16 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Banjir dan Kerentanan 'Governance'

Banjir dan Kerentanan 'Governance'

Maulana Mukhlis
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Tak berlebihan mungkin jika bulan-bulan ini kita sebut sebagai bulan bencana (banjir) untuk Lampung. Tidak saja di Bandar Lampung yang selalu menjadi rutinitas, tetapi juga hampir merata di seluruh wilayah Provinsi Lampung. Akibatnya, bukan hanya masyarakat yang rugi, melainkan secara makro bencana ini juga membuat arus perekonomian secara umum terganggu, misalnya dengan amblesnya jalintim Kalianda--Babatan dan jalinbar Krui--Bengkulu (Lampost, [10-2]).


Di Bandar Lampung, saat hujan datang setiap sudut kota nyaris tidak ada yang bebas dari genangan air. Kondisi drainase yang sempit, dangkal, dan sesak dengan tumpukan sampah diindikasi menjadi faktor utama di balik peristiwa banjir yang melanda sebagian besar wilayah Kota Bandar Lampung. Jika itu diselesaikan, Kota Bandar Lampung seharusnya jauh dari banjir karena topografinya miring ke laut. Dengan bentuk permukaan tanah yang miring tersebut, air akan langsung mengalir ke laut (Hery Riyanto, Lampost, [10-2]).
Menurut Koordinator Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Lampung Bambang Nova Setyanto, letak geografis Lampung di antara daerah basah Sumatera dan daerah kering Jawa-lah yang membuat provinsi ini rentan terjadi bencana alam dan membuat Lampung sering mengalami cuaca ekstrem seperti hujan lebat, petir, bercampur angin kencang dan menimbulkan angin puting beliung.
Pemerintah sebenarnya menyadari bahwa isu bencana ini adalah bagian dari isu global perubahan iklim. Hanya mungkin masalahnya, belum menjadi bagian dari kebijakan strategis banyak pemerintahan lokal termasuk di Lampung. Bagaimana membuktikannya? Yakni dengan menjawab pertanyaan (i) sektor apa dan wilayah mana yang paling rentan terkena bencana dan dampak perubahan iklim, (ii) apa strategi adaptasi terhadap sektor dan wilayah yang rentan itu, serta (iii) bagaimana kapasitas pemerintahan dalam mengelola dan menangani kerentanan sektor dan wilayah itu dalam konteks mitigasi bencana.
Persoalannya kemudian adalah apa yang mesti dilakukan untuk memberikan kesepahaman semua warga tentang tiga substansi pertanyaan di atas di wilayah kabupatennya masing-masing? Yang paling penting menurut saya, karena di sinilah titik awal dari mana (masyarakat) mengetahui jawabannya adalah perlunya vulnerability assessment (penilaian tingkat kerentanan). Problem kerentanan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim perlu dinilai dari aspek fisik, lingkungan, klimatologi, sosial ekonomi masyarakat serta aspek kepemerintahan (governance). Hal ini sekaligus menilai seberapa besar kapasitas kepemerintahan (governance) untuk menghadapi risiko bencana yang mungkin akan terjadi.
Dari sekian banyak aspek tersebut, jika aspek fisik, lingkungan, klimatologi adalah aspek yang sifatnya bukan lokalitas (tidak bisa hanya mengukur suatu wilayah karena ia menjadi bagian dari wilayah-wilayah lainnya), maka aspek kerentanan governance tampaknya menjadi sangat strategis menjadi prioritas penilaian karena ia menyangkut aspek kebijakan, yakni bagaimana pemerintah menyadari tentang kerentanan dan kapasitas yang dimilikinya dalam konteks adaptasi dan penanganan bencana sebagai dampak perubahan iklim.
Lingkup penilaian kerentanan aspek governance®MDBU¯ dan kelembagaan meliputi peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan, perencanaan dan pemrograman dan integrasi perencanaan penanganan bencana. Sebagai titik tolak strategi adaptasi, saya harus memberikan apresiasi kepada Kota Bandar Lampung karena telah secara riil mengimplementasikan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; karena dari sisi kelembagaan telah membentuk Kantor Penanggulangan Bencana yang menjadi ikhtiar awal yang positif dan bentuk kesadaran Pemkot tentang realitas kerentanan dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh Bandar Lampung. Bagaimana dengan kabupaten-kabupaten lain termasuk Provinsi Lampung? Saya pikir, ini PR untuk mereka.
Meskipun demikian, masih harus diakui bahwa peran para pemangku kepentingan melalui program dan kegiatan terkait bencana khususnya dan dampak perubahan iklim secara umum masih berjalan secara parsial dan belum ada upaya-upaya mengoordinasikan dalam suatu kerangka kebijakan dan program penanganan perubahan iklim pada tingkat makro (antarkota dengan kabupaten atau antarprovinsi dengan provinsi dan antarpemerintah dengan masyarakat). Hal ini menjadi penilaian pertama dari aspek peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan.
Kedua, program dan kegiatan terkait penanganan lingkungan (dan perubahan iklim) yang dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan belum dapat dipastikan keberlanjutan serta dampak yang ditimbulkannya dikaitkan dengan ancaman atau bahaya yang dihadapi. Kondisi ini kita maklumi karena skenario perencanaan daerah yang kemudian tertuang dalam DPA SKPD belum mampu bersinergi dengan baik dan cenderung hanya berdimensi jangka pendek.
Dari aspek perencanaan dan pemrograman, masih terlihat belum adanya keterpaduan koordinasi an kesamaan visi dan misi dalam penanganan bencana dan dampak perubahan iklim umumnya. Juga masih terbatasnya alokasi dana/anggaran untuk mendukung penanganan bencana dan dampak perubahan iklim serta belum efektifnya pelaksanaan rencana tata ruang dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim itu.
Beberapa penilaian kerentanan pada aspek governance di Lampung tersebut, sebenarnya juga beriringan dengan banyaknya program-program pembangunan infrastruktur pada tingkat masyarakat yang responsif terhadap perubahan iklim misalnya pembangunan talud untuk tanah rawan longsor dan pembangunan drainase di daerah pesisir. Juga keterlibatan banyak LSM dalam berbagai program penanganan lingkungan dalam skala masyarakat. Namun, semuanya seolah berjalan sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, terbentuknya Badan Penanggulangan Bencana, adanya studi mitigasi bencana, keterlibatan LSM di dalamnya serta analisis penilaian kerentanan yang (mungkin) telah tersedia harus diikhtiarkan untuk diramu menjadi satu strategi adaptasi yang terkoordinasi dan terlegalisasi dalam bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD) Penanganan Dampak Perubahan Iklim untuk masing-masing kabupaten di Lampung. Dalam konteks capacity building, ikhtiar ini sekaligus menyinkronkan empat kekuatan sekaligus, yakni kekuatan pemerintahan, kekuatan kelembagaan, kekuatan program penanganan, serta kekuatan kelompok sasaran.

Opini Lampung Pos 17 Februari 2010