Oleh H. EDDY JUSUF
SEBAGAI konsekuensi logis dari ASEAN Free Trade Area (AFTA), Indonesia mau tak mau telah masuk ke dalam ranah perekonomian dunia global. Gagasan tersebut telah tercetus pada 1992 di Singapura pada pertemuan puncak ke empat negara-negara yang bergabung dalam ASEAN, yang menginginkan segera melaksanakan AFTA yang semula dijadwalkan 2008, dipercepat menjadi 2003. Inilah satu bukti bahwa globalisasi perekonomian dunia telah dimulai.
Dengan demikian, integrasi perekonomian nasional dengan perekonomian regional/global, seperti AFTA, APEC, WTO/GATT, tidak mungkin lagi dapat dihindari. Inilah konsekuensi logis bagi perekonomian negara yang menganut paham pasar bebas. Artinya, paham yang menempatkan perekonomian suatu negara dalam ranah arus perdagangan bebas dunia.
Sebagaimana diketahui, ASEAN memiliki enam anggota, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Selanjutnya Vietnam menjadi anggota pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997, dan Kamboja 1999. Keempat anggota baru tersebut memiliki peluang lebih longgar (dalam hal waktu) untuk melaksanakan AFTA, khususnya tariff reduction obligations. Namun, negara-negara tersebut sudah saling menghapuskan tarif bea masuk barang hingga nol persen, dengan berlakunya zona perdagangan bebas tersebut.
Keenam negara ASEAN juga akan menambah 7.881 jenis tarif yang akan diturunkan menjadi nol persen, sehingga total jenis tarif yang dipergunakan di bawah Common Effective Preferential Tariffs for ASEAN Free Trade Area ( CEPT- AFTA) menjadi 54.457 atau 99,11 persen dari semua jenis tarif. Adanya pengurangan tingkat tarif rata-rata untuk negara-negara ini diharapkan menurun dari 0,79 persen pada 2009 menjadi hanya 0,05 persen pada 2010.
Sementara itu, keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN (China-ASEAN Free Trade Area/ACFTA) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, meski banyak suara sumbang dan pemikiran kritis, tetapi pemerintah tetap konsisten pada keputusan yang telah diambil delapan tahun yang lalu. Keyakinan tersebut tentunya telah melalui evaluasi komprehensif dan kajian kuantitatif menyangkut manfaat dan mudaratnya. Sayangnya, selama lima tahun ini belum terlihat upaya pemerintah untuk memperkuat struktur dan daya saing industri, khususnya dalam Business to Business (B2B).
Diakui atau tidak, munculnya ACFTA sedikit banyak mendatangkan kerugian dibandingkan dengan manfaatnya, khususnya terhadap industri manufaktur dan tenaga kerja jika tak segera diantisipasi pemerintah. Artinya, ACFTA lebih mengarah pada implementasi zona baru prinsip liberalisme perdagangan yang akan menganggu pasar domestik dan mengancam konsumsi barang-barang produksi dalam negeri.
Selama ini, produk dari Cina merupakan pesaing utama produk-produk lokal/domestik karena harganya jauh lebih murah. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya melakukan pengawasan pelabuhan impor untuk barang-barang dari Cina dan memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI), baik untuk produk impor maupun lokal, karena sebagian produk lokal kita dari segi kualitas tidak kalah dengan produk Cina. Hanya dari segi harga, kita tak mampu bersaing.
Dari data yang ada, saat ini peredaran barang impor di tanah air telah mencapai 50 persen, 40 persennya merupakan produk impor dari Cina. Dampak terburuk ACFTA, bila bea masuk sudah efektif berlaku nol persen, maka komposisi barang-barang impor diprediksi bisa melonjak mencapai 75 persen dan produk-produk Cina menguasai 70 persennya. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ada upaya penghambatan dari pemerintah, dikhawatirkan secara tidak langsung akan berdampak pada lapangan kerja karena akan terjadi alih profesi dari kalangan industriawan ke pedagang atau menjadi distributor.
Tercatat hingga Desember 2009, pekerja formal di Indonesia hanya 32,14 juta orang (30,65 persen) dari total angkatan kerja. Sementara jumlah pekerja informal mencapai 67,86 juta orang ( 69,35 persen) dari total angkatan kerja di Indonesia sebanyak 113,83 juta orang.
Jadi dalam konteks ini, pemberlakuan ACFTA ibarat dua sisi mata uang, yakni menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap Indonesia. Dampak negatifnya antara lain berkaitan dengan tersisihnya peluang produk-produk lokal menguasai pasar domestik. Oleh karena itu, pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO). Meski diakui secara jujur, dalam realitasnya, Indonesia belum siap menerapkan ACFTA secara penuh.***
Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah IV Jabar dan Banten, Dpk. Universitas Pasundan Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 8 Januari 2010