Oleh Iwan Setiawan
Bagi pemerintah dan masyarakat perdesaan Jawa Barat, gerakan menabung secara nasional tidak cukup dimaknai sebatas suksesi monetisasi, membuat rekening, dan menyimpan uang di bank. Area pemahaman dan aksinya perlu diperluas dan diintegrasikan dengan gerakan menabung yang tidak kalah berderajat. Salah satunya adalah menabung (nyéngcéléngan) pangan.
Meski terdengar sederhana dan kuno, gerakan menabung pangan sejatinya bernilai strategis. Pertama, secara historis-empiris, pada masyarakat perdesaan tempo dulu dan atau yang sekarang masih kuat melestarikan, gerakan menabung pangan teruji mampu mereduksi kesenjangan, mencegah rawan pangan, dan menihilkan angka kelaparan.
Kedua, semakin intensif dan meluasnya kasus kerawanan pangan, busung lapar, dan gizi buruk, baik karena gagal panen (akibat banjir, kekeringan, serangan hama penyakit) maupun faktor kemiskinan, jelas tidak cukup ditanggulangi dengan hanya mengandalkan bantuan (baca: subsidi) pemerintah. Selain hal itu dapat menyuburkan ketergantungan, juga membebani ketahanan pangan nasional.
Ketiga, secara sosial-politik, ketahanan dan kemandirian pangan daerah/ nasional yang semakin terbebani naiknya angka permintaan, fluktuasi pasokan, dan menipisnya kuota impor (akibat anjloknya stok pangan dunia), hanya akan benar-benar terwujud apabila diawali dengan terciptanya ketahanan dan kemandirian pangan lokal. Kuncinya, apalagi kalau bukan menabung pangan.
Bagi masyarakat perdesaan Jawa Barat, meski istilahnya tidak eksplisit, budaya menabung pangan sejatinya telah lama berjalan. Bahkan, memiliki wujud institusi yang bervariasi, ada leuit (lumbung) pribadi, leuit kampung maupun leuit desa. Leuit pribadi berfungsi menjaga ketahanan pangan rumah tangga atau keluarga. Sedangkan leuit kampung dan leuit desa lebih berfungsi sosial, seperti perlindungan, antisipasi kegiatan, atau mitigasi kejadian (bencana) luar biasa (massal).
Jenis pangan yang ditabung juga bervariasi, dengan dominasi padi, jagung, dan kacang kering. Padi, baik yang dirontokkan (segon) maupun yang masih dalam tandan (rangeuyan), disimpan dalam bentuk gabah kering di leuit. Selain lebih tahan hama gudang, cara penyimpanan dalam bentuk gabah (dibulirnya) juga menyiasati agar padi tidak gampang dihabiskan. Menariknya, meski aturan main bermodalkan kepekaan sosial dan komitmen bersama, tetapi penabung tidak sembarang mengambil.
Berbeda dengan padi, jagung, dan kacang, baik untuk dijual, konsumsi maupun benih, pada umumnya disimpan di para-para bagian atas perapian. Selain dijadikan benih, jagung juga menjadi tabungan pangan bagi antisipasi paceklik. Sedangkan kacang lebih banyak dijadikan cadangan konsumsi, protein nabati. Bagi petani lahan kering, singkong juga merupakan tabungan. Bahkan menjadi andalan pendapatan musim kering dan antisipasi biaya operasional awal usaha tani.
Pada level rumah tangga, ada juga petani yang menabung ikan, menabung ternak, dan bahkan menabung pohon (buah-buahan dan tanaman keras). Fungsi tabungan ikan, selain sumber lauk pauk sehari-hari (protein hewani), juga cadangan hajatan atau hari-hari besar. Sedangkan tabungan ternak berfungsi sebagai sediaan bagi antisipasi kejadian atau kegiatan berbiaya tinggi, seperti sekolah anak, pesta/hajatan, upacara keagamaan. Sedangkan tabungan pohon, selain menjadi sumber pendapatan tahunan, juga berfungsi konservasi. Bahkan, oleh orang tua sering diucapkan ”untuk anak cucu atau keturunan”. Kemudian, dilembagakan pula tabungan pangan untuk keperluan sehari-hari, seperti warung dan apotek hidup yang diusahakan di lahan pekarangan.
Keragaman kearifan lokal menabung pangan sejatinya bermakna ganda, membiasakan hemat (ngeureut neundeun) serta melatih hidup sederhana dan terencana (antisipatif). Sebuah kebiasaan produktif yang diwariskan dan ditanamkan leluhur dari generasi ke generasi. Persoalannya, sebagai nilai budaya, kearifan lokal menabung pangan kian hari kian tereduksi dan teralienasi dari sistem sosial masyarakat perdesaan. Melemah dan lenyap oleh budaya instan dan rasional-komersial, produk modernisasi, dan rekayasa kelembagaan. Sangat wajar bila kemudian ditemui banyak kasus rumah tangga petani rawan pangan, busung lapar, dan gizi buruk. Kapitalisasi memaksa masyarakat perdesaan menjadi sembarangan menerapkan pola tanam dan lebih gemar menebangi daripada menanami hutan. Akibatnya, bencana banjir, longsor, dan kekeringan kian besar.
Berangkat dari semua itu, ”gerakan menabung” menjadi penting untuk diintegrasi dan diinovasi agar menabung uang di bank berjalan bersama rekonstruksi kearifan lokal. Implementasinya, jelas tidak cukup dengan sekadar sosialisasi dan kampanye instan. Karena menyangkut perilaku, nilai budaya dan kearifan lokal, pendekatan idealnya adalah internalisasi dan pemberdayaan (empowerment), baik melalui pilar pemungkinan (enabling), penguatan (strengthening) dan perlindungan (protecting). Sisi mana yang semestinya dikuatkan? Yaitu akses, kesadaran, partisipasi, kapasitas, tanggung jawab, dan modal sosial semua pihak. Selain agenda otonomi, bagi masyarakat perdesaan yang tidak terlalu berteori dan alergi dengan prosedur birokrasi, kehadiran institusi pendamping yang mumpuni jelas sangat dinanti.***
Penulis, dosen Fakultas Pertanian Unpad dan Sekretaris Puslit Dinamika Pembangunan LPPM Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 25 Maret 2010