16 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Plagiat itu Haram

Plagiat itu Haram

Oleh Ki Supriyoko

Kalau pun tidak dapat dikatakan tercoreng, sedikit banyak Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung sedang terganggu dengan berita-berita di media cetak dan elektronik tentang terjadinya plagiarisme yang diduga dilakukan salah seorang dosennya; yang notabene adalah seorang profesor dan mantan dekan di perguruan tinggi tersebut.


Profesor tersebut diduga melakukan plagiarisme karena mempublikasi karyanya yang ternyata (sebagian) menjiplak karya orang lain, dalam hal ini Carl Ungerer (Australia), tanpa menyebutkan sumber tulisannya. Pemublikasian tanpa menyebut sumber tulisan itu pun tidak hanya dilakukan sekali, akan tetapi sudah berkali-kali; bahkan ada yang mencatat sampai enam kali. Menanggapi peristiwa tersebut, Rektor Unpar Cecilia Lauw menyatakan, dirinya dan segenap civitas academica merasa terpukul dan amat kecewa atas mencuatnya kasus tersebut. Kiranya wajar kalau ada sebagian dosen yang mengusulkan gelar keprofesoran dosen tersebut dapat dicabut.

Kalau kita mengacu definisi dalam situs web Wikipedia, plagiarisme adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator.

Definisi seperti tersebut kiranya sudah mendapat kesepakatan dari masyarakat akademis di seluruh dunia, baik masyarakat akademis di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, maupun di negara berkembang seperti Indonesia.

Selama ini, AS merupakan negara yang sangat ketat terhadap plagiarisme; maksudnya para plagiator akan dikenakan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Kalau ada mahasiswa atau dosen yang melakukan plagiarisme maka dirinya harus benar-benar siap dikeluarkan dari sekolah atau universitasnya.

Bagi mahasiswa AS yang berasal dari mancanegara, pertama kali sudah diberi peringatan untuk menjauhi plagiarisme baik dalam menyusun karya ilmiah seperti tesis dan disertasi, ujian semesteran (examination), maupun pembuatan makalah tugas dari dosen (paper). Rupanya mereka tahu, ada sebagian mahasiswa yang berasal dari negara yang longgar terhadap plagiarisme. Kalau sampai ada mahasiswa yang melanggar ketentuan ini, universitas tidak segan untuk mengembalikan sang mahasiswa ke negara asalnya.

Keadaan seperti itu berlaku pada semua universitas di AS; baik universitas lapis pertama seperti Harvard University, University of Chicago, dan Massachussetts Institute of Technology (MIT), universitas lapis kedua seperti University of South Carolina dan Syracuse University, maupun universitas lapis ketiga seperti Cleveland State University dan Oakland University. Jepang juga negara yang ketat terhadap plagiarisme. Namun, kalau keketatan di AS lebih didasarkan pada hukum atau peraturan (law), keketatan di Jepang lebih didasarkan pada budaya (culture).

Di Jepang, karya sekecil apa pun sangat dihargai masyarakat. Dalam hal ini kita bisa melihat di televisi, orang-orang yang bisa menciptakan permainan anak yang sederhana seperti peragaan kupu-kupu, peragaan buaya, dan sejenisnya sangat dihargai. Meskipun demikian, orang Jepang sangat tidak suka kalau ada orang yang mengaku karya orang lain sebagai karya pribadinya. Orang pun sangat malu kalau harus mengakui karya orang lain sebagai karya pribadinya. Itulah sebabnya plagiarisme sangat ditentang bukan saja oleh masyarakat akademis tetapi juga masyarakat umum.

Universitas lapis pertama di Jepang seperti Tokyo University dan Kyoto University sampai dengan universitas lapis ketiga seperti Showa University dan Shizuoka University sangat menentang plagiarisme. Kalau ada dosen melakukannya, hampir pasti akan dicabut status kedosenannya.

Bagaimana di Indonesia

Meskipun bukan berarti menghalalkan plagiarisme, Indonesia termasuk negara yang kurang ketat terhadap penjiplakan karya orang lain. Di UGM memang pernah terjadi mahasiswa yang tesisnya menjiplak karya orang lain dan kepadanya dicabut status kesarjanaannya.

Kasus tersebut memang bagus tetapi kalau diteliti lebih jauh lagi, kiranya banyak karya mahasiswa kita yang ”berbau” plagiarisme akan tetapi tetap lolos ujian. Mereka mencantumkan karya orang lain tanpa mencantumkan sumber aslinya. Di sisi lain, banyak mahasiswa yang diduga melakukan penipuan akademis; mengutip naskah karya orang lain tanpa pernah membaca karya orang lain yang dikutipnya itu. Secara teoritis hal ini tidak mungkin, akan tetapi nyatanya bisa terjadi.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena banyak dosen kita yang kurang peka terhadap plagiarisme. Bahkan menjadi tidak mengherankan kalau plagiarisme tidak dilakukan mahasiswa saja tetapi oleh dosennya pula.

Bagaimana kalau plagiarisme itu dilakukan seorang profesor? Inilah hebatnya! Seharusnya seorang profesor paham betul kalau plagiarisme itu sesuatu yang harus dihindari. Ibarat makanan haram, plagiat itu haram dimakan. Apakah ia harus dicabut status kedosenannya sebagaimana yang terjadi di AS dan Jepang? Itu wewenang rektor dan senat universitas.

Apakah ia harus dicabut status keprofesorannya? Itu wewenang menteri pendidikan dan presiden. Seingat saya, kita belum memiliki peraturan yang spesifik mengenai hal ini.***

Penulis, Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.
Opini PIkiran Rakyat 17 Februari 2010