21 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Merawat wibawa ulama

Merawat wibawa ulama

Dalam tradisi Islam, ulama diberi kepercayaan untuk merawat pengetahuan keagamaan.

Tak hanya itu, tradisi kesarjanaan muslim ini tidak melulu berkait dengan kapasitas intelektual, tetapi juga perilaku keseharian. Pendek kata, kealiman seseorang tak hanya diukur dari kepintaran, tetapi juga perilaku yang mencerminkan teladan. Inilah yang membedakan dengan tradisi “pencerahan” yang menolak hal ihwal pribadi (argumentum ad hominem) sebagai ukuran menilai kelayakan otoritas.

Lalu, bagaimana dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekarang sebagai lembaga yang mempunyai wewenang keagamaan? Mengapa banyak orang menjadikan lembaga ini bahan olok-olok, tidak hanya orang biasa, bahkan sebagian santri dan kaum terpelajar dari insitusi Islam juga tak menaruh simpati?

Saya masih ingat ketika seorang pemuda sarjana berlatar belakang lembaga Islam terkemuka meminta MUI untuk menyetempel (maaf) bokong Inul Daratista sebagai haram dalam sebuah pertemuan di kota pelajar. Dalam jejaring sosial, laman blog dan percakapan acap kali ditemukan celetukan yang menjadikan lembaga tersebut sebagai bahan lelucon. Dalam sebuah status akun Facebook, seorang santri bahkan mengusulkan pembubaran MUI.

Apa yang salah dengan lembaga itu? Apakah ini disebabkan fatwa yang dikeluarkan acap kali bertabrakan dengan kepentingan orang banyak? Coba lihat beberapa keputusan yang mungkin tak membuat nyaman khalayak luas, seperti pengharaman barang bajakan, rokok, film kontroversial dan perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day). Memang yang terakhir ditegaskan oleh MUI Cabang Malang, namun selalu saja tak menepis anggapan bahwa MUI di manapun sama saja, mengekang kehendak publik. Benarkah?

Fatwa

Boleh dikatakan fatwa berkait dengan kepentingan dan ketentraman masyarakat luas dari ketentuan agama. Dasar sejati dari fatwa adalah memelihara jiwa, agama, akal budi, keturunan dan harta. Di sinilah, kita harus mencermati perbedaan antara falsafah hukum (usul fikih) dan produk hukum (fikih). Memang, tak sepenuhnya fatwa berdampak pada pelaksanaan, karena lembaga yang dimaksud tidak menjadi bagian dari hukum positif dan adanya aparat yang melaksanakan keputusan. Kekuatan hukum yang tidak mengikat inilah yang sebenarnya berbuah kebaikan, sebab fatwa tersebut kadang berada pada ranah perselisihan (ikhtilaf), bukan prinsip.

Jika tiada lembaga sentral resmi yang menaungi lembaga yang mengeluarkan keputusan tersebut, hampir setiap kelompok, organisasi atau bahkan perorangan memberikan pendapat terhadap persoalan yang sedang dipertikaikan. Tak jarang, hasil kajian kelompok, seperti forum bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) ke-12 se-Jawa Timur di Ponpes Lirboyo, Kediri, tentang hukum haram bagi foto prapernikahan atau prewedding, pelurusan rambut dan pengojek perempuan telah menimbulkan respons yang beragam. Sebagian mendukung dan yang lain tidak. Ini menunjukkan betapa di kalangan internal kesarjanaan muslim perbedaan pendapat itu lumrah. Bukankah di kitab-kitab fikih kita selalu menemukan hal yang sama?

Namun demikian, komentar miring atau usulan membubarkan forum seperti ini tidak muncul ke permukaan. Demikian juga, ketika NU mengeluarkan fatwa tentang keharaman acara infotainment, karena ghibah yang meruyak, tak ada yang mencoba mengolok-ngolok, demikian juga pada Muhammadiyah. Anehnya, MUI yang anggotanya mencerminkan kedua organisasi besar tersebut acap kali dijadikan bahan sindiran. Apalagi, sekarang, lembaga ini digawangi oleh dua tokoh penting dari organisasi yang dimaksud, KH Sahal Mahfudz dari NU dan Din Syamsuddin dari Muhammadiyah, yang sebenarnya menunjukkan potret kewibawaan.

Memang, tak dapat dielakkan, terkadang fatwa MUI menimbulkan sanggahan, bahkan dari sarjana muslim sendiri. Keharaman pluralisme, sekulerisme dan liberalisme telah menimbulkan silang sengketa. Lagi-lagi, harus dijelaskan di sini bahwa tafsir terhadap pengertian mazhab yang dimaksud itu tidak sama. Adalah wajar, jika “hukum” terhadap ketiga pemahaman ini juga berbeda. Pendek kata, keberterimaan pada perbedaan harus mendorong siapapun untuk terbuka bagi dialog. Stempel yang melekat pada MUI sebagai kepanjangan tangan pemerintah tak dapat dihindari karena fatwa yang dikeluarkan sejalan dengan kepentingan pihak berkuasa, namun pada waktu yang sama pendiriannya pernah berseberangan.

Pengawal tradisi

Dalam The Ulama in the Contemporary Islam karya Muhammad Qazim Zaman, dalam pengantar dijelaskan bahwa tantangan dan konsekuensi modernitas telah menantang peran ulama. Perguruan tinggi dan pengaruh cetakan dan media yang lain telah menjebol akses istimewa ulama terhadap wewenang yang digenggamnya selama ini. Namun, bagaimanapun karya-karya mereka tetap menjadi rujukan dan pertimbangan berkait dengan wacana keagamaan. Bahkan di Barat pun, dari zaman skolastik hingga Descartes, Hume ke Kant, Hegel, Hüsserl hingga kaum eksistensialis, perdebatan filsafat terus berlangsung yang dengan sendirinya menegaskan adanya titik sambung antara masa lalu dan kekinian.

Nah, Majelis Ulama Indonesia juga telah melakukan hal yang sama. Kalau menilik fatwa yang telah dikeluarkan, selain merujuk pada kita suci dan hadits, kaidah fiqh, mereka juga memasukkan pandangan ulama terdahulu sebagai pertimbangan. Pendek kata, kesinambungan gagasan terus berjalan. Selain terlibat dalam perebutan wacana itu, mereka juga sekaligus memikul beban untuk menjadi teladan. Di sini, alim ulama terdahulu telah memberikan contoh yang patut dipertimbangkan. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang meninggalkan bisnis untuk sepenuhnya mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan keagamaan. Kesederhanaan dan keberanian menjaga jarak dari kekuasaan telah menorehkan kekaguman.

Bagaimanapun, MUI telah menjadi wajah dari berbagai aliran. Kehadirannya mencerminkan kesepakatan berbagai organisasi keagamaan. Atas dasar inilah, wibawa MUI dipertaruhkan. Tentu, pada masa yang sama, ia membuka diri pada dialog, perbedaan dan hubungan silaturahmi dengan berbagai lapisan, baik dalam dan luar. Fatwa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final telah menempatkan lembaga ini sebagai saka guru bagi terpeliharanya Bhinneka Tunggal Ika di Republik ini. Jadi, upaya mengecilkan keberadaannya hakikatnya telah menutup perannya untuk menjadi institusi jalan tengah keberagamaan di Indonesia! - Oleh : Ahmad Sahidah


Opini Solo Pos 21 Mei 2010