Oleh Yulius Tandyanto
"Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya."
-Suwardi Suryaningrat, ”Seandainya Aku Seorang Belanda”-
Sekitar tahun 1913, Suwardi Suryaningrat (1889-1959) pernah menulis artikel ”Seandainya Aku Seorang Belanda” (”Als ik een Nederlander was”) yang terasa pedas bagi kalangan pejabat Belanda waktu itu. Dengan cara yang cerdas dan elegan, ia menyatakan bahwa orang Indonesia memiliki jati diri yang tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh para penjajah. Tak berlebihan jika Takashi Shiraishi, pakar dari Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Kyoto, menyatakan bahwa orang Indonesia lahir dari tulisan ini.
Kini, sudah hampir seabad identitas itu mengarungi waktu. Laiknya pengalaman seorang tua, identitas Indonesia pun didewasakan melalui pahit manis situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya dalam sejarah bangsa. Melalui pengalaman tersebut, bangsa ini seharusnya dapat menampilkan kekhasan jati diri, jiwa, dan semangat yang dewasa, cerdas, dan etis di hadapan dunia internasional.
Namun, kenyataan berucap tak selugas harapan. Alih-alih memiliki jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa ini mengalami krisis jati diri di tengah-tengah situasi yang kian cerewet, ruwet, dan egois. Lihat saja bagaimana identitas bangsa melebur dalam ruang publik yang telah dipenuhi pencitraan politik, realitas yang berlebihan, takhayul, dan aksi terorisme. Kemudian, sistem politik dan pendidikan yang menghadirkan feodalisme gaya baru dengan sarana dan prasarananya, seperti RUU atau perda yang mengebiri semangat demokrasi. Selain itu, pemerataan keadilan sosial juga masih berkutat pada retorika, misalnya perlindungan terhadap TKI, penyelesaian kasus mafia hukum, dan diskriminasi bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, bangsa ini perlu bercermin untuk melihat bagaimana rupa dirinya saat ini.
Menakar kualitas identitas bangsa sendiri merupakan upaya untuk mawas diri. Kita dapat merefleksikan sejauh mana bangsa ini mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sejauh mana pula bangsa ini mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berperan dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan perdamaian sosial. Apakah sepak terjang bangsa ini mampu menginspirasi warga dunia untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan ataukah bangsa ini perlu dikasihani dengan segudang rapor merahnya.
Wartawan senior, Mochtar Lubis (1922-2004), pernah menakar identitas manusia Indonesia dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1977. Munafik, enggan, dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, serta lemah watak merupakan ciri-ciri utamanya. Dengan tidak mengabaikan beragam tanggapan masyarakat yang muncul, kecenderungan yang diungkapkan Mochtar harus diakui masih relevan hingga saat ini.
Jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya bangsa ini cerdas dan kaya akan budaya. Salah satu kecerdasan yang lahir dari kebudayaannya adalah semangat gotong royong dan kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan suatu usaha bersama-sama, membanting tulang bersama, dan memeras keringat bersama tanpa pamrih. Usaha ini terbungkus dalam semangat kekeluargaan yang tidak merendahkan suku, agama, ras, dan golongan. Bahkan, semangat ini merupakan perpaduan antara pengalaman dan konsep (sintetik apriori) yang terajut selama ratusan tahun silam.
Filsuf asal Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) menyatakan, sintetik apriori merupakan sintesis yang memunculkan pengetahuan. Dalam hal ini, kita mengalami semangat gotong royong dan kekeluargaan melalui alat indra. Bersamaan dengan itu, kita akan membentuk pengertian tentang semangat tersebut melalui pemahaman. Dengan demikian, perpaduan pengindraan dan pemahaman mengenai semangat gotong royong dan kekeluargaan memunculkan pengetahuan yang khas milik bangsa ini.
Kekhasan pengetahuan mengenai semangat gotong royong dan kekeluargaan merupakan kearifan bangsa yang perlu mengurat daging. Ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menghidupkan kembali semangat tersebut. Pertama, mengapresiasi semangat gotong royong dan kekeluargaan. Masyarakat perlu meyakini bahwa semangat tersebut mampu bersanding dalam kancah etos kebudayaan internasional. Di tengah peradaban yang kian materialistis dan egois, elan gotong royong, dan kekeluargaan justru mengembalikan manusia pada hakikatnya sebagai mahkluk sosial. Suatu semangat yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Kedua, memutakhirkan semangat gotong royong dan kekeluargaan seiring kemajuan zaman. Masyarakat harus berani dan kreatif untuk mengaktualkan semangat tersebut dalam situasi kekinian. Bukan sekadar memahami semangat gotong royong dan kekeluargaan secara semantik, tetapi mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan tujuan bersama. Misalnya, segenap lapisan masyarakat Indonesia memikirkan secara serius persoalan pendidikan di Indonesia. Melalui pranata-pranata yang ada dalam masyarakat seperti keluarga, lembaga agama, dan institusi sekolah mencoba mengembangkan sistem dan etos pendidikan yang khas dan terjangkau.
Kita meyakini bahwa semangat gotong royong dan kekeluargaan merupakan identitas khas bangsa Indonesia. Semoga bangsa ini tidak menganggapnya sekadar warisan berharga yang menjadi catatan sejarah bagi bangsa ini. Lantas, bangsa ini baru menyadari betapa berharganya kearifan tersebut ketika lebih dihargai dan menjadi identitas bangsa lain. Jangan sampai ada orang yang menulis, ”Seandainya Aku Seorang Indonesia” untuk menyadarkan bangsa ini dari pesona mimpi pongahnya. ***
Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad, bergiat di Komunitas UBI.
opini pikiran rakyat 22 mei 2010