16 Februari 2010

» Home » Kompas » Harapan pada Dewan Pers

Harapan pada Dewan Pers

Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2010-2013. Ini berarti sudah menjadi periode ke-4 Dewan Pers era Reformasi hadir. Dewan Pers sekarang bukan Dewan Pers ala Orde Baru, di mana ketuanya adalah ex-officio adalah Menteri Penerangan, dan bekerja untuk mengendalikan serta menyensor pers.
Desember lalu, terbetik berita menggembirakan menyangkut kinerja Dewan Pers di Indonesia. Sekretaris Jenderal International Federation of Journalists (IFJ) Aidan White menyebutkan bahwa Dewan Pers di Indonesia adalah lembaga yang berdiri paling depan untuk mempromosikan kebebasan media dan juga melakukan pendidikan luas kepada publik tentang pentingnya independensi jurnalisme dalam masyarakat di Indonesia.

 

Tulisan ini hendak memberikan sedikit catatan atas kinerja yang telah dilakukan Dewan Pers, dari seorang yang sedikit banyak pernah melakukan interaksi dengan Dewan Pers.
Perubahan media kita
Perdebatan panjang soal ”pekerja infotainment’, apakah wartawan atau bukan, menunjukkan adanya perubahan landscape media dan jurnalistik dewasa ini. Bauran produk-produk media (yang tak selalu bernilai jurnalistik) makin mengacaukan pengertian masyarakat dan juga dunia media sendiri, atas fungsi informasi dan fungsi pendidikannya.
Dorongan komersialisasi saat ini makin menekan dunia jurnalistik. Jurnalistik ”murni” (kalau boleh dikatakan demikian) makin ditantang dengan tayangan-tayangan yang dianggap lebih menghibur (sambil mengingat pernyataan dari Neil Postman lebih dari dua dekade lalu: Menghibur Diri Sampai Mati). Pesan yang sama juga disampaikan oleh Daya Kishan Thussu bahwa kini berita kerap kali diperlakukan sebagai hiburan, dan sebaliknya hiburan diperlakukan sebagai berita (News as Entertainment: The Rise of Global Infotainment, 2007).
Bagaimana ”jurnalistik murni” dipertahankan pada fungsinya untuk mengisi kekosongan informasi, pemberian makna bagi publik untuk mengerti kondisi sekelilingnya, serta membongkar manipulasi-manipulasi yang merugikan kepentingan publik, dan apa peran yang bisa dibawakan oleh Dewan Pers? Ini adalah sejumlah pertanyaan dasar untuk para anggota Dewan Pers periode saat ini.
Dengan perubahan landscape ini pula pelanggaran kode etik itu mengalami perubahan fundamental. Kita telah melihat bahwa surat pembaca dan bentuk ekspresi lain yang beredar dalam dunia maya (pada kasus Prita Mulyasari atau Luna Maya) dilihat sebagai produk jurnalistik dan dianggap mempunyai dampak besar (dan ada dalam bayang-bayang ancaman hukuman soal pencemaran nama baik). Ke depan pun kita akan menghadapi sejumlah aturan hukum, seperti Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pengawasan proaktif
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan bekerja sama dengan Yayasan KIPPAS di Medan, beberapa waktu lalu, melakukan rapid assessment dalam pemberitaan dua surat kabar di Medan pada masa sebelum dan sesudah terjadi tragedi tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara pada awal Februari tahun lalu.
Kajian tersebut telah kami sampaikan dan presentasikan kepada anggota Dewan. Namun, harapan kami agar Dewan mau mengumumkan secara terbuka pelanggaran kode etik oleh dua surat kabar tersebut tidak pernah terwujud. Padahal, dua koran tadi pada periode tersebut sangat menekankan sisi opini daripada fakta dalam pemberitaannya, belum lagi ketidakberimbangan narasumber yang dipilih masing- masing koran guna mempromosikan kepentingan mereka.
Pernyataan Dewan Pers tersebut menurut kami akan menjadi peringatan bagi media di tempat lain untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Sayang, Dewan Pers diam seribu bahasa dalam soal ini.
Dalam forum revisi Kode Etik Jurnalistik pada tahun 2006 sempat muncul wacana membuka kantor pengaduan Dewan di sejumlah wilayah di Indonesia untuk makin memudahkan proses pengaduan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia kepada Dewan. Sayang, hal ini pun masih jadi wacana belaka.
Campur tangan pihak lain
Ada gelagat bahwa pemerintah sekarang perlahan-lahan hendak kembali mengendalikan pers, tetapi bahaya yang lebih konkret adalah campur tangan pihak pemodal media terhadap kebijakan redaksinya. Penulis melakukan penelitian kecil untuk sebuah buku yang akan terbit di Australia, akhir tahun ini, dan penulis menemukan bahwa wartawan di berbagai grup media memiliki sejumlah ”tabu” yang tak boleh diberitakan pada medianya. Alasan utamanya adalah berita tersebut merugikan kepentingan bisnis grup media tersebut.
Ini adalah kondisi nyata pengaruh tangan-tangan tak kasat- mata yang harus mendapat respons segera. Penafsiran Pasal 1 dari Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, ”Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers”.
Selamat bekerja kepada semua pengurus Dewan Pers periode 2010-2013. Banyak harapan ditujukan kepada anggota Dewan saat ini. Kiprah Anda semua kami nantikan, dan tentunya suatu kondisi pers yang semakin berkualitas dengan praktik jurnalistik yang makin mencapai kesempurnaan dan menjadikannya punya makna bagi publik adalah harapan kita semua.
Ignatius Haryanto Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan serta Pengajar Jurnalistik di Sebuah Universitas Swasta
Opini Kompas 17 Februari 2010