Mengenang Gus Dur sebagai orang asing akan bisa lebih dipahami kalau diletakkan dalam kerangka pemikiran sosiolog Jerman, Georg Simmel. Dalam salah satu tulisannya, The Stranger, Simmel memberikan pengertian yang kompleks, khas, dan unik atas konsep orang asing.
Bagi Simmel, orang asing bukan sebuah tifikasi identitas (orang yang tidak dikenali asal-usulnya), melainkan suatu tifikasi relasi tertentu seseorang dalam suatu komunitas. Tipe relasi yang dimaksud adalah relasi interseksi yang dibangun atas dasar kedekatan (nearness), tetapi sekaligus berjarak (remoteness).
Dalam relasi interseksi, orang asing menjadi bagian dari komunitas, tetapi tidak sepenuhnya menjadi bagian dari komunitas tersebut karena ia tetap mampu mengambil jarak dengannya. Orang asing adalah orang yang berada di dalam sekaligus di luar komunitas.
Gus Dur tepat disebut sebagai orang asing karena selama ini Gus Dur mengembangkan relasi interseksi tersebut tidak saja di dalam komunitas NU, tetapi juga dengan kekuasaan dan berbagai komunitas lain yang lebih luas.
Terlahir sebagai cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari; dididik secara kultural di dalam tradisi NU, memulai dan memantapkan karier politik di NU merupakan bukti bahwa Gus Dur adalah elemen penting dan tak terpisahkan dari komunitas NU. Namun, pada saat yang sama, tidak jarang sikap Gus Dur berseberangan dengan tokoh-tokoh penting lainnya di NU dan secara terbuka kerap melancarkan kritik pedas terhadap beberapa kiai nahdliyin, seolah-olah ia tidak sedang menjadi bagian dari NU.
Begitu pula relasi Gus Dur dengan kekuasaan. Pada era Orde Baru, Gus Dur kerap mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto, tetapi—pada saat yang sama—”mengambil” dan menerima Pancasila, yang menjadi kebijakan politik resmi Orde Baru itu, sebagai asas NU.
Hal ini berlanjut saat Gus Dur sendiri berada dalam pusat kekuasaan, yaitu sebagai presiden ke-4 RI. Saat itu Gus Dur secara sinikal menyebut para anggota DPR ibarat murid taman kanak-kanak. Padahal, DPR saat itu diisi oleh banyak anggota yang berasal dari partai koalisi yang justru mendukung dan memilihnya sebagai presiden. Dengan sikapnya itu, Gus Dur dianggap tidak konsisten, mencla-mencle, dan berkhianat pada ikatan koalisi besar partai politik yang mendukungnya. Klimaksnya, Gus Dur pun dilengserkan dari kekuasaan oleh orang-orang yang dulu pernah mendukungnya.
Kendati begitu, dari situ kita bisa memetik pelajaran. Pertama, dengan relasi interseksi sejatinya Gus Dur berupaya untuk tetap (ber)independen terhadap segala bentuk ikatan, sekalipun itu ikatan dengan komunitas paling primordial baginya: NU, ataupun kekuasaan yang sesungguhnya bisa sangat menguntungkan dirinya. Kedua, Gus Dur berusaha mene- rapkan suatu perspektif sosial yang lebih obyektif dalam memandang individu, kelompok, atau institusi.
Persis dijelaskan Simmel bahwa orang asing adalah orang dengan pandangan yang obyektif. Obyektivitas orang asing adalah suatu pandangan yang hanya mungkin diperoleh dalam suatu relasi interseksi, yaitu kedekatan dan keberjarakan. Ini berbeda dengan obyektivitas kaum ilmiah positivistik yang hanya memandang sesuatu dengan mengambil jarak dari obyek.
Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas, seperti umat Konghucu dan Ahmadiyah, misalnya, bisa dipahami dalam kerangka obyektivitas orang asing ini. Gus Dur membela keberadaan mereka atas dasar pandangan obyektif dengan meneropong keberadaan mereka tidak hanya dari kejauhan, tetapi juga dari dekat. Dengan cara ini, Gus Dur mampu memahami cara hidup dan berkeyakinan mereka secara adil dan apa adanya. Maka, dengan cara pandang ini, tidak heran jika kemudian Gus Dur bisa diterima dan dikagumi oleh banyak orang dari berbagai kelompok dan golongan.
Terhadap lawan-lawan politiknya sekalipun, Gus Dur taat menerapkan pandangan obyektif semacam ini dan sangat piawai menjalin relasi interseksi dengan mereka. Dengan demikian, di mata Gus Dur, secara obyektif keberadaan lawan politik adalah sekaligus kawan politik. Sungguh ini sebuah estetika politik yang mungkin tidak mudah dilakukan tokoh politik lainnya.