terkurung gunung seribu
air mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut
Saya yakin kini arwah Pak Gesang tersenyum: ”Ah, Pak Jaya ini memang senang
Cukup satu mahakarya Pak Gesang saja sudah memenuhi kelayakan Pak Gesang diangkat menjadi Pahlawan Nasional: ”Bengawan Solo”. Lagu sederhana indah ini sudah mengglobalkan Indonesia jauh sebelum istilah globalisasi itu sendiri ramai dipergunjingkan.
”Bengawan Solo” sebenarnya sudah menjadi Bengawan Dunia sebab lagu indah ini didendangkan dalam bahasa Mandarin di daratan RRC. Tak kurang dari Kaisar Akihito menganugerahkan penghargaan kepada Gesang akibat lagu ”Bengawan Solo” demikian dicintai masyarakat Jepang sehingga juga teksnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Tak sedikit warga negeri Belanda yang lebih mampu mendendangkan ”Bengawan Solo” ketimbang lagu kebangsaan mereka sendiri. ”Bengawan Solo” begitu merakyat di bumi kerajaan kincir angin itu sampai ada warga Belanda berhalusinasi bahwa lagu ciptaan putra Indonesia terbaik itu adalah ciptaan dirinya sendiri. Setelah kebudayaan hak cipta merajalela di dunia kesenian memang tak sedikit makelar kasus bernafsu memanfaatkannya habis-habisan tanpa kenal apa yang disebut malu sebab mungkin memang tak punya kemaluan.
Di Suriname, ”Bengawan Solo” senantiasa populer sepanjang masa dan sudah dianggap sebagai lagu nasional nun jauh di sana itu. Di sebuah restoran China di Madrid, Spanyol, saya sempat sulit menelan santap malam akibat terharu mendengar lagu ”Bengawan Solo” mengalun sebagai musik latar rumah makan jauh dari Solo itu.
Di Malaysia dan Singapura yang serumpun kebudayaan dengan kita itu, dengan sendirinya ”Bengawan Solo” sudah dianggap milik mereka juga. Tak heran ketika saya bersama Kwartet Punakawan mengalunkan ”Bengawan Solo” di Esplanade Singapore, hadirin spontan ikut menyanyi dan setelah usai aplaus membahana menggetar ruang resital.
Secara eksplisit, para panitia penyelenggara konser Kwartet Punakawan di Brisbane, Melbourne, Sydney, Perth, menuntut agar ”Bengawan Solo” ditampilkan sebagai lagu wajib pergelaran. Tanpa ”Bengawan Solo” enggak usah
Sebagai seorang yang sedikit mengerti makna estetika karya musik, maka dipercaya sebagai juri berbagai sayembara musik di Jerman, AS, Hongkong, dan pada akhir April 2010 memperoleh kehormatan menjuri The Bicentennial Chopin Piano Competition selenggaraan Kedutaan Besar Polandia dan Lembaga Kebudayaan Perancis di Erasmus Huis, Jakarta, saya berani tegas menyatakan bahwa harkat dan martabat estetika musik ataupun syair lagu ”Bengawan Solo” Gesang layak disejajarkan dengan ”Indonesia Pusaka” Ismail Marzuki dan ”Indonesia Raya” WR Supratman.
Saya juga berani menyatakan bahwa mutu estetikal ”Bengawan Solo” Gesang tak inferior dibandingkan dengan ”Lorelei” Schubert, ”Widmung” Schumann, ”Wiegenlied” Brahms, ”O sole mio” Di Capua, ”Piacer d’Amour” Martini, ”White Christmas” Berlin, ”I Got Rhythm” Gershwin, dan silakan dilanjutkan sampai memadati halaman koran yang sedang Anda baca ini.
Di forum diskusi kelas komposisi musik Folkwanghochschule Essen, Jerman, saya pernah sengaja memilih ”Bengawan Solo” sebagai bahan kupasan analisis bentuk dan harmoni komposisi musik yang ternyata sangat memesona dan mengagumkan para musikus dan musikolog kelas langit yang hadir.
Pendek kata, sama sekali tak ada alasan bagi bangsa dan negara Indonesia keberatan apalagi menolak insan putra terbaik Nusantara setulus dan sesederhana Pak Gesang diangkat menjadi Pahlawan Nasional kecuali arogansi politik berbumbu prasangka dengki dan benci belaka.
Opini Kompas 22 Mei 2010