16 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Infantilisme Politik Elite Negeri

Infantilisme Politik Elite Negeri

Salah satu kritik pedas yang selama ini dilontarkan publik ke hadapan Presiden Yudhoyono adalah kritik tentang mudahnya presiden tersinggung dan mengeluh atas ulah rakyat yang menohok kepribadian dan kepemimpinannya. Keluhan dan ketersinggungan terakhir yang dikemukakan Presiden Yudhoyono adalah soal kerbau yang dihadirkan dalam aksi demonstrasi yang mengkritik 100 hari pemerintahannya, 28 Januari lalu. Presiden tersinggung dan mengeluh karena kerbau yang diberi nama Si Bu Ya kemudian diganti namanya menjadi Si le Ba Y itu dihadirkan dengan semangat konotatif terhadap dirinya.


Okelah bahwa berdemonstrasi dalam mengisi ruang-ruang demokrasi yang telah dibangun bersama memang dibutuhkan kepatutan. Karena demonstrasi yang merupakan hak menyatakan pendapat rakyat dan dilindungi undang-undang dibutuhkan kesopanan, dan di negeri ini ada rambu-rambu budaya dan batas-batas norma kepatutan dan garis-garis hukum dan tata aturannya. Namun, hal itu menjadi persoalan ketika segala kreativitas rakyat yang diungkapkan dalam aksi demonstrasi itu disambut dengan ketersinggungan dan keluhan oleh seorang presiden yang sebenarnya sangat diharapkan selalu tampil optimistis dalam menghadapi segala persoalan masyarakat bangsa dan negara.

Mengapa? Karena ketika kita sepakat mengusung demokrasi ke dalam sistem politik kita, seorang pemimpin harus siap menerima segala konsekuensinya. Sebuah pemerintahan yang membolehkan demonstrasi adalah pemerintahan yang tidak supersensitif. Tentu pula pemerintahan tersebut harus memberikan garis-garis peraturan yang jelas sebagai bingkai demokrasi.

Namun, teradopsi pertanyaan, mengapa seorang pemimpin apalagi presiden, 'diharuskan' pantang mengeluh dam mudah tersinggung? Atau dalam bahasanya Editorial Media Indonesia (4/2), kalau presiden terus mengeluh kepada rakyatnya, kepada siapa lagi rakyat mengeluh? Bagaimana mengerlingnya?

Infantilisme elite

Identifikasi yang senantiasa diarahkan kepada para pelaku politik di panggung kekuasaan atau seorang pemimpin-pemangku kekuasaan adalah orang yang memiliki sosok kepribadian yang agung, berwibawa, dan berkarisma dengan karakter yang kuat. Karena ia merupakan tokoh sentral yang memiliki peran strategis yang dapat menentukan perkembangan masyarakat bangsa dan negara.

Di situlah kemudian filsuf Friederick Willhem Nietzsche menggarisbawahi tentang perlunya manusia super di dunia untuk menjadi pemimpin. Hal itu diungkapkan lewat konsepsinya tentang ubermensch. Suatu konsep tentang manusia superpemimpin yang bukan hanya mumpuni secara mental, melainkan juga tangguh secara fisik. Manusia super adalah manusia yang yakin diri, berani dan tidak ragu, meski penuh risiko dalam bertindak demi menggapai harapan dan merealisasikan target. Manusia jenis itu tidak mau bertele-tele, dan lamban dalam bertindak karena ia adalah sang komandan, pengeksekutor sejati.

Manusia super yang tidak takut kepada siapa pun, itulah satu-satunya yang pantas memimpin sebuah negara. Bagi Nietzsche, perubahan dan peradaban tidak layak digantungkan kepada kaum lemah, budak-budak yang lembek, pasif dan nihil prakarsa, terlampau lamban, mudah menyerah atau gampang pasrah. Karena dunia ini keras, menjadi pemimpin harus memiliki bobot unggul, pemberani untuk bisa mengatasi segala pertentangan dan persoalan kemasyarakatan, termasuk harus memimpin manusia-manusia lain yang menjadi bawahannya.

Artinya, bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa memimpin bawahannya jika segala kelemahannya dapat dibaca dan diketahui bawahannya, seperti lamban, mudah mengeluh, cepat tersinggung dan lain-lain? Bukankah itu tidak saja cermin dari kelemahan seseorang menjadi pemimpin, tetapi juga ketidakdewasaan (infantilisme) kekanak-kanakan dalam berpolitik?

