BELAKANGAN ini, sebagai bangsa, kita merasa prihatin dengan merosotnya semangat nasionalisme dan pengetahuan tentang kewarganegaraan, terutama di kalangan generasi muda. Survei dari Pusat Studi Pancasila menyebutkan bahwa mapel pendidikan kewarganegaraan (PKn) seolah-olah hanya pelengkap kurikulum, dan tidak dipelajari serius oleh peserta didik.
Pelajar dan guru hanya mengejar mata pelajaran-mata pelajaran yang menentukan kelulusan. Temuan ini menegaskan hasil survei lembaga-lembaga lain pada tahun 2006-2007, yang menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila merosot tajam.
Sejak reformasi masyarakat memang mengalami perubahan radikal, yang menghantarkan bangsa pada dunia baru yang sama sekali lain: terbuka dan liberal, di tengah arus yang disebut globalisasi. Masalahnya globalisasi bukan hanya mengubah selera dan gaya hidup bangsa menjadi sama dengan bangsa lain melainkan juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture).
Dalam diplomasi internasional pun kini muncul mikrodiplomasi. Semua perkembangan ini menegaskan bahwa negara bukan lagi satu-satunya entitas yang memungkinkan hubungan antarbangsa dapat terjadi. Hubungan itu menjadi kian terbuka. Kelompok masyarakat, bahkan individu pun, dapat melakukannya. Pertanyaannya, bagaimana nasib nasionalisme?
Saya menyaksikan tanda-tanda nasionalisme ala negara sedang digantikan oleh nasionalisme baru, yang bercorak massa. Nasionalisme ini lebih subtil karena setiap individu berperan sebagai penafsirnya. Pada nasionalisme ala negara, aktor yang berperan sebagai penafsir adalah negara itu sendiri karena orientasinya adalah kekuasaan. Semangatnya pun terus dijaga melalui lagu-lagu kebangsaan yang diperdengarkan setiap jam di radio dan televisi sehingga ekspresinya lebih heroik.
Basis nasionalisme ala massa bukan pada mitos tentang ancaman, utopia, atau kedigdayaan masa lalu, yang dapat mengobarkan patriotisme dan heroisme, melainkan pada sesuatu yang lebih dekat, konkret, dan memiliki makna pragmatis sebagai identitas diri, yakni bangsa. Singkatnya, konstruksinya mengalami penyederhanaan, tidak lagi bersifat romantis dan hegemonik seperti dulu tapi cenderung praktis, terbuka dan mengandung etos menuju harmoni. Ekspresinya tidak meluap-luap namun cenderung rasional.
Memilih Diplomasi
Inilah yang kita lihat pada kasus Ambalat. Di tengah masyarakat kita memang ada ekspresi marah, namun seperti ditunjukkan oleh sejumlah survei, mayoritas rakyat lebih menginginkan penyelesaian melalui diplomasi, daripada ”Ganyang Malaysia’’. Demikian pula kampanye cinta produksi dalam negeri, yang gagal bukan karena bangsa kita tidak mencintai produksi sendiri melainkan karena sikap rasional terhadap kualitas produk kita.
Nasionalisme adalah sebuah kesadaran yang tidak akan hilang sepanjang nation state ada mengingat hubungan di antara keduanya ibarat tulang dan daging. Globalisasi memang merelatifkan batas antarnegara, mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, dan menyatukan orientasi dan budaya mereka menujn satu budaya dunia (world culture). Namun itu sama sekali tidak akan menghilangkan nation state.
Masyarakat itu terus berkembang dan berubah, demikian pula bangsa. Panta rhei, demikian kata Heraclius. Globalisasi adalah bentuk dari perkembangan dan perubahan itu dan kita tidak perlu memandangnya sebagai horor yang membahayakan, terutama terkait kohesivitas dan keutuhan bangsa.
Sejak reformasi, kredibilitas Pancasila merosot tajam. Bahkan perannya jatuh sebagai sekadar azimat politik. Hal ini karena adanya asosiasi-asosiasi negatif terkait penerapannya pada masa lalu. Padahal sebagai dasar negara, Pancasila adalah barometer moral secara fundamental merupakan kerangka kuat untuk pendefinisian konsep kewarganegaraan yang inklusif, sebab di dalamnya memiliki komitmen kuat terhadap pluralisme dan toleransi.
Komitmen inilah yang mampu mempersatukan dan menjaga keutuhan bangsa yang terdiri atas 400 lebih kelompok etnis dan bahasa, tersebar dalam 3.000 dari 17.504 pulau, 177 juta orang beragama Islam dengan berbagai alirannya, 23 juta penganut agama resmi lainnya, dan sekitar 0,5 juta penganut agama lokal.
Perlu digarisbawahi, ancaman laten yang paling membahayakan bangsa ini adalah disintegrasi sosio-kultural. Peningkatan gejala provinsialisme setelah reformasi yang tumpang-tindih dengan sentimen etnisitas, adalah bara api yang dapat membakar disintegrasi sosio-kultural. Bila itu hal itu terjadi akan mengancam disintegrasi politik, selanjutnya disintegrasi bangsa.
– As’ad Said Ali, Wakil Kepala BIN, Wakil Ketua Umum PBNU
Wacana Suara Merdeka 21 Mei 2010