09 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Pidato Itu, Genderang 'Perang'?

Pidato Itu, Genderang 'Perang'?

PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (4/3) menanggapi hasil Rapat Paripurna DPR (3/3) bisa diartikan menabuh genderang "perang". Sebab, setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang melatarbelakangi. Pertama, lembaga legislatif (DPR) dan lembaga kepresidenan sama-sama sebagai lembaga negara yang langsung berkaitan dengan rezim kedaulatan rakyat. Keduanya (DPR dan Presiden/Wapres) sama-sama sebagai--meminjam istilah Mandatary Theory--trustee, delegate, partisan dan politico, yang tidak saling mengintervensi atau mengangkangi. Kedua, hasil pilihan mayoritas (325 suara) anggota parlemen saat paripurna terhadap opsi C yang menyatakan bailout adalah penyelewengan, mengalahkan 212 suara memilih opsi A yang membela bailout. Sudah sah, sudah menjadi produk lembaga DPR, bukan lagi produk 325 yang memilih opsi C dan bersifat mengikat semua pihak terkait keputusan (Pasal 204 UU 17/2009). Ketiga, dugaan pelanggaran merger, penyalahgunaan wewenang otoritas moneter dan fiskal dalam bailout seharusnya bukan hanya rekomendasi bagi pemerintah dan penegak hukum, tetapi entry point mengajukan usul Hak Menyatakan Pendapat sebagaimana diatur Pasal 7A dan 7B UUD 1945, serta Pasal 184-188 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.



Mengingkari

Disposisi Presiden SBY dalam pidato tersebut jelas mengingkari hasil voting. Artinya Presiden menolak bahwa bailout itu sebagai indikasi pelanggaran undang-undang, membenarkan pemberian dana talangan Rp6,7 triliun (Media Indonesia, 5/3). Persoalannya, rakyat kini bingung, sebab kedua pihak (DPR dan Presiden) sama-sama mengklaim pilihan yang benar. Tetapi, nurani rakyat tidak mudah dibelokkan oleh otoritas atau tebar pesona kekuasaan, sebab selama dua bulan rapat pansus Century rakyat memperoleh informasi otentik dari pelakunya bukan rekayasa media. Publik kiranya meminta tanggung jawab Presiden sebagai Kepala Negara merespons sikap dan rekomendasi paripurna DPR.

Di mata publik, sejauh mengikuti proses dari media, sikap DPR bukan sekadar political game, tetapi pilihan politik rasional/ rational choice (bdk Leslie Lipson, The Great Issue of Politics, 1965), karena telah memilih yang benar di antara dua sikap, yakni kepentingan (bukan etika) koalisi; dan etika constituency. Seharusnya Presiden hanya menekankan tanggung jawabnya sebagai Kepala Pemerintahan yang sekalipun tidak langsung terlibat teknis kebijakan bawahannya, tetapi substansi berkaitan dengan sumber dan tata kelola keuangan negara bagi kesejahteraan bangsa adalah tanggung jawabnya. Apalagi Presiden SBY sudah meminta skandal bailout century dibuka terang-benderang dan menghukum pelaku kejahatan yang merugikan uang negara/uang rakyat karena korupsi.

Oleh karena itu, pansus DPR harus diapresiasi tinggi sebagai wahana kontrol untuk menciptakan clean dan strong government. Pidato Presiden sebagai reaksi post-vactum tidak bisa mengubah standing-point keputusan paripurna. Mengingkari hasil paripurna sama saja menabuh genderang "perang" bailout century. "Perang" yang bisa memecah-belah rakyat.

Tatanegara versus pidana?

