07 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Wacana menolak jenazah koruptor

Wacana menolak jenazah koruptor

Awal tahun 2010 tampaknya menjadi pertunjukan massif bagi bangkitnya kemarahan rakyat dalam melawan berbagai kasus korupsi.

Anggodo-gate, kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan skandal bail out Bank Century seakan menjadi panggilan moral pada nurani untuk melawan musuh bersama yang menjerumuskan bangsa ini ke lembah kenistaan.


Korupsi di negeri agamis ini telah menjelma menjadi the root of all evils, biang kejahatan dan kemaksiatan.
Momentum kebangkitan nurani ini tentu tidak boleh disia-siakan oleh semua pihak, termasuk kalangan agamawan. Jika beberapa waktu lalu di negeri ini tumbuh kebencian yang luar biasa terhadap teroris, maka kebencian serupa tampaknya cukup tepat jika diterapkan kepada koruptor.
Jika masyarakat berani menolak wilayah mereka “dihuni” jenazah teroris, maka sekarang adalah momen yang tepat untuk menggalakkan aksi penolakan terhadap jenazah koruptor.
Merujuk pada dalil agama mayoritas negeri ini, Islam, perlakuan tidak manusiawi terhadap koruptor sesungguhnya mempunyai landasan teologis yang cukup legitimate.
Dengan mengqiyaskan perlakuan terhadap jenazah yang masih menanggung utang, terdapat illat yang mendukung aksi serupa terhadap koruptor yang meninggal dunia.
Sebagaimana yang dicatat sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW pernah melarang menyalatkan orang yang memiliki hutang hingga utangnya itu dibayarkan (Fiqh al-Sunnah IV: 104-105).
Dalam masyarakat Indonesia, pengurusan tidak manusiawi terhadap jenazah pengutang ini juga tidak sulit mencarikan referensinya.
Di Payaman, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur misalnya, masyarakat setempat tidak akan segera mengurus mayat sampai “dosa sosial” utang benar-benar diselesaikan oleh ahli warisnya.
Setelah ada ahli waris yang menjamin utang jenazah, barulah warga berbondong-bondong menyalatkan dan memakamkannya.
Tentu menjadi peristiwa yang monumental jika tradisi “menelantarkan” jenazah penanggung utang ini ditransformasikan terhadap para koruptor yang meninggal dunia.
Membandingkan “dosa” utang dan korupsi, orang awam pun sangat bisa memahami jika kejahatan korupsi jauh lebih berbahaya daripada sekadar meminjam uang atau barang tetangga.
Utang lebih banyak berkaitan dengan urusan individu dengan individu yang bersifat privat, sementara korupsi adalah urusan individu dengan khalayak ramai. Yang penting dicatat, khalayak yang dijadikan obyek koruptor pun tidak terdeteksi karena terlindungi dalam term rakyat.
Dalam perspektif Islam, jalan penyelesaian masalah yang terkait dengan banyak orang seperti korupsi ini tentu sulit dilakukan. Bahkan, sangat mungkin tidak bisa diselesaikan.
Sebab, jika ada salah satu warga negara yang notabene pemilik uang negara tidak memaafkan kesalahan koruptor, maka secara fiqhiyah dosa koruptor itu tidak terampuni.
Ini pula yang menyebabkan korupsi tercatat sebagai dosa syirik sosial, yang secara teologis berkedudukan sebagai dosa yang tidak mungkin diampuni Tuhan (QS Al-Nisa’/4: 48).
Di tengah penegakan hukum korupsi yang masih maju-mundur, dan sanksi moral yang gamang, gerakan menelantarkan jenazah koruptor layak diujicobakan.
Sanksi ini tampaknya bisa dijadikan satu alternatif agar para (calon) koruptor mempunyai rasa takut ketika mencuri uang rakyat.
Meski tidak merasa berdosa secara individu, apalagi sosial, setidaknya mereka punya rasa takut akan ditelantarkan jasadnya saat nyawa sudah meregang. Minimal mereka punya ketakutan jenazahnya tidak terurus saat meninggal dunia, dan ahli warisnya dikucilkan masyarakat sekitar.

Kehancuran
Sanksi ini semakin penting mengingat korupsi, meminjam istilah Ali al-Shabuni dalam Rawa’i al-Bayan, bisa dikategorikan sebagai perbuatan al-fasad.Yaitu segala perbuatan yang menyebabkan kehancuran kemaslahatan dan kemanfaatan hidup.
Kategori ini bisa dilihat dari efek korupsi telah memorakporandakan pilar kehidupan bangsa, hingga bangsa ini semakin terpuruk ke lembah kehinaan paling sempurna.
Hak rakyat mendapatkan pendapatan yang layak, kesehatan yang memadai, pendidikan yang mumpuni, serta hak-hak lain yang seharusnya didapatkan masyarakat justru dirampas oleh koruptor.
Tidak heran jika banyak pihak yang menyamakan korupsi bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan terorisme.
Keduanya sama-sama sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membahayakan eksistensi, keutuhan, serta kesatuan masyarakat dan bangsa.
Hanya bedanya, efek tindakan terorisme langsung terasa dalam sekejap, sementara imbas korupsi kurang bisa dirasakan secara langsung karena “virusnya” bersifat endemik. Meski sebenarnya keduanya sama-sama menghilangkan hak hidup orang banyak dengan cara-cara yang sangat tidak manusiawi.
Jika para agamawan sudah meneriakkan secara lantang perang terhadap terorisme, maka jihad melawan korupsi juga tidak boleh diabaikan. Inilah saatnya agamawan memasukkan gerakan antikorupsi ke dalam konstruksi identitas sosial-keagamaannya, bukan lagi sekadar imbauan dan seruan moral.
Pesan profetik agama tidak lagi cukup untuk membangkitkan kemarahan rakyat secara nasional (national wide anger) terhadap korupsi, tetapi sudah saatnya pada tataran implementatif.
Sudah tentu penelantaran jenazah koruptor ini membutuhkan fatwa dari para tokoh agama secara massif untuk disebarkan kepada masyarakat.
Berbagai lembaga dan organisasi keagamaan harus menyatakan perang secara lebih konsisten dan terarah terhadap korupsi dengan keharaman mengurus jenazah koruptor.
Sekarang sudah waktunya bagi masyarakat untuk menolak jenazah koruptor. Bukan hanya menolak jenazah teroris! Allah a’lam bi al-shawab. - Oleh : Muh Kholid AS, Alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo

Opini Solo Pos 8 Januari 2010