09 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Agar Bank Syariah tak Seperti Century

Agar Bank Syariah tak Seperti Century

Oleh IRAWAN FEBIANTO
KASUS Century masih menyita perhatian kita sampai saat ini. Berbagai macam pandangan dan perdebatan masih terus bermunculan, termasuk perbedaan pandangan yang mencuat antara DPR dan Presiden RI. Di satu sisi, DPR memutuskan bahwa kebijakan bailout yang telah dilakukan adalah kebijakan yang salah dan telah terjadi penyimpangan, tetapi di sisi lain Presiden RI justru beranggapan sebaliknya.
Perbedaan apa pun di antara kedua pihak tetap tidak mengurangi fakta bahwa telah terjadi kegagalan dari Bank Century.
Dilihat dari kronologisnya, faktor yang perlu digarisbawahi adalah praktik FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) yang cenderung menetapkan bunga pinjaman di atas bunga yang berlaku di pasar. Dengan suku bunga kredit yang tinggi, jumlah gagal bayar yang terjadi pun meningkat. Hal ini menjadikan NPL (nonperforming loan) bank Century berada di atas level normal NPL perbankan pada umumnya (Yudhistira, 2009).
 

Selain faktor itu, manajemen Bank Century juga bersalah karena menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi dalam instrumen derivatif, bukan disalurkan ke pembiayaan sektor riil. Instrumen derivatif merupakan instrumen yang penuh dengan permainan spekulasi sehingga cenderung menjadi praktik zero sum game atau judi (maysir). Nasabah dijanjikan imbal hasil (return) yang tinggi, dan janji-janji yang menggiurkan dari pihak perbankan tanpa memberi informasi yang jelas tentang aliran pemanfaatan dananya (Yudhistira, 2009).
Lantas, bagaimanakah pandangan syariah agar hal ini tidak terjadi pada dunia perbankan berbasis syariah?
Prinsip syariah
Ada berbagai macam prinsip dasar dalam transaksi bisnis dan keuangan yang seharusnya dijadikan pijakan bagi lembaga keuangan syariah. Pertama, tran-saksi keuangan di dalam syariah haruslah berpijak pada sektor riil. Oleh karena itu, mayoritas pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah diharapkan dalam bentuk mudharabah atau kontrak bagi hasil. Dalam kontrak bagi hasil, jika pengelolaan dana ke sektor riil mengalami kerugian, bank rugi, deposan pun merugi. Begitu juga sebaliknya dalam hal keuntungan.
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 03/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa deposito yang dibolehkan adalah yang berbasis mudharabah (skema bagi hasil). Nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana), dan bank bertindak sebagai mudharib (pengelola dana). Di sisi pembiayaan bank, pembiayaan yang amat dianjurkan adalah pembiayan mudharabah. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif (fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000).
Dalam pembiayaan mudharabah, bank sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 persen kebutuhan suatu projek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Bank syariah sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja.
Prinsip kedua dalam transaksi bisnis dan keuangan syariah adalah dilarangnya transaksi yang terkait dengan bunga. Sudah banyak ulama dan cendekiawan Muslim yang membahas bahaya bunga dari berbagai aspek, di antaranya dari aspek sosial. Bunga ditengarai akan merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat. Orang akan enggan berbuat apa pun kecuali yang memberi keuntungan bagi diri sendiri. Keperluan seseorang di anggap peluang bagi orang lain untuk meraup keuntungan (Antonio, 2001).
Ketiga, berlakunya prinsip al ghorm bi ghonm (no risk no return atau tidak ada keuntungan tanpa adanya risiko). Ini berkaitan dengan norma teori keuntungan di dalam Islam yang disebut dengan iwadh. Dalam teori iwadh, setiap keuntungan yang kita dapatkan itu harus terkait dengan tiga faktor: risiko, kerja keras, dan tanggung jawab. Jika ketiga faktor ini ada di dalam setiap usaha yang kita jalankan, barulah kita dinyatakan layak untuk mendapatkan keuntungan.
Prinsip keempat, yaitu dihindarinya transaksi yang mengandung unsur gharar (hal-hal yang sifatnya meragukan). Setiap perjanjian (aqad) di dalam syariah haruslah memiliki kejelasan dalam hal-hal seperti pembeli dan penjual, harga, objek barang atau jasa yang ditransaksikan, proses diantarkannya (delivery) serta kualitas objek tersebut. Gharar terjadi jika ada di antara hal-hal tersebut yang tidak memiliki kejelasan.
Prinsip kelima, dilarangnya transaksi yang terkait aspek maysir (perjudian) dan aktivitas-aktivitas yang terlarang di dalam syariah Islam seperti makanan dan minuman haram, serta pornografi.
Kita berharap agar kasus yang menimpa Bank Century tidak lagi terjadi pada dunia perbankan, khususnya perbankan syariah. Dengan syarat, perbankan syariah benar-benar menjalankan prinsip-prinsip syariah dalam transaksi keuangan dan tidak tergoda untuk mencari cara-cara lain yang bertentangan dengan syariah karena semata-mata ingin mendapatkan keuntungan. Wallahualam.***
Penulis, dosen Konsentrasi Manajemen Syariah di FE Unpad, kandidat Ph.D., in Islamic Finance dan CIFP dari INCEIF (Malaysia), pengurus Pusat Studi Ekonomi Syariah (PSES) serta peneliti LMFE Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 10 Maret 2010