Oleh Firdaus Arifin
Untuk kesekian kalinya, publik di tanah air disuguhi berbagai teatrikal kebobrokan penegakan hukum. Kini, publik kembali dikejutkan oleh laporan tokoh penting Mabes Polri Komjen Susno Duaji kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tentang adanya makelar kasus pajak senilai Rp 24 miliar di tubuh kepolisian.
Lalu, bagaimana kita menanggapi dan menyikapi laporan itu? Pertama, apa pun motif dari tindakan tersebut, Susno kita pandang sebagai orang yang amat paham "jeroan" lembaganya, sehingga apa yang disampaikannya tentu bukan sesuatu yang tanpa dasar dan argumentasi yang kuat. Kedua, inilah kecenderungan tindakan yang dilakukan oleh orang yang kecewa atau barisan sakit hati. Setelah tak lagi menjabat (nonjob), Susno membuat serangkaian testimoni mengejutkan publik. Sebelumnya, ia menjadi saksi pada persidangan kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Dari sudut yang pertama, keprihatinan amat mendalam patut kita lontarkan, karena sinyalemen tentang makelar kasus di kepolisian ternyata bukan sekadar ilusi. Kait-mengait, dengan fenomena penyalahgunaan kekuasaan, baik yang dikatakan Susno maupun serangan balik terhadapnya, sama-sama menyiratkan makna telah berlangsung praktik penyimpangan kekuasaan dari suatu jabatan dalam lembaga penegak hukum.
Fenomena kekuasaan pulalah yang publik tangkap, manakala pelaporan itu dilakukan setelah Susno nonjob. Mengapa seseorang baru "berteriak lantang" mengenai suatu penyimpangan setelah tidak lagi menjabat? Mengapa dia tidak menanganinya, memproses, atau membongkarnya ketika masih menduduki jabatan tersebut? Dengan kata lain, mengapa yang Susno ketahui itu baru sekarang dilaporkan dan diungkap ke ranah publik?
Kisah usang
Namun, terlepas dari persoalan tersebut, "nyanyian sang jenderal" (baca: Susno) soal makelar kasus atau mafia hukum di kepolisian, penting untuk dicermati dan ditindaklanjuti. Sebab, fenomena mafia hukum dan praktik korupsi di institusi kepolisian, sesungguhnya bukan hal baru dan "kisah usang". Jauh sebelum pernyataaan Susno, kondisi itu secara eksplisit juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian mengenai praktik korupsi di kepolisian, yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.
Berdasarkan hasil penelitian calon perwira polisi tersebut, model korupsi di kepolisian terbagi dalam dua bentuk yaitu korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh konkretnya, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian, jual beli jabatan, penyaluran anggaran, dan pendistribusian sarana prasarana (logistik) kepolisian.
Model kedua adalah korupsi eksternal yang secara langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Praktik itu terjadi dalam ranah tugas polisi, yang berkaitan dengan proses penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang. Sebelumnya, pada 2001, hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin mengemudi (SIM) dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, juga menemukan praktik penyimpangan seperti itu.
Mengacu pada temuan hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, praktik penyimpangan yang dilakukan oknum anggota polisi biasanya terjadi pada saat proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa, negosiasi kasus, penggelapan kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oknum anggota kepolisian.
Oleh karena itu, orang-orang seperti Susno sangat diperlukan sebagai upaya membantu percepatan dan pemudahan proses penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi di institusi kepolisian. Sebab, orang-orang dari luar lembaga yang ada, amat sulit diharapkan bisa membantu mengungkap kasus seperti itu. Sebab, pelaku, baik secara vertikal -atasan bawahan- atau horizontal -sesama rekan- telah terikat "janji setia sehidup-semati" dengan yang lainnya untuk menutupi masalah tersebut serta melindungi korpsnya (L` esprit de corps). Jika salah seorang di antara orang-orang tersebut berani "nyanyi", tak tertutup kemungkinan dia akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Sebab, dia menjadi bagian dari "mata rantai" kebusukan dari sistem yang ada. Dia seakan-akan "mengali kuburan untuk dirinya sendiri". Di sinilah, akar persoalan sulitnya melaksanakan reformasi di suatu lembaga.
Oleh karena itu, mengapa perlu orang seperti Susno, orang dalam dengan pangkat tinggi, berani menyampaikan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Memang, satgas bukan aparat penegak hukum. Akan tetapi, harus dipahami pula bahwa berdasarkan Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2009 Satgas Pemberantasan Mafia Hukum adalah lembaga diberikan kewenangan untuk menerima laporan tentang kemungkinan adanya mafia hukum atau makelar kasus.
Terakhir kita semua berharap, "Nyanyian Sang Jenderal" serta upaya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan KPK dalam membersihkan markus di kepolisian, layak untuk mendapatkan dukungan dari semua kalangan. Alasannya, cuma satu semua ini untuk mewujudkan institusi kepolisian yang bersih dan mengayomi rakyat!***
Penulis, alumni dan staf pengajar Bagian Hukum Tata Negara serta Sekretaris Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Pasundan (PKK-FH Unpas) Bandung.
Opini Pikira Rakyat 25 Maret 2010