16 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Menguji Kesiapan Berdemokrasi

Menguji Kesiapan Berdemokrasi

Proses penyelidikan Panitia Khusus (Pansus) Bank Century menguak berbagai persoalan. Mulai proses merger dan akuisisi, pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP), proses bailout, hingga aliran dana kepada nama-nama nasabah yang diduga fiktif. Mayoritas fraksi mengemukakan pandangan awal yang cukup jelas dan tegas. Selain Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa, tujuh fraksi lainnya berpandangan sama. Kebijakan pemerintah dalam menangani Bank Century sebagai bank gagal dan ditengarai berdampak sistemik cacat hukum dan diwarnai berbagai penyimpangan.


Pandangan itu sekaligus menjawab keraguan publik tentang keseriusan Pansus Bank Century. Aroma politis yang cukup kental dipandang sebagai hambatan utama dalam menyelesaikan sejumlah kasus yang melibatkan berbagai kepentingan politik. Tidak sulit membuktikan kebenaran asumsi dan kecurigaan itu. Sejumlah kasus besar sebelumnya yang diproses melalui penggunaan hak angket, berujung gelap, dan tak berarah.

Keterbukaan

Sepuluh tahun lebih bangsa ini berusaha beranjak dari keterpurukan sistem politik warisan rezim otoritarian. Setelah itu, rezim kekuasaan datang silih berganti, mengidentifikasi diri sebagai figur reformis dan demokratis. Mereka mengubah struktur dan tatanan sosial politik, mengembalikan hak politik rakyat yang sebelumnya terkebiri, serta amanah kekuasaan yang merupakan hasil kontrak sosial sebagai tolok ukur legitimasi rakyat terhadap kekuasaan.

Sistem demokrasi memberi pilihan arif dan bijak tentang bagaimana mengelola negara. Mengelola hati nurani dan nalar publik agar sesuai dengan cita-cita ideal masyarakat demokratis dan amanah UUD 1945. Oleh karena itu, rumusan kehidupan berbangsa dan bernegara dilandasi atas prinsip keterbukaan yang menunjukkan bahwa negara adalah milik seluruh rakyat. Berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat harus menyertakan partisipasi dan pengawasan mereka.

Kasus Bank Century telah menyita perhatian rakyat. Dana talangan Rp6,7 triliun milik negara digelontorkan demi menyelamatkan sebuah bank gagal. Meski demikian, kebijakan bailout tersebut tidak melibatkan pertanggungjawaban politik yang terbuka, apalagi mengikutsertakan opini rakyat melalui persetujuan DPR. Pada kenyataannya, proses penyelidikan dalam arena Pansus Bank Century menemukan sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan tersebut.

Tidak berlebihan jika pada akhirnya rakyat turun ke jalan, menuntut keseriusan dan ketegasan DPR dan lembaga yang berwenang lainnya untuk mengusut tuntas kasus ini. Hingga pada titik ekstrem menuntut pihak-pihak yang mereka anggap terlibat untuk melepas jabatannya. Media massa pun tak ada habisnya meliput, menebar opini, mengawasi, dan mengawal proses penyelidikan.

Kinerja lembaga DPR juga menunjukkan sikap yang sama. Tradisi penyelidikan dalam sidang angket yang lazimnya tertutup dibuka selebar-lebarnya. DPR hendak menegaskan sebuah tradisi konstitusional tidak layak ditutupi. Rakyat patut mengetahui sejauh mana kinerja para wakil mereka dalam mengemban amanah konstitusional sesuai dengan harapan mereka.

Fakta-fakta yang terurai dalam persidangan Pansus Bank Century dengan jelas mengindikasikan adanya penyimpangan. Rakyat menyaksikan dengan saksama betapa hal itu dilakukan secara sistematis, masif, dan terencana. Karena itu, sulit membuktikan adanya rekayasa dan desain khusus untuk meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap pemerintah, selain upaya mengungkap kasus menjadi terang-benderang.

Reaksioner

Sulit dimungkiri, kontrol dan kendali publik turut mendukung kinerja pansus. Ketegasan sikap dan pandangan adalah buah upaya bersama mengawal persoalan hingga menghasilkan kebenaran. Sikap itu adalah gambaran ideal bagaimana seharusnya partai politik menyikapi persoalan yang menyangkut kepentingan rakyat.

