Oleh Nana Jiwayana
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2010 tinggal menghitung hari. Pro kontra yang awalnya mewarnai rencana UN ini, kini tidak terdengar lagi. Jika tidak ada perubahan lagi, pelaksanaan UN akan dilangsungkan 22-24 Maret 2010 untuk jenjang SMA dan yang sederajat, serta 29 Maret-1 April 2010 untuk SMP dan yang sederajat. UN tahun ini akan sedikit berbeda, karena pemerintah akan melaksanakan juga UN susulan bagi peserta yang berhalangan pada UN utama, yang direncanakan akan dilaksanakan seminggu setelah UN utama.
Percepatan UN tersebut, sebenarnya membawa konsekuensi bagi sekolah dan masyarakat. Dengan percepatan ini, sekolah mau tidak mau harus berlari lebih kencang agar standar kompetensi lulusan (SKL), yang sudah tercantum dalam kurikulum bisa tercapai. Dari percepatan yang mendadak tersebut, dikhawatirkan kematangan penguasaan materi oleh siswa semakin berkurang. Hal ini, sepertinya disadari banyak orang tua siswa sehingga untuk mengantisipasi lemahnya penguasaan materi di sekolah, mereka memberikan tambahan belajar di lembaga bimbingan belajar di luar pendidikan formal anaknya, menggunakan jasa bimbingan belajar intensif atau memberikan les privat khusus kepada anaknya. Bagi orang tua yang lemah ekonominya, hal itu merupakan beban yang sangat besar, hingga pada akhirnya mereka harus rela anaknya menghadapi UN dengan kemampuan seadanya.
Secara formal, sekolah-sekolah memang sering mengadakan jam tambahan guna membekali siswa-siswanya menghadapi UN. Akan tetapi, sering kali program ini malah menjadi ajang komersialisasi yang sama saja membebani orang tua siswa. Namun, bagaimanapun hasil UN ini tetap membawa nama baik sekolah. Dengan pertaruhan nama baik sekolah ini, sering kali sekolah membentuk tim sukses untuk meluluskan siswanya. Namun, sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum sekolah yang malah membiarkan tim suksesnya bekerja dengan cara-cara tidak jujur.
Kasus penyimpangan UN seperti kebocoran soal UN, perjokian, dan jual beli jawaban UN hampir selalu ada di setiap pelaksanaan UN. Pada pelaksanaan UN tahun ini terlebih dengan catatan UN tahun ini dipercepat, kasus penyimpangan UN seperti tahun sebelumnya sangat dimungkinkan kembali terjadi. Namun, yang sangat ironis keterlibatan sekolah dalam penyimpangan tersebut. Tidak menjadi soal apabila penjagaan nama baik tersebut dilakukan dengan jujur, tetapi bila penjagaan nama baik itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur, hal ini tentu saja sangat memprihatinkan.
Yang lebih ironis karena pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik daerahnya, ketidakjujuran ini sering kali "direstui" oleh pejabat daerah tersebut. Tiap kali pelaksanaan UN, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sering kali memetakan data kelulusan dan ketidaklulusan di masing-masing daerah. Semua warga negara Indonesia bisa melihat data tersebut. Wajar bila pejabat daerah berlomba agar daerahnya tidak dicap "tertinggal" dari daerah lainnya, sehingga mereka melakukan banyak cara agar nilai kelulusan UN di daerahnya tinggi. Dengan kepentingan penjagaan nama baik sekolah maupun daerah, ketidakjujuran tersebut bisa berlangsung secara sistematis.
Dengan ketidakjujuran sistematis seperti itu, bisa jadi citra sekolah dan nama baik daerah terjaga meskipun ada nurani yang dikhianati. Namun, patut disadari bersama ketidakjujuran ini akan berdampak panjang di kemudian hari. Lulusan yang dihasilkan dari sistem yang tidak jujur akan membentuk manusia yang tidak jujur pula. Di banyak perguruan tinggi, skripsi yang merupakan produk ilmiah yang menjadi bukti kompetensi mahasiswa, bila dianalisis lebih dalam banyak yang copy paste dari skripsi milik mahasiswa lain. Lebih ironis lagi, ketidakjujuran itu dapat pula kita temukan pada kasus plagiat yang dilakukan guru besar di perguruan tinggi Indonesia. Ini tentu saja bukan hanya citra buruk bagi institusinya, tetapi merupakan preseden buruk juga bagi bangsa Indonesia.
Secara normatif, kita semua tahu melalui UN ini pemerintah berharap bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional, tetapi harapan ini sudah pasti tidak akan tercapai bila sekolah dan pejabat daerah merespons UN ini dengan tindakan yang tidak jujur. Alangkah lebih mulia bila sekolah dan pejabat daerah lebih bersemangat meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya, dilakukan tentunya dengan program dan kebijakan bersih yang bisa mengangkat kualitas pendidikan di daerahnya. Pemerintah alangkah lebih baik bila mengintrospeksi diri. Kebijakan UN yang dipaksakan tanpa menyetarakan kualitas pendidikan di semua daerah hanya menghasilkan ketidakjujuran. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan kembali UN, pemerintah harus menyelesaikan terlebih dahulu ketimpangan kualitas pendidikan ini.***
Penulis, Koordinator Lingkar Studi Partere (LSP) Universitas Pendidikan Indonesia.
Opini Pikiran Rakyat 10 Maret 2010