Syarief Makhya
Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Dalam sebuah kesempatan diskusi terbatas di salah satu partai, saya ditanya oleh salah seorang peserta, apa sih hebatnya incumbent, sambil menyebut beberapa contoh, apa prestasi yang fenomenal dari Edy Sutrisno (wali kota Bandar Lampung), Lukman Hakim (wali kota Metro), Wendy Melfa (bupati Lamsel), dan Satono (bupati Lamtim)? Lalu, apa dasarnya mereka mencalonkan diri? Pertanyaan tersebut relevan untuk dijawab agar masyarakat memiliki alasan yang cukup kuat untuk untuk menilai mereka apakah layak untuk mencalonkan diri dan dipilih lagi atau tidak? Kalau para incumbent itu dinilai berhasil, tentu sangat wajar mencalonkan diri dan dipilih lagi oleh rakyatnya. Tapi sebaliknya, jika gagal, mereka tidak layak untuk dipilih lagi.
Sayang, hingga sekarang para incumbent tersebut tidak pernah dievaluasi, sehingga sulit sekali untuk menilai kinerja pejabat politik selama berkuasa. Secara formal, yang berhak melakukan evaluasi terhadap kinerja kepala daerah yaitu DPRD melalui mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah. Namun, mekanisme ini tidak memiliki otoritas yang kuat bagi DPRD untuk memberikan penilaian politik yang memadai kepada kepala daerah yang bisa memaksa kepala daerah untuk memperbaiki kirnerjanya atau sampai memaksa kepala daerah untuk dijatuhkan oleh DPRD.
Penilaian DPRD terhadap kinerja kepala daerah, hanya sebatas pemberian catatan-catatan evaluatif yang tidak mempunyai implikasi politik apa-apa terhadap kepala daerah, kalaupun ada fraksi yang melakukan penolakan, sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, penilaian kinerja kepala daerah oleh DPRD menjadi tidak bermakna untuk melakukan perbaikan kinerja kepala daerah. Seburuk apa pun kinerja kepala daerah, sepanjang tidak terjerat pada kasus tindak pidana, kepala daerah akan tetap selamat dari ancaman penjatuhan atau pemberhentian.
Oleh sebab itu, kita bisa menyaksikan jangankan para incumbent itu memiliki prestasi selama berkuasa, bahkan yang bermasalah pun bisa dengan leluasa untuk mencalonkan diri. Hal tersebut dari perspektif membangun sistem kepemimpinan politik menjadi sangat buruk karena sama saja dengan melanggengkan dan membiarkan pemimin yang bermasalah dan tidak akan memiliki kontribusi untuk memperbaiki nasib rakyatnya.
Apa yang Dievaluasi?
Di era pilkada, kinerja seorang pejabat politik (gubernur, bupati/wali kota) diukur oleh komitmen politik pada saat kampanye. Jadi, ketika terpilih apa yang dikampanyekan merupakan komitmen politik seorang kepala daerah pada rakyatnya. Oleh sebab itu, kampanye politik dalam bentuk berbagai program-program yang disampaikan ke masyarakat harus dimasukan dalam RPJMD agar bisa diimplementasikan oleh aparatur birokrasi pemda.
Namun, program-program kepala daerah sebagai bentuk komitmen politik pada rakyat belum sepenuhnya difahami oleh aparatur birokrasi pemda, sehingga dalam penyusunan rencana kerja daerah (RKD) atau APBD yang diprogramkan adalah program-program umum yang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk dilaksanakan.
Di era sekarang ada dua bentuk bentuk program pembangunan yang harus dipertanggungjawabkan, yaitu: yang pertama, program-program umum pembangunan yang sudah menjadi kewajiban pemerintah. Dalam kategori program ini, siapa pun kepala daerah yang terpilih, menjadi kewajiban untuk melaksanakannya. Termasuk dalam program ini adalah semua program pembangunan yang tidak dikampanyekan pada publik. Sedangkan program yang kedua, yaitu program pembangunan kepala daerah yang dikampanyekan pada saat pilkada. Program ini adalah program yang disebut program unggulan atau program prioritas.
Di beberapa kabupaten/kota atau provinsi, program unggulan ini didokumentasikan tersendiri sehingga memudahkan aparatur birokrasi pemerintah untuk melaksanakan dan mengevaluasinya.
Secara politik, program unggulan/prioritas inilah yang menjadi komitmen politik kepala daerah untuk dipertanggungjawabkan kepada publik. Program unggulan atau program yang dikampanyekan merupakan kontrak politik antara kepala daerah dengan rakyat yang mengabsahkan keberadannya selama ia berkuasa. Jika program unggulan selama lima tahun tidak berhasil dilaksanakan, dengan mudah bisa dikatakan gagal, bahkan kalau sama sekali tidak terencana untuk dilaksanakan, sang kepala daerah itu sudah melakukan kebohongan publik, karena dia berhasil memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan yang lain.
Dengan mengukur program-program yang dikampanyekan oleh incumbent, maka dengan mudah kita bisa menilai apakah Edy Sutrisno, Satono, Wendi Melfa, atau Lukman Hakim berhasil atau gagal?
Komitmen Politik
Komitmen politik kepala daerah kepada publik bukan gincu pemanis untuk menarik perhatian dukungan publik, tetapi harus dioprasionalkan dalam program-program dan berbagai produk kebijakan. Namun, dalam prakteknya janji kampanye kepala daerah itu condong tidak bisa diimplementasikan, karena program kampanye kepala daerah pada saat dibuat tidak mempertimbangkan kelayakan implementasinya, sehingga secara teknis tidak bisa dilaksanakan karena berbagai faktor semisal katerbatasan anggaran atau tidak memperoleh dukungan politik.
Faktor lain, komitmen politik kepala daerah tidak bisa dilaksanakan karena terjebak rutinitas birokrasi pemerintahan yang secara reguler hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang bersifat inkremental.
Akhirnya, tidak bisa dilaksanakannya komitmen politik kepala daerah, karena selama berkuasa terbebani biaya politik yang pernah dikeluarkannya, sehingga yang lebih fokus untuk mencari keuntungan-keuntungan finansial dari proyek-proyek APBD dan hubungan bisnis dengan para pengusaha.
Kini, saatnya dalam momentum rakyat untuk menagih janji kampanye kepala daerah. Momentum pilkada bukan hanya sebagai arena persaingan untuk merebut kekuasaan, tapi juga sebagai pemberian sanksi moral kepada calon-calon incumbent yang tidak memiliki prestasi dan tidak melaksanakan komitmen politiknya pada rakyat.
Opini Lampung Post 25 Maret 2010