20 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Opsi Bagi Demokrat

Opsi Bagi Demokrat

Oleh Mahi M. Hikmat

Tradisi paternalistis yang menjadi fenomena umum dalam kehidupan partai politik di Indonesia, berlaku juga bagi Partai Demokrat. Tidak bedanya dengan PDI Perjuangan yang sulit melepaskan diri dari Megawati trah Bung Karno. Partai Golkar yang hingga kini masih ”mencari” sosok pemimpin yang dapat membawa kejayaan, seperti zaman Soeharto. Partai Kebangkitan Bangsa yang sempat besar karena Gus Dur. Partai Amanat Nasional yang memiliki Amien Rais. Bahkan, partai baru, seperti Partai Gerindra dan Partai Hanura, pun karena figur Prabowo dan Wiranto. Kebesaran Partai Demokrat hingga bertengger di puncak kemenangan Pemilu 2009 pun sangat bergantung pada kebesaran nama Susilo Bambang Yudhoyono.


Namun, rezim Yudhoyono bukan rezim Soeharto yang dapat ”melanggengkan” kekuasaan hingga lebih kurang 32 tahun sehingga selama itu pula Partai Golkar dapat mereguk manisnya kemenangan. Tinggal hitungan tahun, rezim Yudhoyono akan berakhir. Hal itu merupakan lampu kuning bagi Partai Demokrat ke depan. Jika Partai Demokrat tetap bertahan dengan mengibarkan kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono, tinggal hitungan tahun pula eksistensi Demokrat sebagai partai besar.

Masuknya Partai Demokrat pada lingkaran lima besar pada Pemilu 2004 dan ”merajai” Pemilu 2009 tidak terlepas dari kungkungan paternalistis kekuasaan Yudhoyono. Pemilu 2004, Yudhoyono berada pada puncak keterpilihan sehingga ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia kendati Partai Demokrat hanya membekali suara 7,45 persen.

Lima tahun kemudian, Partai Demokrat melonjak menjadi partai pemenang Pemilu 2009, sekaligus mengantarkan Yudhoyono kembali menjadi presiden. Oleh karena itu, tahun 2009 merupakan kemenangan gemilang bagi Partai Demokrat. Ketua dewan penasihatnya menjadi presiden, sekjennya menjadi Ketua DPR, dan merengkuh koalisi kabinet yang didukung lima partai besar (Partai Golkar, PAN, PKS, PKB, dan PPP). Bahkan, kalau hasil Pemilu 2009 dipetakan, nyaris semua daerah dimenangi oleh Partai Demokrat. Hal itu merealitas dengan duduknya sejumlah kader Partai Demokrat menjadi Ketua DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat sangat diuntungkan dengan kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono. Apa pun takarannya, incumbent dipastikan dapat memberikan kontribusi besar terhadap partainya, baik secara moril maupun materiil. Setidaknya, prestasi Yudhoyono selama 2004-2009 memberikan kontribusi terhadap tingkat kepercayaan rakyat terhadap Partai Demokrat.

Secara umum, dalam benak rakyat tertumpu harapan jika Partai Demokrat besar, Yudhoyono pun akan terpilih lagi menjadi presiden dan semoga dapat meningkatkan prestasinya pada 2009-2014. Namun, pada Pemilu 2014, apa lagi yang dapat diharapkan dari Partai Demokrat, sedangkan Yudhoyono pun tidak mungkin mencalonkan lagi menjadi presiden.

Hal inilah yang di antaranya harus menjadi pertanyaan besar bagi Partai Demokrat pada Kongres II di Bandung.

Setidaknya terdapat dua hal yang harus diperbincangkan para petinggi Partai Demokrat pada Kongres II dalam kerangka ”melanggengkan” kemenangan, terutama dalam konteks Pemilu 2014 mendatang. Pertama, haruskah Partai Demokrat tetap terkungkung pada paternalistis Susilo Bambang Yudhoyono.  Kedua, haruskah Partai Demokrat mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Yudhoyono dan mengokohkan diri menjadi partai yang mandiri.