Pakar hukum tata negara seperti Yusril Izha Mahendra (wawancara MetroTV 6/3) menyatakan bahwa rekomendasi DPR adalah produk politik, yang tidak serta-merta dijadikan alat bukti atau bukti permulaan bagi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan aparat penegak hukum. Dengan kata lain, produk paripurna DPR adalah ‘pro-political power’ yang tidak serta-merta menjadi ‘pro-justitia power’, terkesan tatanegara versus pidana. Persoalannya, apakah di dalam proses kebijakan kedua delik itu memang substansi yang berbeda, atau justru satu-kesatuan? Untuk memastikan itu, kita menyelisik "proses" pembuatan kebijakan. Ilmuwan kebijakan publik semisal William M Dunn (Public Polecy Analysis, 1994), menyebut tiga pendekatan dalam proses kebijakan, yakni: empiris, yang mempersoalkan fakta sehingga kebijakan diambil; valuatif, mempersoalkan manfaat (nilai) kebijakan; dan normatif, mempersoalkan aksi/tindakan yang tepat. Di depan Pansus Century, mantan Gubernur BI Boediono dan Ketua KKSK (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan alasan krisis global, rumors perbankan, penyelamatan century karena "ditengarai" berdampak sistemik.

Pembelaan kedua pejabat diuji dalam lima "proses" kebijakan, implementasi pendekatan di atas. Pertama, ketepatan identifikasi masalah (policy problem). Jika krisis global, rumors, ancaman skandal perbankan seperti 1998 sebagai fakta, dipersoalkan indikator pembenar, seperti pergerakan kurs, perkembangan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), dan lain. Kedua, masa depan kebijakan (policy future). Apakah menalang Century yang posisi CAR (tingkat kecukupan modal) negatif, berpengaruh langsung terhadap sehatnya bank lain dan perekonomian nasional? Ketiga, aksi kebijakan (policy action). BI dan KKSK mengubah CAR Century agar bisa mendapat Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), tidak melanggar UU Perbankan? Keempat, hasil kebijakan ('policy outcome'). Persoalan kenegaraan apa yang teratasi oleh bailout Rp6,7 triliun? Kalau benar negara dalam krisis moneter, ekonomi, di mana fakta pasar dan realitas kondisi rakyat? Lalu, bagaimana nasib nasabah Century yang hingga saat ini terus menjerit? Kelima, kinerja kebijakan (policy performance). Kontribusi apa dari bailout yang membuktikan tercapainya nilai kesejahteraan rakyat termasuk nasabah Century?

Gugatan-gugatan itu menjadi dasar motivasi kebijakan, cara penghitungan kuantitatif atau kualitatif, timing (kondisi), siapa dan mengapa terlibat dalam kebijakan, langkah kebijakan dan lainnya, yang berdampak korupsi, penyalahgunaan wewenang, maupun kerugian keuangan negara, dan mengorbankan rakyat. Aspek pelanggaran kebijakan diproses melalui hukum tatanegara, dan aspek kejahatan korupsi melalui hukum pidana. Tetapi kita tidak begitu mudah membuat dikotomik kedua strata, seakan-akan dua locus kasus yang berbeda, padahal tidak bisa dipisahkan. Karena itu, ditangani secara simultan, artinya KPK, Kejaksaan dan Kepolisian bekerja atas independensinya dan DPR terus mengajukan Hak Menyatakan Pendapat ke MK, sekalipun cukup lama seperti diatur Pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Rekomendasi DPR sekaligus membawa rakyat ke persoalan baru hal kredibilitas dan independensi lembaga Kejaksaan, Kepolisian bahkan KPK untuk segera menuntaskan hasil Pansus. Untuk mengawal langkah ini sampai mengetahui aliran dana Century, peran DPR baik dengan tim khusus atau melalui Komisi Hukum akan menjamin? Untuk itu diperlukan pressur publik, pers, mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum. Jika tidak, kerja Pansus Century dipandang publik sebagai biduk yang berlalu, sandiwara yang selesai dengan sad-ending, akhir yang menyedihkan dan menyakitkan.

Oleh Ansel Alaman
Pengajar Universitas Binus Jakarta
OPini Media Indonesia 10 Maret 2010