DUNIA sedang berduka. Resesi telah merambah ke mana-mana. Krisis finansial global yang dipicu oleh bangkrutnya sejumlah raksasa keuangan Amerika Serikat (AS) benar-benar telah membawa efek domino yang luar biasa bagi negara-negara di kawasan emerging market, termasuk Indonesia. Saham-saham di hampir seluruh belahan dunia anjlok tajam. Bahkan, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami penurunan paling buruk ketiga di dunia akhir tahun lalu. Sejumlah negara maju yang selama ini menjadi tujuan ekspor bagi Indonesia jatuh dalam kubangan resesi ekonomi. Bagi Indonesia, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terus membayangi selama tahun 2009, khususnya pada industri berbasis ekspor. Lalu, apa yang mesti dikerjakan? Dengan cara seperti apa kita bisa bertahan?
Krisis memang telah memukul sendi-sendi kehidupan masyarakat. Yang paling terkena dampaknya, tentu saja masyarakat miskin yang sejauh ini tidak memiliki akses memadai, baik dari segi pendidikan, kesehatan, maupun akses ekonomi. Jumlah mereka yang miskin masih 34,96 juta jiwa, atau 15,42% dari total jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, jumlah pengangguran juga relatif masih besar, yakni 9,4 juta jiwa. Jumlah itu setara dengan 8,46% dari total angkatan kerja di Indonesia (data BPS Februari 2008).
Sebagian besar mereka menempati wilayah tertinggal di Republik ini. Mereka merupakan bagian dari 199 kabupaten daerah tertinggal di Indonesia. Secara kuantitatif jumlah daerah tertinggal tersebut setara dengan 44% dari total 457 kabupaten/kota di Indonesia. Karena ketidakberdayaan itulah, secara ekonomi peranan daerah tertinggal terhadap ekonomi nasional menjadi sangat kecil. Padahal, potensi di daerah tertinggal akan mendatangkan stimulus bagi ekonomi nasional jika digarap secara cermat. Mayoritas mereka tinggal dan menetap di desa. Mereka miskin bukannya karena malas, melainkan menjadi tidak berdaya karena akses mereka yang terbatas dan sengaja dibatasi pada era pembangunan sentralistik di masa lampau.
Dengan permasalahan yang kompleks seperti itu, ditambah dengan ancaman imbas krisis finansial yang sudah kian kentara di depan mata, upaya terpadu, terencana, dan berkesinambungan, dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat. Program itu harus mampu merangsang dan menumbuhkan kreativitas masyarakat miskin, khususnya di perdesaan. Ekonomi kreatif akan muncul jika proses-proses pelibatan masyarakat dibuka seluas-luasnya.
Ekonomi kreatif
Karena itu, perlu program yang memungkinkan wilayah ekonomi kreatif, yang selama ini lebih banyak berkembang di perkotaan, bisa kian beranak pinak di perdesaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri ekonomi kreatif terdiri dari 15 kategori. Yakni fesyen, kerajinan, periklanan, arsitektur, desain, pasar seni, film dan video, musik, software, hiburan interaktif, seni pertunjukan, penerbitan, dan jasa komputer. Sumbangan industri ekonomi kreatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih kecil, tapi terus meningkat sepanjang tahun.
Tahun lalu, kontribusi industri ekonomi kreatif diperkirakan mencapai 4,75% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Paling tidak, ada 3 subkategori ekonomi kreatif yang kontribusinya paling besar, yakni fesyen 30%, kerajinan 23%, dan periklanan 18%. Industri kreatif juga telah menyerap 3,7 juta tenaga kerja atau 4,7% lapangan kerja di Indonesia, dan telah memberikan kontribusi ekspor sekitar 7%.
Penguasaan di bidang informasi, pengetahuan, dan kreativitas, tengah menjadi titik sentral dalam perkembangan budaya secara global. Hal ini setidaknya juga ikut mengarahkan perkembangan di bidang teknologi dan bisnis yang memanfaatkan kreativitas manusia sebagai ujung tombaknya. Sejak pertengahan 1990-an, perkembangan di bidang informasi, pengetahuan, dan kreativitas, juga ikut memicu lahirnya wacana mengenai industri kreatif yang saat ini telah menjadi fenomena global. Selain di negara maju, perkembangan industri kreatif setidaknya juga tumbuh secara pesat di beberapa negara berkembang semisal China, India, Brasil, Argentina, Meksiko, dan bahkan Burkina Faso yang terletak di daratan Afrika. Di beberapa negara ini, sektor ekonomi kreatif memberikan sumbangan GNP sebesar 3%.
