21 Mei 2010

» Home » Republika » Politik Islam

Politik Islam

Apakah ajaran Islam mengenal politik? Pertanyaan ini, sebagaimana dikemukakan oleh Munawwir Sjadzali, telah membelah umat Islam ke dalam tiga kelompok (Sjadzali, 1995: 3). Kelompok pertama berpendapat bahwa ajaran Islam mengenal politik dan bahkan mengatur politik itu sendiri. Karena itu, ajaran Islam juga mempunyai visi politik yang diwujudkan melalui konsep integrasi agama dan negara. Pandangan kelompok ini dapat dikenali dari platform gerakan-gerakan sosial keagamaan, seperti Ikhwan al-Muslimin di Mesir, Hizb al-Tahrir di Lebanon, dan Jama'at Islami di Pakistan. Di Indonesia, pemikiran gerakan-gerakan itu diwakili oleh Partai Masyumi pada era tahun 1950-an serta Partai Keadilan Sejahtera yang mempunyai ikatan ideologis dengan Ikhwan dan Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan cabang dari gerakan induknya di Lebanon.

Di sisi lain, kelompok kedua berpendapat bahwa ajaran Islam tidak mengenal politik dalam kedudukannya sebagai visi gerakan. Politik dan Islam merupakan dua hal yang berbeda. Politik adalah sesuatu, sedangkan Islam adalah sesuatu yang lain. Dua "benda" yang tidak dapat disamakan dari sisi mana pun. Kelompok ini berpegang kepada argumentasi tidak ditemukannya nash Alquran ataupun hadis yang berbicara tentang politik dalam keberadaannya sebagai visi gerakan.

Politik dalam Islam dikenal sebagai sebuah realitas tersendiri. Adapun Islam itu sendiri hadir dalam kapasitasnya sebagai sebuah pesan moral bagi alam semesta dan tidak menyinggung persoalan kekuasaan. Pandangan itu pertama kali muncul dalam khazanah pemikiran dunia Islam pada tahun 1924 di Mesir. Ali Abdul Razik adalah orang pertama yang memperkenalkan pandangan itu dalam makalah singkatnya yang diberi judul Al-Islam wa Ushul al-Hukm ("Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan").

Di Indonesia, pandangan Razik diperkenalkan oleh Soekarno dalam kritiknya terhadap pemikiran integrasi agama dan negara yang dikemukakan oleh Natsir. Enam puluh tahun berlalu, pandangan Razik tersebut meraih dukungan dari generasi saat ini yang tergabung dalam jaringan Islam liberal, yang dimotori oleh aktivis-aktivis Paramadina dan kaum muda NU.

Pandangan ketiga mencoba mengambil jalan tengah dengan tidak menafikan hubungan Islam dan politik serta tidak melebih-lebihkan posisi Islam terhadap politik atau sebaliknya. Menurut pandangan ini, sebagai ajaran yang bersifat mutawasith (moderat), Islam senantiasa menempatkan diri di tengah dua ekstrem yang paradoksal. Dalam catatan Munawwir, pandangan tersebut dipelopori oleh Muhammad Husain Haykal, seorang sejarawan Mesir ternama.

Mencermati perdebatan mengenai Islam dan politik memang mengasyikkan sehingga tanpa dirasakan banyak energi dikeluarkan untuk terlibat dalam polemik tersebut. Para pendukung Razik, di satu sisi, telah membuktikan kelemahan pandangan yang mendukung integrasi agama dan politik melalui inkonsistensi-jika tidak dikatakan sebagai kegagalan-partai-partai Islam dalam mempertahankan paradigma politiknya ketika berhadapan dengan pilihan politik.

Contoh PKS, PPP, dan PBB di Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat dimungkiri untuk menegaskan pandangan para pendukung Razik itu. Namun, tidak dapat juga dilupakan bahwa argumentasi para pendukung Razik sendiri juga menyimpan sejumlah kelemahan. Kemajuan politik yang dialami oleh bangsa Barat melalui sistem demokrasi sejatinya berangkat dari sublimasi nilai-nilai agama ke dalam politik. Para pendukung Razik melupakan peran mazhab Calvinian-salah satu mazhab dalam Kristen Protestan-yang menjadi stimulan tumbuhnya demokrasi di negara-negara Barat.

Dalam kaitan itu, kesimpulan Djokosoetono, yang menyatakan bahwa pembentukan masyarakat Amerika Serikat yang diilhami oleh perjanjian (verdraag) yang didasarkan pada ajaran Kristen, agaknya tidak dapat disangkal (Harun Alrasid, 2009: 55). Bahkan, ide pemisahan agama dari negara itu pada dasarnya berangkat dari ajaran agama juga.

Maka dari itu, menceraikan agama dari politik tampaknya tidak dapat dilakukan secara sederhana. Intervensi Pemerintah Prancis dan Belgia dalam persoalan jilbab secara jelas menunjukkan bahwa di negara-negara demokrasi sendiri pun bukan persoalan yang mudah memisahkan agama dari politik.

Dua kelemahan di atas sepertinya akan menggiring persepsi umat kepada pandangan Haykal yang mencoba menengahi keduanya. Sepintas lalu, pandangan Haykal tersebut terlihat ideal karena mencoba mengompromikan dua ekstrem yang saling berlawanan. Namun, kenyataannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Realitas di dunia senantiasa diwarnai oleh tarik-menarik di antara berbagai kepentingan. Dalam kaitannya dengan pemikiran dan pengaruh, kecenderungan untuk mendominasi-dan bahkan menghegemoni-akan selalu muncul dalam setiap masa. Yang membedakan dari fenomena tersebut adalah terkadang dominasi itu ditampilkan secara santun dan beradab dengan mengakui eksistensi pemikiran yang lain atau civilized domination. Terkadang, dominasi itu juga dimunculkan dengan cara-cara intoleran dan meremehkan keberadaan pemikiran yang lain atau uncivilized domination.

Sejarah menunjukkan fakta obyjktif kepada dunia bahwa selama ratusan tahun Islam pernah menampilkan bentuk civilized domination ketika berkuasa di Eropa bagian barat. Secara jujur, fakta itu diakui oleh Benedictus Spinoza, intelektual Yahudi, kelahiran Spanyol. Kekhalifahan Dinasti Umayyah Spanyol telah berhasil memperlihatkan citra Islam yang santun dan beradab melalui kekuasaan yang dipegangnya walaupun, dalam beberapa kesempatan, tidak dapat dimungkiri kasus-kasus yang berkaitan dengan agama terkadang muncul di tengah masyarakat. Pencitraan demikian itu dilatarbelakangi oleh kuatnya semangat rahmatan lil 'alamin yang diusung oleh Islam melalui politik perlindungan agama-agama, sebagaimana ditegaskan di dalam surah Alhajj ayat ke-40. Agaknya, motivasi doktriner yang kurang lebih serupa tersebut sulit untuk dicarikan landasannya dalam kitab-kitab suci selain Islam.

Opini Republika 21 Mei 2010