21 Mei 2010

» Home » Kompas » Menghadang Patronase Politik

Menghadang Patronase Politik

Salah satu warisan buruk dari rezim Orde Baru dalam bangunan struktur politik kita setelah 12 tahun era reformasi adalah budaya patronase politik yang masih melekat kuat.
Pada masa lalu, Soeharto mengelola birokrasi pemerintahan dan organ politik dan sosial secara sentralistik dengan membangun patron-client menyusur ke bawah untuk mengukuhkan kekuasaan diri dan keluarganya. Ironisnya, pada saat ini kita menyaksikan kecenderungan dari figur-figur elite politik utama yang pada masa lalu memerankan sebagai tokoh reformis sekarang mereplikasi karakter politik Soeharto dengan lebih canggih.
Berkaitan dengan tumbuh dan menyebarnya virus patronase politik dalam arena politik kita sekarang, kita saat ini jadi saksi bagaimana para elite-elite politik menerapkan patronase politik di rumah-rumah partai politik (parpol) mereka. Gejala tersebut terbaca dengan jelas di mata publik, misalnya pada saat Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lalu saat elite utama dalam partai tersebut mengamankan struktur pusat partai demi kepentingan dinasti mereka.


Sekarang, kita akan menyaksikan apakah Kongres Partai Demokrat mendatang juga akan melakukan hal yang serupa bagi stabilitas dan keamanan politik dari dinasti SBY. Apabila jalan ini yang dipilih oleh elite utama dalam partai tersebut, lalu apa akibatnya bagi masa depan performa dan modernisasi parpol ini dan pada ujungnya juga terkait dengan pengaruh politik dari SBY sebagai figur sentral partai tersebut (setidaknya sampai saat ini) dalam real politik mendatang.
Salah satu indikasi dari bergulirnya praktik patronase politik menjelang Kongres Partai Demokrat mendatang terlihat pada tampilnya sang putra presiden tidak saja untuk men-support, tetapi menekankan keidentikan dukungan terhadap salah satu calon dengan loyalitas terhadap SBY. Di tengah kondisi partai yang masih kuat bergantung pada figur SBY, tampilnya putra beliau mendukung salah satu calon merupakan alamat buruk bagi kehendak memodernisasi partai yang tengah bersemi dalam partai tersebut. Sementara di sisi lain, saat ini tengah terbangun energi positif di ruang publik yang tengah menunggu partai yang otonom, solid dengan pelembagaan yang kuat, dan tidak terlalu bergantung pada figur sentral.
Kemunduran
Sungguh menyaksikan kondisi politik seperti ini, suasana politik kita sekarang sepertinya mundur lebih dari seratus tahun yang lalu. Dalam sejarah pergerakan nasional, gelar-gelar ningrat aristokratik dan nama besar trah keluarga bukanlah menjadi kebanggaan bagi kaum pergerakan. Bahkan, menggunakan istilah dr Abdul Rivai (1901) istilah bangsawan ”oesoel” menjadi sebuah cibiran dan penanda buruk bagi kehadiran kaum ningrat yang tampil tidak dengan kapasitas personal dan pengabdian pada rakyat yang dibenturkan dengan istilah bangsawan pikiran.
Selanjutnya, sejarah menjadi saksi bagaimana tampilnya sebagian kaum priayi yang membuang jauh atribut aristokratiknya bersama aktivis yang berlatar rakyat menciptakan dan membangun karakter politik Indonesia yang penuh integritas dan patut dibanggakan.
Apabila kita renungkan dalam-dalam terkait dengan masa depan politik dan kemaslahatan rakyat bersama, terlalu besar hal yang dikorbankan untuk proyek merawat patronase politik di Indonesia.
Tiga hal
Setidaknya tiga hal penting harus direnungkan oleh para elite partai terkait dengan motif penguatan politik dinasti. Pertama, seperti diutarakan Herbert Kitschelt (2004) dalam karyanya, Parties and Political Intermediation, fungsi parpol sebagai rumah bagi proses konsolidasi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang terkait dengan tindakan kolektif dan pilihan-pilihan sosial dari anggotanya dapat berjalan efektif dalam lingkungan internal yang kondusif.
Kemampuan parpol untuk menjalankan fungsinya dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya tentunya sangat ditentukan oleh kapasitas dari kader-kader politik, bukan dari orang-orang yang hanya mengandalkan pada restu dan cantelan politik dari figur elite utama. Pendeknya, menurut Kitschelt, suasana internal yang menekankan pada perekrutan dan mobilisasi politik berdasarkan kapasitas dan kapabilitas kader menjadi penentu suksesnya konsolidasi agenda publik. Kuatnya patronase dan oligarki parpol akan menghambat partai berperan menjadi artikulasi kepentingan publik dan hanya mengartikulasikan kepentingan elite politik saja.
Kedua, ancaman bagi patronase dalam parpol adalah virus ini akan membelokkan parpol untuk memperjuangkan tujuan utama dari aktivitas berpolitik itu sendiri. Merujuk tradisi politik Aristotelian, Colin Hay (2007) dalam karyanya, Why We Hate Politics, menguraikan dengan gamblang bahwa ketika arena politik bekerja hanya untuk melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elite- elite politik, proses tersebut akan berbuah irasionalitas kolektif.
Rakyat dan konstituen tidak akan pernah ditempatkan menjadi mitra politik, tetapi hanya menjadi obyek dan manipulasi dari kepentingan segelintir elite politik yang berhulu dan berhilir pada politik dinasti. Dari dinasti, oleh dinasti dan untuk dinasti bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Saat publik semakin dewasa, partai-partai politik yang masih menekankan pada karakter patronase politik ini pelan-pelan akan kehilangan dukungannya di mata publik.
Ketiga, menguatnya patronase politik hanya akan memunculkan sikap apatisme dan skeptisisme di kalangan kader-kader partai yang pada awalnya memiliki integritas dan komitmen yang kuat kepada parpol. Tidak ada motivasi dan hasrat politik yang kuat bahwa komitmen dan perjuangan mereka untuk bekerja dan menyatu dengan rakyat akan mendapatkan apresiasi yang setara. Fenomena ini akan melesukan dinamika dan pemudaan pelembagaan parpol kita ke depan. Kader partai tidak terpacu untuk membangun jejaring akar rumput untuk mengonsolidasikan antara mesin partai dan aspirasi rakyat, mereka hanya sibuk menjadi penyambung kepentingan elite dan pelapor pada elite politik.
Apabila kita merenungkan persoalan tersebut di atas, agaknya masih ada kesempatan bagi para elite politik di Partai Demokrat menjelang kongres mendatang. Apakah ia akan memilih figur yang bekerja keras untuk mengonsolidasikan partai dan tidak bergantung hanya pada restu pemimpin, ataukah memilih kader penyambung dan pelapor kepentingan elite saja. Salah satu pelajaran dari runtuhnya Soeharto 12 tahun yang lalu, bukankah ia turut dijatuhkan oleh para Brutus yang sebelumnya hanya meminta petunjuk dan melaporkan hal yang baik-baik kepada dirinya.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Opini Kompas 22 Mei 2010