Di Inggris dan Belanda, sektor ekonomi kreatif tercatat memberikan kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja baru sampai sebesar 30%. Tidak mengherankan kalau pemerintah di tiap-tiap negara menggenjot perkembangan sektor ekonomi kreatif dengan mendorong berbagai inisiatif masyarakat sipil untuk meningkatkan kemampuan di bidang kreativitas dengan menciptakan berbagai kebijakan publik yang mengambil fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perkembangan teknologi.
Selain itu, di banyak negara maju, pemerintah setempat kerap menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil agar dapat mendorong penguasaan di bidang informasi dan pengetahuan secara luas. Untuk itu, diciptakanlah berbagai kebijakan dan insentif yang dapat memicu pertumbuhan di bidang sektor kreatif dengan melibatkan pemerintah, lembaga keuangan, institusi pendidikan formal, dan berbagai kelompok independen yang menjadi tulang punggung bagi perkembangan ekonomi kreatif.
Di Indonesia, perkembangan sektor ekonomi kreatif baru berkembang pesat di beberapa kota besar. Melalui inisiatif komunitas anak muda di beberapa kota semisal Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, berbagai benih yang memicu pertumbuhan ekonomi kreatif di tingkat lokal telah mampu melahirkan karya film, animasi, fesyen, musik, software, game komputer, kerajinan, dan lain-lain. Beberapa di antara pelaku ekonomi kreatif ini malah telah mendapatkan kesempatan untuk menampilkan karya mereka di ajang internasional dan diterima dengan tangan terbuka.
Pemerintah sendiri akhir-akhir ini terlihat getol menyuarakan pentingnya mengembangkan sektor ekonomi kreatif sebagai salah satu upaya untuk keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dalam Pekan Produk Budaya Indonesia, Presiden Yudhoyono sempat menyatakan kalau ekonomi kreatif merupakan modal utama pembangunan ekonomi di gelombang empat peradaban. Hal ini tentu saja dapat kita artikan sebagai angin segar. Tindak lanjut dari ajakan Kepala Negara itu ialah menumbuhkembangkan partisipasi, pembukaan akses seluas-luasnya hingga ke desa, serta permodalan bergulir yang tepat sasaran. Desa, sebagai wilayah penyangga ekonomi di Republik ini, perlahan tapi pasti telah memperoleh kesempatan untuk mengembangkan ekonomi kreatif itu melalui pemberdayaan nasional.
Dengan total dana APBN 2010, terbuka seluas-luasnya pengembangan ekonomi kreatif itu hingga ke pelosok desa. Apalagi, dalam sejarah, desa telah memiliki modal berharga bagi tumbuhnya ekonomi kreatif. Di Kotawaringin Barat (Kobar) pada khususnya dan di Kalimantan Tengah pada umumnya, modal untuk mengembangkan ekonomi kreatif sangatlah besar. Kobar sebagai penyangga utama perekonomian di Kalimantan Tengah memiliki potensi ekonomi kreatif karena Kobar menjadi wilayah pertemuan berbagai etnik, baik Kalimantan maupun Jawa, yang memiliki hasil seni dan kerajinan kreatif yang belum sepenuhnya digali. Di Kobar ada etnik Banjar, Dayak, dan Jawa, yang bisa mengusung potensi kreatif itu bila disinergikan secara baik.
Ada batik dengan corak Dayak, Banjar. Juga beragam jenis senjata serta kerajinan tangan lainnya yang bila dibina secara serius dan berkelanjutan akan menghasilkan nilai tambah ekonomi yang tidak sedikit. Hal itu ditambah dengan kenyataan bahwa Kobar yang menjadi salah satu akses menuju Taman Nasional Tanjung Puting (wilayah yang sudah mendunia), dapat mudah memasarkan dan memassalkan produk-produk kerajinan kreatif bernuansa etnik tersebut. Mereka, para perajin lokal, akan dapat tumbuh di Kobar karena akses modal akan mudah didapat dengan adanya lembaga keuangan, yakni bank perkreditan rakyat (BPR), yang telah diupayakan pemerintah kabupaten.
Dengan sinergi tersebut, proses ekonomi kreatif bisa ditumbuhkembangkan dan bisa menjadi benteng masyarakat dari hantaman krisis yang daya rusaknya sangat hebat. Karena itu, tidak ada kata terlambat untuk segara membenahi dan mulai 'menyentuh' lahan ekonomi kreatif ini. Insya Allah.***
Oleh Ujang Iskandar Kandidat Doktor Antarbidang UGM; Bupati Kotawaringin Barat
Opini Media Indonesia 25 Maret 2010