16 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Gegar budaya melanda Kota Solo

Gegar budaya melanda Kota Solo

Tanggal 17 Pebruari 2010 ini Kota Solo merayakan hari jadinya yang ke-265 tahun. Sebagai kota tua, dituntut untuk terus mengikuti komunikasi antarbudaya, yaitu sebuah komunikasi yang berlangsung dalam kondisi budaya yang berbeda, beragam budaya.

Dalam keberlangsungan komunikasi antarbudaya yang terus-menerus tersebut tentu akan memunculkan gegar budaya (cultural shock). Gegar budaya yang sedang terjadi di Solo berupa hilangnya norma-norma atau simbol-simbol dalam pergaulan sosial.



Upaya penyadaran untuk kesejatian diri Kota Solo memang telah banyak dilakukan oleh pemerintah kota, misalnya semboyan yang berbunyi Solo the Spirit of Java yang telah diresonansi ke tataran internasional. Tetapi, bersamaan dengan itu terjadi proses pelaziman budaya (cultural conditioning) yang memberikan kebebasan dan inovasi kepada pihak yang mempunyai kekuatan (kapitalis) untuk memformat Kota Solo menjadi metropolitan.

Ketelanjuran pembangunan infrastruktur ekonomi model metropolitan dengan berbagai fasilitas publik seperti mal, supermarket, fast food, dan pusat-pusat infrastruktur ekonomi modern telah menghadirkan nilai baru di kalangan warga kota. Maka life style warga kota ikut berubah dengan sendirinya. Dalam taraf ini lantas pemerintah kota berupaya melakukan proteksi terhadap institusi ekonomi tradisional yaitu pasar-pasar tradisional dengan merancang sebuah regulasi perlindungan agar institusi ekonomi tradisional tersebut dapat tetap eksis. Langkah tersebut menjadi ambivalen karena antara yang modern dan tradisional menjadi dua kutub yang keduanya memancarkan daya magnetiknya untuk menarik warga kota berpihak kepadanya.

Kelakar

Yang terjadi adalah perwujudan perilaku budaya kota antara aspek kulit budaya (overt culture) dan isi (covert culture) yang menunjukkan bahwa banyak kegiatan sehari-hari kita dipengaruhi oleh pola dan tema yang maknanya kurang kita sadari. Seperti halnya papan nama setiap institusi pemerintah dan swasta dengan mencantumkan transliterasi ke aksara Jawa yang akhirnya hanya melahirkan budaya latah. Menjadi bahan kelakar bagi sementara kalangan mengapa tidak sekalian dianjurkan setiap kop surat dinas setiap instansi maupun swasta yang ada di Kota Solo juga dituliskan bahasa Jawanya.

Untuk menyelesaikan beberapa masalah penyebab gegar budaya yang diuraikan di atas diperlukan re-edukasi dalam upaya menciptakan kompetensi di setiap strata sosial masyarakat Kota Solo dalam pemahaman kolektif terhadap arah budayanya. Mungkin kasus sukses yang patut diapresiasi sebagai bentuk re-edukasi adalah anjuran untuk menggunakan bahasa Jawa selama satu hari kerja dalam satu pekan di kalangan pegawai institusi pemerintah kota.

Sekalipun institusi pemerintah kota dalam konteks sosial adalah arena nasional dan bukan arena suku bangsa tetapi setidaknya anjuran penggunaan komunikasi dengan bahasa Jawa itu masih menjadi simbol untuk menunjukkan hidupnya sebuah kebudayaan.

Penggunaan bahasa Jawa dalam berkomunikasi di tataran institusi tentu perlu dilakukan re-edukasi sehingga jangan sampai dampak penggunaannya justru menambah sistem penghormatan yang berlebihan karena tingkatan bahasa Jawa menunjukkan hal itu. Jangan sampai terjadi seorang bawahan kepada atasan (Walikota) menggunakan bahasa Jawa krama inggil sebaliknya Walikota menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada anak buahnya. Sementara aras demokrasi menghendaki adanya suasana egaliter yang menjadi tuntutan bersama.

