Negara, juga bangsa ini, berutang banyak kepada Gesang. Empu Gesang–– mungkin lebih pas istilah empu dibandingkan dengan maestro–– bukan hanya mengabadikan jenis musik keroncong, melainkan juga pribadi yang utuh, santun, tak pernah meminta, dan terus berkarya.
Di usia 23 tahun (itu tahun 1940), Gesang muda yang penyanyi––dan hanya––keroncong dari kampung-kampung termenung di pinggir Bengawan Solo. Pasang surut sungai besar itu membuatnya menulis notasi dalam kertas bungkus rokok dan enam bulan kemudian terjelma menjadi lagu Bengawan Solo yang melegenda. Sedemikian populernya lagu itu sehingga para serdadu Jepang yang menjajah di sini terus terkenang ketika pulang kandang. Mereka yang sudah tua ini bernostalgia mendendangkan dan memberi penghargaan kepada sang pencipta lagu. Dibuatkan patung setengah badan, taman di tempat rekreasi Jurug, juga santunan dan undangan ke Jepang saat musim dingin. Bukan sekali dua kali.
Seperti lirik lagu––yang juga menjadi tag line iklan––, ketenarannya “mengalir sampai jauh”, melewati batas geografis negara, bukan bangsa Jepang atau China saja. Sekurangnya ada 13 terjemahan lagu atau bahkan ilustrasi dan dinyanyikan dalam film mancanegara. Dan Gesang tetap sebagaimana ketika mencipta dulu kala. Sederhana, santun, apa adanya. Tetap utuh sebagai seorang empu.
Sederhana, Seadanya
Gesang identik dengan keroncong: diakui keberadaannya, dihormati, tapi juga dilupakan sebagai benda langka yang tak tahu dibagaimanakan. Satu dua kali diingat, selebihnya terlupakan. Sebagai empu, sebagai seniman, Gesang tak meminta apa-apa, untuk dirinya atau perlakuan terhadap karya-karyanya. Kalaupun pernah ada keluhan, itu bukan soal penghargaan, melainkan: ”Jangan lupakan keroncong.” Selebihnya, menjalani kehidupan dengan seadanya seperti ketika menikmati sungai, ketika patah hati––yang lalu melahirkan keroncong Sapu Tangan––, ketika mengagumi perjuangan–– lahir keroncong Jembatan Merah––, ketika tersentuh hatinya oleh gadis-gadis yang mengenakan caping di gunung–– keroncong Caping Gunung––, ketika risi melihat kemunafikan–– keroncong Aja Lamis––, dan ketika merasa tua––keroncong Pamitan.
Semua murni dari sikap kreativitas sebagai seniman dan mengubahnya sebagai karya. Bukan karena pesanan, bukan karena rekayasa politik, atau tekanan mana pun, selain kemauannya sendiri. Juga ciptaan yang lain, baik lirik maupun irama. Dengan keluguan, kelugasan sebagai pilihan hidup yang dijalani. Sebagaimana pilihan untuk hidup bebas merdeka––tak tergoda menjadi abdi dalem yang saat itu pasti lebih menjamin ekonomi kehidupan dan statusnya. Atau juga dirayu oleh kekuatan partai politik misalnya. Gesang adalah Gesang yang menjalani hidup dengan bersyukur dan mestinya bahagia. Bukankah siapa gadis yang mematahkan cintanya tak pernah keluar dari bibirnya? Bukankah kegembiraan ketika mendengarkan perkutut––bukan jenis perkutut yang koongnya merdu––lebih mengasyikkan dibandingkan membicarakan hak cipta karya-karyanya?
Bukankah tinggal di kampung Kemlayan atau rumah pemberian di perumnas tak membuatnya berbeda? Bukankah hidup dengan keponakan tak membuatnya menyesali tak mempunyai anak? Bukankah hidup sendirian, sejak tahun 1962 ketika berpisah dari perkawinan singkat, tak melahirkan gosip atau perseteruan? Bukankah seluruh pribadi sang empu merupakan keseluruhan yang utuh? Bukankah nama tambahan Martohartono adalah kewajaran sebagai nama karena menjadi orang tua?
Seniman Tradisi Terbesar
Seperti remaja lain yang sedang menjajal hidup sebagai wartawan di dunia seni––atau juga sebagai koresponden daerah––, modal pertama adalah wawancara atau bertemu Empu Gesang yang dengan ramah, riang, tanpa prasangka melayani, menjawab dengan hemat. Tak berubah sama sekali 30 tahun kemudian, saya menemui dan mengutarakan akan mendokumentasikan karya-karya beliau dan mengupayakan jaminan secara benar. Saya hanya ikut bersama Setiawan Djody dan beberapa keponakan beliau, menyampaikan ini, berikut rencana. Jawaban beliau mudah diduga.
”Inggih, mangga.” Ya, silakan.Tak ada pertanyaan bagaimana bentuknya, bagaimana caranya, siapa saja orangnya. Juga tidak menanyakan bagaimana kelanjutannya. Dengan segala kesederhanaan dan tanpa kehilangan semangat menjalani hidup inilah beliau menjadi manusia langka, menjadi lebih berharga. Sebagai manusia, sebagai seniman yang berdaulat pada dirinya, tanpa menonjolkan diri, tanpa pernah meminta––bahkan hanya perhatian sekalipun. Tembangnya adalah nurani yang mencintai hidup, menerima sesama, dan mengekspresikan.
Beliaulah seniman tradisi terbesar–– dan barang kali terakhir––sebagaimana dalang Narto Sabdo, yang masih mengenal kompromi. Kesederhanaan atau prasaja membuat beliau langka dan karenanya membuat kita semua merasa berutang. Untuk membalasnya. (*)
Arswendo Atmowiloto
Budayawan
opini okezone 21 mei 2010