Lebih jauh, sebenarnya perilaku infantil dalam politik ini bukan saja ada pada presiden, melainkan juga dipertontonkan para elite negeri. Atau, indikator fenomena infantilisme para elite politik itu dapat dilacak pada mengentalnya aneka perilaku politisi negeri beberapa tahun belakangan ini. Perilaku egoistis dalam berpolitik, ingin menang sendiri dalam meraih kekuasaan, termasuk dalam pertarungan memenangki wacana politik di bidang-bidang legislatif, eksekutif, dan seterusnya, tidak lain juga adalah cermin dari perilaku infantil itu.

Fenomena infantil dalam politik yang paling mencolok dapat terpotret dari panorama sidang Pansus Angket Bank Century, yang karena egoisme pribadi yang begitu tinggi, tata krama dan etika komunikasi politik yang semestinya dijunjung tinggi oleh para anggota dewan yang terhormat lenyap. Sidang pansus sebagai sidang dewan yang terhormat dan bermartabat pun ternoda oleh ungkapan-ungkapan yang tidak sepantasnya yang diucapkan mereka yang telah melabelkan diri sebagai orang-orang terhormat itu. Dengan perilaku infantil, para wakil rakyat bukan lagi memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa, melainkan mengutamakan kepentingan diri nan egoistis, cermin ketidakdewasaan politik alias infantil (kekanak-kanakan).

Perilaku infantil itulah, yang oleh psikolog dari Universitas Harvard dan New Hampshire, AS, Peter Salvey dan John Mayer, dikatakan sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosi atau emotional intelligence rendah atau belum matang. Dan orang yang kecerdasan emosi rendah, seperti anak kecil yang belum memiliki kepribadian matang, memiliki ciri-ciri emosi yang meletup-letup, bisa menangis meraung-raung bila keinginannya belum terpenuhi. Ia belum memiliki kesanggupan untuk mengendalikan emosinya dan menunda keinginannya jika keinginannya itu belum bisa terpenuhi.

Pematangan emosi

Perilaku infantil yang dipertontonkan seorang pemimpin atau orang-orang di tataran elite negeri, apa pun alasannya, tidak bisa dibenarkan dari perspektif kepemimpinan, apalagi jika itu dilakukan untuk meraih simpati. Pemimpin yang mudah dan sering mengeluh sebagaimana dalam penilaian publik dus konsepsi Nietzsche, tidak lebih sebagai indikasi kelemahannya. Keluhan yang terus-menerus dipertontonkan jelas berubah menjadi sinisme. Itu berbahaya sehingga harus dibuang jauh-jauh dan segera dibangkitkan naluri dan semangat kepemimpinan yang agung, berwibawa, berkarisma, kuat-perkasa, yang penuh optimisme untuk menjadi penemu solusi dari semua persoalan yang dihadapi masyarakat.

Juga seorang elite politik harus meninggalkan perilaku infantil, yang ingin menang sendiri, dan segera 'mendewasakan' diri menjadi politisi sejati yang memiliki kecerdasan nalar, keikhlasan nurani, dan kepedulian sosial yang luwes dan terbuka bagi siapa saja. Di atas semua itu, kepentingan bangsa harus diutamakan dari kepentingan apa pun.

Bagi pemimpin di tingkat eksekutif dan yudikatif, mengulangi kata-kata Bung Karno, "Sabdanya adalah undang-undang dan komandonya adalah ketetapan hukum." Namun, tatkala semua itu disulap menjadi sekadar keluhan dan ketersinggungan, dus dengan mempertontonkan emosi yang meledak-ledak, cermin ketidakmatangan emosional, pamor seorang pemimpin akan hilang dan citra kesejatian para politisi pun lenyap. Itu tentu akan bermuara pada kian merosotnya kepercayaan rakyat dan terkikisnya legitimasi, yang bisa berakibat sangat buruk bagi perkembangan demokrasi dan kemajuan bangsa.

Untuk itu, dikembangkannya kedewasaan perilaku dalam politik dan pematangan emosi serta dibangkitkan keagungan dan kewibawaan bagi para politisi di tingkat elite bukan saja penting, melainkan juga menjadi sangat urgen untuk dilakukan agar kepada mereka kepercayaan tetap terjaga dan di pundak mereka harapan selalu digantungkan. Dalam hal ini, kebiasaan berkeluh kesah dan mudah tersinggung serta keinginan menang sendiri dalam pertarungan politik mesti dikubur dalam-dalam agar di tataran elite negeri segera terhapus infantilisme, cermin ketidakberdayaan, yang menjadi sumber kegagalan bangsa ini dalam menghadapi persaingan global, khususnya di era kita mulai memasuki gerbang pasar bebas ASEAN-China ini.

Oleh Thomas Koten Direktur Social Development Center
Opini Media Indonesia 16 Februari 2010