Maka, yang terpenting adalah bagaimana dalam konteks penggunaan bahasa Jawa dalam komunikasi urusan kedinasan diletakkan dalam bingkai kesantunan berkomunikasi, bukan melekat pada kedudukannya. Jika bentuk-bentuk re-edukasi itu tidak dapat ditempuh oleh elite kota maka akan semakin mempercepat kematian budaya. Karena posisi elite kota amat berpengaruh terhadap merah dan hijaunya budaya.

Faktor penting lainnya pemicu gegar budaya, manakala warga kota tidak memahami tradisinya. Karena seperti apa yang diuraikan oleh LA White dalam bukunya yang berjudul The Science of Culture (1949) bahwa tradisi menjadi pelengkap bagi masyarakat dengan suatu tatanan mental dan spiritual. Pada gilirannya tatanan mental berpengaruh kuat atas sistem moral untuk kepentingan valuational element yaitu untuk menilai apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Lantas kalau menggunakan konsepsi White tersebut apakah tatanan mental dan spiritual warga Kota Solo yang sudah telanjur gegar budaya ini mampu mengekspresikannya dalam bentuk tradisi? Manakah yang dapat dikatakan sebagai tradisi Kota Solo?

Romantik

Jika ada, maka tentu tradisi itu tidak berupa perwujudan pergaulan sosial yang romantik dan otentik. Jelas sangat naif dan aneh bahkan dianggap gila jika ada warga Solo berbelanja ke mal memakai beskap Jawi Jangkep. Jangan disesali lagi jika hampir semua anak-anak kita atau remaja Kota Solo sudah tidak dapat mendeskripsikan biografi tokoh wayang yang namanya Wisanggeni. Harap maklum jika banyak remaja kita bisa ”ngerumpi” atau chatting berjam-jam di fast food yang seharusnya mereka cepat pesan, cepat makan dan cepat pergi. Ampuni saja jika banyak anak-anak kita memanggil orangtua dengan sebutan mama, papa, mami, papi, atau daddy.

Suatu kebudayaan memang diekspresikan dalam tradisi yang memberikan kebanggaan kepada para anggotanya, suatu rasa memiliki dalam suatu keunikan. Kenyataannya idiom lokal yang berbunyi rumangsa melu handarbeni sudah tidak ampuh dan bahkan sekarang menjadi lumpuh karena gegar budaya. Kasus penjualan benda cagar budaya koleksi Museum Radya Pustaka yang notabene dilakukan oleh warga Solo sendiri, polemik Benteng Vastenburg, polemik Sriwedari menjadi bukti matinya rasa handarbeni tersebut di kalangan warga kota. Kalaupun ada yang peduli maka itu hanya sebagian kecil saja. Sedangkan sebagian besar lebih sadar memilih pelaziman budaya tadi.

Tradisi harus mampu menghargai dan mampu berkomunikasi dengan perubahan zaman. Yang terpenting bagi Kota Solo adalah konsep realisasi aktualnya jangan terlalu jauh menyimpang dengan realitas potensialnya. Sebab bila itu terjadi maka akan terus mengalami gegar budaya. Bahayanya adalah sikap dan tingkah laku warga kota terus menerus dihadapkan pada bentuk eksperimentasi rekayasa kultural, ibarat pesawat supersonik yang kecepatannya melesat melebihi dari suaranya.

Artinya, jangan dibiarkan globalisasi terlalu cepat melesat di tengah-tengah pergaulan sosial kota melebihi tradisi yang ada. Oleh karena itu perlu ada sesuatu yang dapat dikatakan sebagai ”ajeg Solo” yaitu apa yang tetap dalam kebudayaan warga kota. Bukan Valentine’s Day tapi bisa kita buat yang namanya Suran Night yaitu malam 1 Sura yang mempunyai nilai kultural bagi orang Jawa, khususnya di Solo, yang dirayakan bukan dengan pesta tetapi justru dengan melakukan kontemplasi spiritual dalam berbagai wujudnya di malam itu.

Pendek kata, di usianya yang ke-265 tahun ini sudah saatnya warga Kota Solo menghindari gegar budaya dengan membangkitkan kembali sebuah kesadaran budaya. Kesadaran budaya itu sangat tepat dimulai dari ketokohan kepemimpinan kota dimana diperlukan seorang pemimpin multikultural dan bukan pemimpin yang etnosentrisme. - Oleh : Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret
Opini Solo Pos 17 Februari 2010