Sebagai katalisator dan penyalur aspirasi, partai politik bersikap demi kepentingan rakyat dan mengutamakannya di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Atas dasar itulah, reaksi dan kritik terhadap komitmen koalisi dan ancaman perombakan kabinet tidak relevan dan justru mengingkari upaya bersama membangun kehidupan demokratis. Itu disebabkan komitmen koalisi yang dibangun dalam sebuah kesepakatan politik didasari atas idealisme untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan bersih (good governance).

Reaksi atas perbedaan pandangan hanya menunjukkan kekerdilan dan ketidakdewasaan sikap dalam merespons persoalan. Sejarah politik masa lalu menunjukkan betapa sikap seperti ini sering dijadikan tameng untuk membasmi lawan-lawan politik. Meski sebatas ancaman, penggunaan simbol-simbol kekerasan dalam menyikapi perbedaan adalah tindakan yang tidak demokratis.

Jika sejarah masa lalu diwarnai dengan penggunaan kekerasan (hard power) yang bukan sebatas ancaman, saat ini, dengan pola yang lebih halus (soft power), kekuasaan membungkam aspirasi yang berseberangan dengan memanfaatkan instrumen kekuasaan yang berada di bawah hegemoninya. Hal itulah yang tampak di tengah hiruk pikuk pengusutan kasus Bank Century. Pemerintah berupaya menaikkan nilai tawarnya di hadapan rakyat dengan melakukan reposisi jabatan, mengurai kembali perselisihan pajak, dan mengungkap berbagai kasus korupsi yang melibatkan institusi tertentu.

Serangkaian agenda tersebut tentu saja tidaklah keliru mengingat hal itu turut mendukung upaya menciptakan kehidupan politik yang bersih. Namun, menjadi pertanyaan besar ketika agenda-agenda itu diangkat ke permukaan saat pemerintah terkesan tertekan oleh kasus Bank Century.

Demokrasi menginspirasikan sikap dan karakter tentang bagaimana merespons persoalan dengan cara-cara yang lebih beradab. Sikap eksklusif, arogan, dan memaksakan kehendak adalah paradigma masa lalu yang terbukti tidak laku untuk dijual di hadapan rakyat. Sebaliknya, rakyat akan semakin bersikap antipati, mengambil jarak, dan menurunkan tingkat kepercayaannya yang selama ini terpupuk dengan baik. Oleh karena itu, saatnya pemerintah mengubah paradigma berpikir tentang bagaimana merespons kasus Bank Century.

Perubahan paradigma tersebut dilakukan dengan cara: pertama, menganggap kasus ini sebagai autokritik untuk menciptakan tata pemerintahan yang lebih baik, terbuka, dan akuntabel. Fakta-fakta persidangan tidak perlu dipandang sinis sebagai upaya meruntuhkan kredibilitas.

Kedua, membuka mata dan pikiran tentang politik yang tidak selamanya buruk. Dengan demikian, rakyat akan mengembalikan kepercayaan pada politik sebagai mekanisme konstitusional dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, proses pengusutan kasus Bank Century yang terbuka adalah bukti bahwa bangsa ini sedang berusaha meniti tahapan konsolidasi demokrasi. Rakyat sedang dipertontonkan dengan kenyataan bahwa seluruh elemen sedang belajar memaknai dan menjalani proses demokrasi dengan baik.

Seberapa pun tingkat pesimisme dan optimisme rakyat akan berpulang pada sejauh mana pandangan, kesimpulan, dan rekomendasi pansus ditindaklanjuti secara politis dan yuridis. Paling tidak, rakyat telah disuguhkan sebuah perhelatan politik yang terbuka, transparan, dan demokratis. Rakyat patut menanti dan harus mengawal kasus ini hingga tuntas. Hasilnya membuktikan apakah kita mampu hidup berdemokrasi dengan baik atau sekadar menjadikan demokrasi sebagai retorika dan pemanis bibir belaka.

Oleh Mukhamad Misbakhun Inisiator Hak Angket Bank Century
Opini Media Indonesia 17 Februari 2010