Menurut mitologi Yunani, perempuan pertama yang disebut Pandora pernah membuka kotak terlarang karena terdorong rasa ingin tahu. Akibatnya, semua unsur jahat dalam kotak terbang liar ke mana-mana.
Tetapi menurut versi baru dongeng tersebut, yang ikut terbang adalah segenap berkah yang tersimpan dalam kotak. Yang tersisa hanya harapan. Analogi itu bisa melukiskan suasana hati masyarakat pada awal tahun baru.
Dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman sekarang, kita bisa merasa kehilangan pedoman. Kita lupa bahwa landasan idiil kita Pancasila, landasan yuridisnya UUD'45.
Berbagai peristiwa atau skandal nasional menjelang penghujung akhir tahun lalu, yang belum tuntas sampai sekarang, mengindikasikan bahwa kita mengabaikan landasan idiil maupun yuridis tersebut.
Kita mungkin tidak percaya lagi pada kesahihannya. Sementara unsur-unsur jahat merayap ke mana-mana, berkah pun hilang karena tidak ada kepedulian dan kebersamaan. Bahkan kita mungkin tidak percaya lagi pada satu-satunya yang tersisa, yakni harapan.
Unsur-unsur jahat yang liar
Skandal pembunuhan dan urusan perempuan yang menyangkut orang besar KPK sungguh mengguncangkan. Inilah refleksi sekelompok masyarakat elite yang mengalami krisis nilai dan norma.
Unsur jahat yang liar tidak berhenti di sana. Dia terus terbang menerpa yang lain-lain, membuka kasus Bibit-Chandra dan kontroversi Cicak & Buaya.
Secara mengagetkan muncul pula kasus Bank Century yang perkaranya ruwet bak benang kusut. Jangan mengharapkan rakyat kebanyakan akan pernah bisa mafhum tentang duduk perkaranya.
Yang terngiang-ngiang di telinga hanya mengalirnya dana Rp6,7 triliun, notabene uang rakyat, untuk upaya penyelamatan bank, demi kesehatan perekonomian Indonesia. Hanya tokoh-tokoh sekaliber Sri Mulyani yang mengerti teorinya.
Orang-orang politik maupun ekonomi yang tidak terlalu tahu kerumitan aplikasi teori itu pun mungkin ikut mengangguk-angguk karena percaya pada tokoh keuangan yang dikagumi di mana-mana itu.
Masalahnya, kurang ada penerangan. Kalangan elite masih bersifat konservatif, yang menganggap biarlah elite yang mengurus dan menentukan segala-galanya. Rakyat tinggal menerima.
Padahal tahap awal proses demokrasi di negeri ini sedang mengalami euforia. Masyarakat dengan heterogenitas tinggi pun ingin terlibat dalam segala perkara karena ada keyakinan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dengan asas kekeluargaan dan kebersamaan.
Padahal kalau kita ikuti sidang-sidang terbuka Pansus DPR tentang Bank Century, tampak terjadi kesulitan menyesuaikan pikiran dan pemahaman antara pihak-pihak yang bersilang pendapat karena latar belakang yang saling berbeda. Karena heterogenitas tadi.
Seperti sering dikatakan ahli-ahli kemasyarakatan, lebih sulit memimpin di negara demokrasi yang para pemimpinnya harus mampu membuat rakyat mengerti tentang berbagai kebijaksanaan yang dijalankan; dibandingkan dengan memerintah di negara otoriter yang tidak harus minta permisi pada rakyatnya.
Dalam kekisruhan yang membuat hati sumpek, bisa dimengerti kalau kadang-kadang timbul ide nyleneh untuk kembali ke orde otoriter, atau mempertanyakan apa arti demokrasi dengan falsafah Pancasila. Apakah Pancasila dianggap merepotkan?
Dengar suara nurani rakyat
Peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini membuktikan, asas dan makna demokrasi Pancasila tetap eksis. Sebab sebenarnya dia adalah saripati unsur-unsur positif yang ada dalam budaya bangsa dan inheren dalam diri setiap warga.
