Komisi Pemberantasan Ko- rupsi (KPK) yang diharapkan mengungkapnya ternyata terjebak di simpang jalan. KPK gentar berhadapan dengan pemerintah yang tak ingin apabila Wakil Presiden Boediono dan Sri Mulyani dibawa ke kursi keadilan. Boediono dan Sri Mulyani sudah diperiksa, tetapi belum ada titik terang ke mana arah penanganan kasus ini.
Bisa dipastikan bahwa KPK semakin sulit menuntaskan kasus ini meski secara teoretis, Sri Mulyani tetap bisa diperiksa.
Jalan terjal menuntaskan kasus Century semakin curam sebab belum satu pun dari sekitar 90 orang yang diperiksa ditingkatkan ke tahap penyidikan. Padahal, pemimpin KPK pernah berkoar-koar bahwa penyelidikan kasus Century sudah dilakukan jauh sebelum Panitia Hak Angket terbentuk. Kepolisian dan kejaksaan setali tiga uang: sama sekali belum bergerak mengungkap dugaan pelanggaran undang-undang perbankan dan pencucian uang.
Presiden juga mengembalikan surat DPR soal pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang mendasari kebijakan penalangan. Sikap Presiden semakin mengaburkan arah penyelidikan: malah bisa berhenti di tengah jalan apabila DPR menyetujuinya. Nama-nama pejabat yang direkomendasikan agar diproses hukum akan mendapat perlindungan hukum berdasarkan Perppu JPSK.
Begitu pula dokumen hasil pemeriksaan DPR yang berisi data tertulis, rekaman pemeriksaan sejumlah pejabat beserta lampirannya juga terlambat diterima KPK sampai saat pertemuannya dengan Tim Pengawas DPR (5/5/2010). KPK hanya menerima enam lembar kesimpulan keputusan DPR. Kalaupun dokumen akhirnya dikirim, tetap saja dipertanyakan apakah keterlambatan itu bukan untuk menghambat proses hukum yang dirancang secara sistematis. Inilah cermin betapa lemah kepekaan lembaga terkait terhadap persoalan yang begitu penting.
Melihat suasana politik terakhir, kasus ini tidak akan pernah terang-benderang seperti yang sering didengungkan Presiden SBY. Apalagi setelah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua harian Sekretariat Bersama Partai Koalisi. Dikhawatirkan, penyelidikan KPK akan dibonsai dan perjuangan penginisiatif hak angket akan mati suri.
Sikap terhadap Century akan diformulasi ulang oleh partai koalisi dengan berbagai macam argumentasi pelemahan. Indikasinya dapat dilihat pada sikap petinggi Golkar yang, awalnya cukup getol, tiba-tiba berbalik haluan. Ujung-ujungnya, penanganan kasus Century hanya akan menyentuh pejabat lapis bawah yang sebetulnya hanya pelaksana kebijakan atasannya.
Memproses Sri Mulyani akan semakin sulit bila dia bertugas di Bank Dunia. Begitu pula Boediono selaku Wakil Presiden. KPK tak akan mungkin meningkatkan pemeriksaan ke tahap penyidikan meski menemukan bukti permulaan yang cukup. Konstitusi sudah menetapkan hal itu: harus dimulai dengan pernyataan pendapat DPR yang nantinya dikuatkan dengan proses hukum di Mahkamah Konstitusi.
Solusi konstitusi dengan hak menyatakan pendapat mestinya tak perlu dihindari. Proses ini memang cukup berliku, tetapi kenapa kita tidak berani menjalani perintah konstitusi. Paling tidak, kita bisa menuntaskan soal ketatanegaraan secara elegan dan bermartabat. Jika pun berimbas pada pemakzulan, tidak berarti negeri ini harus tercerabut dari konsistensinya menghargai para pemimpinnya.
Merunut kembali sikap anggota DPR yang memang tak pernah bulat menyikapi skandal ini, kita tiba pada kesimpulan: kasus ini permainan elite politik belaka untuk kepentingannya sendiri. Keputusan dan rekomendasi DPR agar dibawa ke ranah hukum hanya sekadar menyenangkan publik. Kita disadarkan bahwa upaya menghambat proses hukum kasus Century dilakukan dengan berbagai cara.
Perlu diingat, selama proses hukum diambangkan, kecaman terhadap nama pejabat yang dianggap bertanggung jawab akan terus bergaung di ruang publik. Sanksi sosial ini tidak akan berakhir selama belum ada putusan hukum yang mengikat. Sanksi sosial tak akan pernah terhapus sebab publik merasa dibohongi oleh kebijakan yang tak berpihak kepada mereka.
Penyelesaian dengan cara machiavllistis yang mengandalkan kekuasaan harus dihindari.
Opini Kompas 21 Mei 2010