang

KABUPATEN Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur adalah tiga dari 20 kabupaten di NTT, terletak di Flores Barat, dengan wilayah yang luas. Ketiga kabupaten yang luas seluruhnya satu setengah kali pulau Bali itu memiliki potensi andalan di bidang pertanian antara 55%-70%. Struktur pertanian memang masih timpang karena didominasi pangan khususnya beras, selain jagung, dan ubi-ubian. Komoditas perdagangan yang menonjol adalah kopi, kakao, cengkeh, kemiri dan lain.


Komoditas-komoditas itu belum cukup dikembangkan secara diversifikasi atau pola intensifikasi lain. Pemda malah membidik sumber ekonomi baru yang eksklusif, yakni pertambangan. Sejak 2005, Pemda Manggarai, misalnya, telah mengeluarkan izin usaha pertambangan kepada 11 dari 17 perusahaan yang melamar, dengan dasar legal pada UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba). Pasal 37 UU itu mengatur kewenangan bupati/wali kota untuk memberi izin usaha, apabila WIUP (wilayah izin usaha pertambangan) berada di dalam satu wilayah kabupaten/ kota.

Sejak 2005, dua dari 11 perusahaan yang mengantongi izin Pemda Manggarai adalah PT Sumber Jaya Asia, yang bekerja sama dengan PT Istindo Mitra Perdana, mengeksploitasi pertambangan di kawasan hutan lindung Kecamatan Reok (Manggarai), dan PT Arumbai Mangabekti telah mengeksploitasi pertambangan biji besi di Kecamatan Lambaleda, sekarang Kabupaten Manggarai Timur. Sementara itu, perusahaan lain lagi mengeksploitasi tambang di Manggarai Barat, yang semua mendapat tentangan masyarakat setempat.

Penghancuran

Persoalan pokok yang membuat banyak pihak menolak eksploitasi tambang di daerah tandus seperti NTT adalah penghancuran lingkungan dan matra sosial. Tambang besar di Manggarai ada dalam wilayah hutan lindung, dengan reklamasi yang amburadul memaksa Menhut saat itu, MS Ka'ban, gerah dan kemudian memerintahkan untuk membekukan usaha di wilayah tambang Reo. Warga mengakui mata air tercemar, limbahnya dibuang begitu saja merusak tanaman dan ekosistem sekitar hutan. Rakyat tidak dilibatkan dalam perencanaan, khususnya menyangkut hak, nilai-nilai, dan lingkungan mereka, tetapi malah 'dipaksa' menerima. Jika tidak mau, mereka dipukul polisi.

Perusahaan memperlakukan warga sekitar sebagai kuli di tanah mereka sendiri sebagai pekerja kasar, sedangkan tenaga skill adalah orang-orang luar (Jawa) atau asing yang didatangkan langsung dari China atau Korea. Upah sangat rendah, kesehatan, dan keselamatan kerja tidak diperhatikan. Penataan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mendapat perhatian. Perusahaan tidak peduli hak buruh membentuk serikat pekerja yang dilindungi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Anak-anak sekolah sekitar wilayah pertembangan sering mengeluh sesak nafas akibat debu-debu dan penyakit kulit.

Selain itu, interaksi kosmologis penduduk dengan tanah semakin pupus. Tanah bagi masyarakat agraris tidak lagi dipandang secara coexistent dengan manusia karena berubah menjadi lembaran rupiah. Transaksi moral sosial berubah menjadi capital transaction yang tidak mengubah posisi tawar petani. Celakanya, dana untuk reklamasi seharusnya bernilai ratusan juta malah miliaran per tahun hanya diberikan Rp25 juta kepada pemda. Lebih buruk lagi, sumbangan untuk PAD dari sektor ini (perlu dikonfirmasi) hanya Rp83 juta per tahun, bentuk penghambaan ekonomi dan penggadaian nasionalisme kita.

Perubahan paradigma

Mineral dalam perut bumi meruapakn aset negara untuk kesejahteraan rakyat, tidak terbantahkan. Persoalannya, apa itu skala prioritas dan sesuai dengan prinsip daerah otonom sesuai dengan Pasal 1 angka 5, UU No 32/2004, yang pengelolaannya berdasarkan aspirasi rakyat? Haruskah pertambangan di daerah pertanian dieksploitasi sekarang?

Alat bantu selisik kita ialah pendekatan fungsional berciri Parsonian (dipelopori Talcot Parson) yang membenarkan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat, tidak terkecuali dalam konteks pertanian. Menurutnya, kita perlu memberi posisi tepat untuk penguatan fungsi-fungsi. Orang/kelompok yang menempati posisi itu harus memiliki kompetensi. Sementara itu, pendekatan struktural menempatkan individu/komunitas sebagai aktor perubahan sosial. Antropolog Claude Levi-Strauss memelopori relasi sosial individu dengan kekuasaan (bdk George Ritzer dan Douglas J Goodman, Sociological Theory, 2004).

Artinya, jika secara kualitatif rakyat belum disiapkan, mereka akan menjadi 'alat produksi' yang pada akhirnya menyebabkan--meminjam analisis Marx--terjadi 'alienasi diri dari produksi' yang dipaksakan. Kalau secara teknis industrial mereka belum siap bahkan cenderung menjadi 'korban/victim', haruskah kita memaksakan tambang itu, atas dalih menerapkan Pasal 33 UUD 1945, tentang Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di bumi Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

Eko-politik

Jika tidak, mengapa tidak sebaiknya kita melakukan terobosan teknologi pertanian, yang memungkinkan demokrasi lokal dan kualitas partisipasi rakyat karena sesuai dengan potensi dan nilai berbasis lingkungan (ekologi). Inilah langkah eko-politik lokal yang serius diperhatikan. Pertama, agregasi kepentingan politik. Sebagai 'wakil rakyat' hasil pilihan langsung, kebijakan harus mendapatkan kesepakatan daerah. DPRD dan bupati/wabup harus menghadirkan wakil lembaga agama, lembaga pendidikan, LSM, pers, suku/ adat, dalam sebuah rembuk daerah merencanakan makro pembangunan kabupaten/ kota. Kedua, bentuk tim kajian untuk memastikan bidang dan langkah operasional, apakah pertanian atau pertambangan dengan segala keuntungan dan kerugiannya dan diprediksi keuntungan maksimal dengan menekan kerugian seminimal mungkin.

Ketiga, memastikan bentuk partisipasi masyarakat secara konkret. Misalnya, jika fokus pada pertanian, disepakati sektor riil berdasarkan potensi sebagian besar warga. Namun, jika tambang yang menjadi prioritas, antisipasi apa saja yang dibuat agar hak-hak warga, nilai budaya dan ekologis, biaya-biaya dan satuan harga serta upah kerja untuk rakyat dengan standardisasi yang tepat sesuai dengan jenis pekerjaan. Keempat, sumber dana dianggarkan/dialokasikan dalam APBD, melalui dana perimbangan, pinjaman, BPHATB/bagi hasil dan lainnya. Demikian pun penentuan pelaksana/perusahaan disepakati dengan memperhatikan rekam jejaknya selama ini.

Semua kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perda jenis galian A atau B serta keputusan bupati sebagai instrumen operasionalnya. Semua langkah itu disampaikan dan dikontrol publik, pers, dan audit oleh akuntan independen.

Oleh Ansel Alaman Alumnus pacasarjana ilmu politik UGM
Opini Media Indonesia 16 Februari 2010