Dia tetap dibutuhkan untuk kesehatan dan kesejahteraan jiwa segenap rakyat Indonesia. Bersamaan dengan tingkah laku sekelompok elite pemerintahan maupun swasta yang memecundangi kepercayaan rakyat, kita melihat bagaimana reaksi masyarakat terhadap kasus-kasus yang bertentangan dengan bisikan nurani mereka.
Antara lain kasus Bibit-Chandra dan Prita. Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua-duanya petinggi KPK, sekitar pertengahan September tahun lalu menjadi tersangka kasus penyalahgunaan wewenang terkait cekal Djoko S Tjandra, Dirut PT Era Giat Prima, dan Anggoro Widjojo, Dirut PT Masaro.
Sepuluh hari kemudian, 25 September 2009, Kapolri menyatakan Chandra dan Bibit menjadi tersangka bukan hanya karena penyalahgunaan wewenang, tetapi juga karena menerima suap.
Menurut Antasari Azhar, mantan Ketua KPK yang disebut-sebut dalam skandal pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, uang sebesar Rp5,1 miliar dari Anggoro diserahkan kepada adiknya, Anggodo, untuk menyuap petinggi-petinggi KPK.
Dua hari kemudian, (27/9), Bibit & Chandra dituduh menerima suap senilai Rp1,5 miliar berdasarkan keterangan saksi Anggodo Widjaja. Keduanya menolak tuduhan tersebut. Mereka menduga ada rekayasa.
Pemberitaan gencar media massa tentang kasus itu diikuti masyarakat dengan cermat. Mereka merasakan ketidakadilan diberlakukan kepada kedua korban. Nurani mereka terpanggil dan timbul empati untuk memperjuangkan kebenaran.
Demonstrasi besar-besaran selama berhari-hari marak di mana-mana. Tanggal 2 November 2009, Presiden membentuk Tim Pencari Fakta beranggotakan 8 orang, diketuai Adnan Buyung Nasution.
Tanggal 4 Desember 2009 terbit Keppres No 101/2009 tentang pengaktifan kembali Bibit & Candra di KPK. Situasi dan suasana itu sejalan dengan anjuran Presiden untuk mengganyang mafia hukum, yang menjadi prioritas 100 hari pertama pemerintahannya.
Seperti membangunkan harimau tidur, rakyat pun bersemangat mengendus kasus-kasus yang berbau mafia hukum dan menggebraknya. Tersebutlah perempuan muda Prita Mulyasari (32 tahun) yang pada 8 Agustus tahun 2008 dirawat di RS Omni Internasional.
Sekitar satu minggu kemudian dia mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut kepada 10 temannya lewat surat elektronik. Tindakannya itu membuka kasus tuduhan pencemaran nama baik yang prosesnya berlarut-larut selama hampir satu setengah tahun.
Berita-berita tentang penderitaan batin keluarga muda dengan dua anak kecil, yang diancam hukuman penjara dan denda lebih dari Rp200 juta, menimbulkan iba dan empati masyarakat.
Seperti dalam kasus Bibit-Chandra, kepedulian dan rasa kebersamaan itu tampak nyata pada rakyat umumnya. Awal Desember 2009, masyarakat di banyak tempat mengumpulkan koin "Peduli Prita" sebagai bentuk keprihatinan akan tumpulnya nurani hukum di Indonesia.
Sampai 2 Desember 2009, terkumpul koin senilai Rp825 juta lebih. Secara simbolis uang tersebut diserahkan kepada Prita yang kabarnya akan menyediakannya untuk mereka yang mendapat musibah serupa.
Harapan selalu ada
Pandora tidak harus berputus asa. Sekalipun sekelompok kecil yang di atas sering lupa, banyak peristiwa nasional yang memprihatinkan, termasuk berbagai bencana alam dan akibatnya, tidak pernah luput dari perhatian dan rasa kepedulian rakyat. Pancasila adalah penegasan unsur-unsur positif dalam jati diri bangsa.
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 8 Januari 2010