21 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Harga Diri Seorang Anggito

Harga Diri Seorang Anggito

KITA masih ingat perlakukan yang tidak mengenakkan yang telah menimpa Prof Nila Djoewita Moeloek ketika Presiden SBY melakukan tindakan tidak elegan dengan serta-merta mengesampingkan dokter ahli mata itu dari daftar orang-orang yang akan menduduki jabatan menteri. Padahal, segala proses sudah dilalui, seperti wawancara dan psikotes.

Namun, setelah proses itu dilaluinya dan bersangkutan sudah bersiap menerima amanah, secara tiba-tiba disingkirkan, dan penggantinya adalah orang yang sebelumnya oleh menteri yang sedang menjabat dianggap melakukan tindakan kurang mencerminkan nasionalisme karena membawa contoh virus ke luar negeri.


Atas tersingkirnya Nila, dan naiknya Endang Rahayu Sedyaningsih menjadi Menkes secara serta-merta meyakini bahwa hal itu terkait dengan kepentingan Namru yang notabene kepentingan Amerika Serikat. Seperti diketahui, Endang  memang sangat dekat dan mendukung keberadaan Namru di Indonesia. Jika masalahnya hasil tes kesehatan, menurut info yang berkembang sebenarnya ada calon menteri yang justru segi kesehatan lebih memprihatikankan, namun tetap melenggang menjadi menteri. Jadi, udang di balik batulah yang saya kira lebih menjadi faktor dari masalah itu.

Sehubungan dengan kasus Anggito Abimanyu, jika sekiranya Nila ditanya, sudah pasti ia akan menjawab, ‘’Saya sudah merasakannya’’. Artinya, tes kontrak atau yang dikenal dengan pakta integritas tidaklah bisa menjadi jaminan untuk menerima realisasi dari yang semestinya.

Kini, Nila tidak sendirian karena Anggito telah menjadi temannya senasib. Betapa tidak, seorang yang sudah menandatangi kontrak (pakta integritas) dan siap dilantik tiba-tiba tidak jadi dengan alasan tidak memenuhi unsur administrasi keeselonan. Jika memang menjadi faktor penghalang, tidak apalah. Namun, mengingat tidak lama setelah itu status Anggito dari eselon IB telah dinaikkan menjadi eselon IA, kenapa tidak juga dilantik padahal itulah halangannya ketika ia batal dilantik.

Namun, Anggito sepertinya masih sabar dan menunggu sampai akhirnya harapan itu benar-benar tidak akan menjadi kenyataan. Sebab, pada saat pengumuman Menteri Keuangan baru, pengganti Sri Mulyani, jangankan ia disebut sebagai calon menteri, calon wakil menteri pun tidak. Walhasil dengan pengumuman Presiden itu habislah harapan pemenuhan janji yang dia tunggu sekitar enam bulan.
Sangat Terhormat Jika sudah demikian, bukan manusia jika masih berusaha sabar ketika harga dirinya tidak dipandang, kecuali orang-orang yang sekadar mencari jabatan dan materi. Karena itu, mencermati sikap Anggito yang mengajukan mundur dari Kementerian Keuangan, menurut saya sangat terhormat. Semestinya, orang-orang mempunyai idealisme harusnya seperti itu, manakala  harga dirinya tidak diperhitungkan selain kepentingan untuk memanfaatkan tenaganya.

Anggito dalam soal calon wakil menteri sepertinya tidak akan sendirian karena Fahmi Idris (Ketua Umum IDI) sampai sekarang meskipun sempat melakukan hal yang sama dengan mantan calon Wakil Menteri Keuangan itu, masih bersatus calon Wakil Menteri Kesehatan, dan tidak ada tanda-tanda bahwa jabatan itu akan dihapus atau dicarikan orang lain. Fahmi Idris sama dengan Anggito sama-sama batal dilantik dengan alasan administrasi.

Persoalan menteri dan calon menteri memang hak prerogatif Presiden. Secara legalitas formal memang tidak ada masalah dengan hal itu. Namun secara etika sungguh tidak elok lantaran legalitas formal yang semestinya menyokong praktik humanisme justru berlawanan dengan nilai-nilai etika dan moral.

Barangkali, jika mencermati tindakan tidak elegan itu, kritik terhadap absolutisme dalam sejarah pemerintahan menemukan momentumnya pada kasus Anggito, Nila, dan mungkin segera menyusul Fahmi Idris. Hal itu, sangat pantas disematkan karena perjuangan demokrasi yang pada intinya agar seorang penguasa taat aturan dan bernurani justru tidak diperlihatkan.

Presiden memang mempunyai hak prerogatif namun hak itu sudah semestinya dijalankan sesuai dengan etika, moral, dan aturan agar dalam wajah praktiknya justru bukan kesewenang-wenangan dan keabsolutan.

Di samping, tudingan bahwa Presiden sulit berpendirian tegas semakin sulit ditampik mengingat berkaitan dengan masalah yang semestinya dijalankan, karena sudah diumumkan saja sulit untuk konsisten. Apalagi menyangkut hal yang samar-samar.

Barangkali, orang dekat SBY sudah semestinya mengingatkan hal itu. Jika tidak kita hanya akan disuguhi keramahan artifisial yang dalam tindakannya justru kebalikan dari hal itu. (10)

— Mahmudi Asyari, doktor dari UIN Jakarta

Wacana Suara Merdeka 22 Mei 2010