Oleh Rochadi Tawaf
Program swasembada daging sapi mulai digulirkan tahun ini dengan berbagai aktivitasnya. Diawali dengan pembahasan tentang blue print kegiatan swasembada daging sapi, kemudian muncul isu tentang kebijakan "stop impor" daging/jeroan dan pembatasan terhadap izin (rekomendasi) impor sapi hidup. Semua kebijakan tersebut ternyata menuai kritik terhadap data, cara berpikir, hingga pola kaji tindak para pemangku kepentingan terhadap pemerintah. Berbagai media melansir pernyataan pemerintah (menteri pertanian) bahwa kesulitan pemasaran sapi hidup di kalangan peternak rakyat dalam sebulan terakhir ini lebih disebabkan menumpuknya stok sapi bakalan impor di kandang perusahaan penggemukan sapi potong yang mencapai dua ratus ribuan ekor. Benarkah kesulitan pemasaran tersebut diakibatkan oleh perusahaan feedlot atau oleh hal lainnya?
Mengingat sistem peternakan rakyat masih dilaksanakan secara tidak terstruktur dan bersifat "subsisten tradisional", ukuran yang digunakan pun tidak mengacu kepada orientasi pasar. Akibatnya, bisnis peternakan rakyat akan selalu dihadapkan kepada kerugian bila dihitung secara komersial. Contohnya, peternak rakyat selalu menggunakan sistem taksir dalam menyediakan bakalan dan sarana produksinya. Sementara itu pemasaran dilakukan dengan sistem timbangan karkas atau timbangan hidup. Kenyataan ini yang selalu menyulitkan peternak rakyat dalam pemasaran yang tidak memiliki standardisasi dan juga tidak berorientasi ekonomi.
Dampak kebijakan
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi permohonan rekomendasi impor sapi sebenarnya sangat kurang bijaksana. Dampaknya yang akan terjadi adalah "negatif investasi". Hal ini bukan tanpa sebab, pasalnya investasi yang ditanam perusahaan penggemukan sapi potong di negeri ini untuk menampung sekitar tujuh ratus ribu ekor sapi setahun, tidaklah kecil. Dampak negatif yang akan muncul selain iklim investasi menjadi tidak kondusif, juga akan berulang kasus pengurasan sapi bakalan lokal seperti pada 2004. Saat itu, iklim usaha impor sapi bakalan terkendala nilai tukar rupiah yang tidak menguntungkan jika melakukan impor sapi bakalan. Oleh karena itu, sejumlah dana pembelian sapi bakalan yang biasanya diperuntukkan membeli bakalan impor oleh para pengusaha feedlot dilakukan pembelian sapi bakalan lokal karena mereka harus mengatur cash flow usahanya. Apa yang terjadi kemudian? (1) Terjadi pengurasan populasi sapi lokal karena village breeding centre (VBC) belum mampu menyiapkan sapi bakalan di pasar-pasar hewan. (2) Peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan perusahaan feedlot dalam membeli sapi bakalan lokal, demikian juga bagi program pemerintah lainnya (seperti SMD, LM3, KUPS, dan sebagainya).
Bagaimana tahun ini? Siapkah VBC memproduksi sapi bakalan? Menurut hemat penulis, rasanya kejadian tersebut akan berulang kembali jika kebijakan tersebut tidak segera diubah. Sebenarnya, kebijakan yang diperlukan pemerintah untuk mengendalikan impor ternak sapi bakalan cukup dengan mengubah kebijakan bagi penerima rekomendasi (izin) impor dari importir umum menjadi importir produsen. Sebab, jika rekomendasi impor diberikan kepada importir produsen artinya hanya peternak yang memiliki kandang penggemukan yang akan mengimpor sapi sehingga tidak akan berakibat terhadap "negatif investasi". Selain itu, akan menghilangkan terjadinya "jual beli" surat rekomendasi impor dan penjualan sapi siap potong tanpa penggemukan. Perdagangan sapi tanpa penggemukan ini pun sebenarnya telah menuai protes peternak sapi di dalam negeri. Pasalnya, kegiatan ini tidak memberikan nilai tambah bagi peternak di dalam negeri.
Awal tahun ini, Asean-China Free Trade Area (ACFTA) diberlakukan pemerintah. Pro kontra terhadap kebijakan ini terus bergulir, bahkan sebagian besar dunia usaha menyatakan tidak siap. Serbuan produk negeri tirai bambu yang "serbamurah" menggoyahkan dunia usaha. Bagaimana dengan subsektor peternakan, khususnya terhadap peternakan sapi potong, yang katanya akan berswasembada daging pada 2014?
Usaha peternakan sapi potong rakyat saat ini berkontribusi sekitar tujuh puluh persen terhadap konsumsi nasional dan terus dipacu pertumbuhannya oleh program swasembada daging 2014. Harapannya, pada 2014 kontribusi produksi daging merah asal sapi akan meningkat menjadi 85 persen-90 persen bagi konsumsi daging nasional. Rasa-rasanya kondisi ini akan sangat sulit dicapai. Perdagangan global tingkat Asean dan Cina ini akan turut memberi tekanan berat bagi program swasembada daging sapi 2014. Pasalnya, akan terjadi serbuan impor daging olahan dari berbagai negara sekitar Asean dan Cina ke negeri ini, yang tidak akan dapat dibendung dengan kebijakan apa pun.
Jika kita tengok negeri tetangga kita, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai negara yang memiliki kultur yang sama dengan Indonesia. Negeri ini akan sangat berpeluang mengembangkan industri daging olahannya untuk masuk ke pasar Indonesia secara leluasa, ataukah mereka telah melakukannya lebih awal?
Akhir-akhir ini para peternak sapi mengalami kesulitan pasar untuk sapi hidup, seolah daya beli masyarakat menurun, ataukah konsumen telah beralih mengonsumsi daging olahan impor yang sangat murah harganya?
Berdasarkan uraian tersebut, lagi-lagi swasembada daging sapi akan terkendala oleh berbagai kebijakan pemerintah dan sistem perdagangan global ACFTA. Mampukah pemerintah memilih dan memilah agar kebijakan yang dilahirkan memberikan iklim yang kondusif bagi terlaksananya swasembada daging yang dicita-citakan....***
Penulis, dosen Fakultas Peternakan Unpad, Ketua II PB ISPI dan Sekjen DPP PPSKI
Opini pikiran Rakyat 10 Maret 2010