Andaikan Partai Demokrat tetap mengibarkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ”Bapak Demokrat”  dan masih menjadi tumpuan kemenangan Pemilu 2014, tentu diperlukan strategi dramaturgis Erving Goffmen (1956). Susilo Bambang Yudhoyono harus selalu tampil sebagai pemeran utama dalam front stage yang dibuat Partai Demokrat. Realitas pasca-Pemilu 2014, Yudhoyono akan kehilangan panggung, tetapi rakyat harus dibuat selalu mengenang peran-peran yang dimainkan Yudhoyono. Dalam konteks inilah, pada sisa periode 2009-2014, Yudhoyono harus menunjukkan prestasinya sebagai Presiden RI yang sukses dengan kebijakan-kebijakannya yang cerdas yang ”disenangi” rakyat.

Dengan berbekal kenangan indah bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat pun harus membangun panggung baru yang strategis dan dapat dijadikan front stage bagi Yudhoyono bernostalgia bersama rakyat pendukungnya. Kendati dalam sistem pemerintahan Indonesia tidak dikenal lembaga yang lebih tinggi serta lebih populer dari presiden, kehausan rakyat Indonesia akan figur pimpinan yang mumpuni dapat menjadi peluang untuk lahirnya pemimpin ”oposisi” yang lebih cerdas, lebih baik, dan lebih sayang sekaligus lebih disayangi rakyat.

Dalam satu sisi, strategi ini dapat membenamkan nama besar para petinggi Partai Demokrat karena mereka harus selalu dalam bayang-bayang Yudhoyono. Ketua Umum yang harus terpilih dalam Kongres II pun harus yang mendapat ”restu” Yudhoyono, bahkan mungkin keluarga atau kerabat dekatnya. Oleh karena itu, lahirlah kelompok-kelompok yang dalam teori politik Pareto (1848) dikenal dengan kelompok elite politik; kekuasaan hanya beredar di antara elite atau yang menentukan hanya elite tersebut. Kejayaan partai pun akan bertumpu pada kelompok elite tersebut sehingga bukan hal yang tidak mungkin masa keemasan Partai Demokrat akan tercapai jika Ketua Umum dari trah Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana PDI Perjuangan dengan trah Bung Karnonya.

Namun, jika Partai Demokrat memiliki visi untuk menjadi partai besar yang mandiri; tanpa bayang-bayang elite politik mana pun, saatnya dalam Kongres II ini bangkit. Partai Demokrat perlahan harus melepaskan diri dari bayang-bayang Yudhoyono. Langkah nyata dapat dilakukan, misalnya, dengan memilih ketua umum bukan yang ”direstui” Yudhoyono.

Kemudian, dalam panggung-panggung berikutnya, ia harus banyak tampil menggantikan peran-peran Yudhoyono sembari mulai menanamkan ideologi kedemokratan yang berangkat dari ideologi sevisi, setujuan, dan sekeinginan di antara kader dan simpatisan. Dalam teori basis kelompoknya, Arthur F. Bentley (1908) menguatkan bahwa salah satu yang dapat menjadi perekat kelompok adalah adanya kesamaan ideologis.

Kendati pilihan ini pun bukan tanpa risiko, bahkan risiko terbesar bisa saja Partai Demokrat dengan serta-merta ditinggalkan kadernya, terutama kader pencinta Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun masih harus dibuktikan melalui kajian yang akurat, prediksi berbagai pihak menyatakan bahwa besarnya pemilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 tidak karena partainya dan tidak pula karena calon anggota DPR dan DPRD-nya, tetapi karena Yudhoyono pemimpinnya.

Apa pun pilihan Partai Demokrat pasti mengandung risiko. Namun, semua rakyat Indonesia tentu berharap, risiko itu tidak berdampak pada makin terpuruknya nasib rakyat. Apa pun pilihan Partai Demokrat, semua rakyat Indonesia tetap harus yang paling diuntungkan.***

Penulis, dosen tetap UIN Sunan Gunung Djati, FISIP Unpas, dan FISIP Unikom Bandung, serta Ketua DPP Jaringan Masyarakat Peduli Demokrasi Jawa Barat.
opini pikiran rakyat 21 mei 2010