Oleh SOBIRIN
Setiap hujan datang, bencana banjir semakin mengancam warga. Berita-berita di media Pikiran Rakyat cukup menggambarkan bahwa bermukim di daerah sempadan sungai sangat membahayakan diri beserta seluruh keluarga. Disebutkan, lima rumah di dekat jembatan Cipamingkis, Desa Cibarusah, Kabupaten Bekasi, runtuh dan terseret arus sungai (”PR”, 25 April 2009). Wilayah langganan banjir di Kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah, Kabupaten Bandung, kembali terendam akibat hujan besar yang mengguyur wilayah Bandung (”PR”, 4 Juni 2009). Sekitar lima ratus rumah di Kampung Cieunteung, Kec. Baleendah, Kab. Bandung, kembali tergenang banjir dengan ketinggian air 1 hingga 2 meter (”PR”, 27 Desember 2009). Delapan rumah di pinggiran Sungai Cidurian Kampung Babakan Cikutra, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung, terancam longsor setelah tergerus arus sungai (”PR”, 3 Januari 2010).
Permukiman di daerah sempadan sungai telah tumbuh sebagai fakta sejarah, merupakan manifestasi tuntutan kebutuhan ruang, yaitu ketika jumlah penduduk semakin banyak dan lahan sangat terbatas. Lahan di pinggir sungai dianggap ”tidak bertuan”, kemudian diwujudkan dalam ekspansi ruang dengan membangun hunian tempat tinggal. Akhirnya hunian tersebut menjadi masalah ketika pemerintah terlambat menangani. Pemerintah tak mampu lagi mengendalikan pertumbuhan bangunan yang semakin memadati sempadan sungai dan bencana banjir datang secara rutin setiap tahun.
Ruang untuk sistem air
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, diamanatkan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung setempat yang ditetapkan dengan kriteria: pertama, daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit lima meter dari kaki tanggul sebelah luar; kedua, daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul dengan lebar paling sedikit seratus meter dari tepi sungai; ketiga, daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul dengan lebar paling sedikit lima puluh meter dari tepi sungai.
Saat ini, hampir setiap jengkal lahan di Jawa Barat telah dimanfaatkan dan direncanakan secara intensif untuk fungsi-fungsi yang tidak memperhitungkan syarat wawasan lingkungan. Seiring dengan jumlah penduduk Jawa Barat yang diprediksi akan meningkat menjadi 53 juta jiwa pada 2025, banyak lahan akan dikembangkan untuk kawasan budidaya, infrastruktur, dan permukiman dengan mengorbankan kawasan lindung. Di lain pihak, dengan adanya isu perubahan iklim dan fakta curah hujan yang semakin tidak mudah diprediksi, tuntutan kebutuhan ruang untuk menampung dan mengalirkan sistem air telah sangat mendesak.
Tidak ada pilihan lain. Semua pemangku kepentingan berkewajiban untuk menggabungkan fungsi-fungsi tersebut pada tingkat penataan ruang.
Kearifan di sempadan sungai
Penataan ruang dan pemanfaatan lahan, terutama di sempadan sungai, telah berlangsung sedemikian drastis untuk memenuhi kebutuhan penduduk tanpa menghiraukan kebutuhan dinamika sistem air. Kawasan lindung sempadan sungai telah diintervensi oleh kawasan budidaya dan permukiman secara melampaui batas yang berdampak meningkatnya bencana banjir karena terganggunya sistem air alami.
Menurut perundang-undangan, membangun dan tinggal di daerah sempadan sungai adalah tidak benar. Berubahnya sempadan sungai yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung setempat menjadi kawasan hunian akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air.
Hunian di sempadan sungai dan di daerah rawan banjir perlu perhatian dan prioritas penanganan, dan harus menjadi bagian integral penanggulangan banjir. Penanganan hunian di sempadan sungai akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam penanganan banjir. Pertama, mengurangi korban dan kerugian masyarakat yang tinggal di bantaran kali. Kedua, mengurangi beban atau ongkos sosial pada masa pascabanjir. Ketiga, mengurangi kerugian investasi .
Perlukah semua hunian di sempadan sungai direlokasi? Tidak mudah melakukan hal ini, apalagi lahan untuk relokasi juga tidak mudah didapatkan. Hidup harmonis dengan alam di daerah rawan banjir perlu disosialisasikan. Alternatifnya, pertama, hunian di sempadan sungai dirancang dengan konsep rumah panggung. Kedua, luas genangan luapan banjir tidak boleh dikurangi. Ketiga, diberikan sanksi bagi yang melanggar peraturan.
Di masa mendatang, sukses pembangunan akan sangat ditentukan oleh kecerdasan dalam mengelola ruang untuk sistem air. Pembangunan wilayah dan perkotaan membutuhkan ruang lebih luas untuk sistem air, termasuk alur sungai, saluran drainase, dan lahan penampungan luapan air. Diharapkan bencana oleh daya rusak air yang sangat mengganggu proses kehidupan dan pembangunan akan berkurang atau dapat dihindari sepenuhnya. Ini masalah kompleks. Namun jika ditangani dengan baik, menjadi salah satu yang akan menguntungkan untuk memperoleh kualitas penataan ruang yang lebih baik.***
Penulis, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, dan Bandung Spirit.
Opini Pikiran Rakyat 8 Januari 2010