Pada saat itu, kata mereka, kondisi perekonomian berada di bawah tekanan berat akibat terkena imbas krisis keuangan global. Hal ini ditandai dengan depresiasi nilai tukar yang sangat tajam, merosotnya cadangan devisa secara besar-besaran dalam jangka waktu yang sangat singkat, rontoknya indeks harga saham gabungan (IHSG), perbankan mengalami kesulitan likuiditas, premi risiko yang melonjak, hengkangnya modal asing dari SBI dan SUN, dan sejumlah indikator keterpurukan lainnya.
Saya menikmati pernyataan mereka bukan karena hampir mirip dengan pernyataan saya setahun sebelumnya, tetapi lebih karena bertentangan dengan pernyataan mereka di penghujung tahun 2008. Waktu itu, mereka justru bilang bahwa kondisi perekonomian relatif baik dan tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan. Akrobat pernyataan yang saling bertentangan ini secara menakjubkan dilakukan dengan penuh percaya diri.
Untuk memahami akrobat tersebut secara jernih, kita mungkin bisa memakai teori mengenai perilaku pejabat publik. Sebagai pemangku amanah rakyat, seorang pejabat publik tidak hanya berperan sebagai orang yang ”melayani” kepentingan rakyat, tetapi lebih sering didorong oleh motivasi yang sangat manusiawi, yakni kepentingan mereka sendiri. Adalah kepentingan mereka untuk selalu kelihatan berprestasi, populer, atau sekadar untuk mempertahankan diri ketika orang lain melihat kebijakannya salah.
Akibatnya, data mengenai situasi perekonomian tidak lagi dianalisis secara obyektif untuk menghasilkan respons kebijakan yang tepat, tetapi ditafsirkan secara subyektif untuk memenuhi kepentingan pejabat publik yang bersangkutan. Harap diingat bahwa ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di seluruh dunia. Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini.
Hyman Minsky (1982), ekonom Amerika Serikat (AS) yang merupakan ”bapak” krisis keuangan, misalkan telah memperingatkan bahwa kerentanan ekonomi dan keuangan dipupuk melalui berbagai kebijakan yang seolah-olah memberikan kejayaan bagi masyarakat. Kemudian, terciptalah gelembung di sektor finansial dan properti, dan gelembung ini terus dipelihara karena memberikan kesan bahwa situasi perekonomian terus membaik. Padahal, gelembung selalu disertai dengan kerentanan finansial yang bila terlambat dilakukan koreksi bisa pecah menjadi krisis keuangan.
Gelembung sektor properti di AS diakselerasi oleh kebijakan suku bunga ekstra rendah di masa Greenspan. Karena itu, Paul Krugman, ekonom AS, menyebutnya sebagai the Greenspan bubble. Kebijakan suku bunga ini dipandang perlu untuk memompa perekonomian dari sisi permintaan agregat setelah Amerika dilanda resesi mini pada tahun 2001. Akan tetapi, kebijakan ini dipelihara terlalu lama sehingga kemudian menyebabkan krisis subprime mortgage.
Di Indonesia, gelembung di sektor finansial selalu ditafsirkan sebagai berkah. Menteri Keuangan pernah menafsirkan kenaikan harga saham yang terus meroket sebagai bentuk menguatnya fundamental ekonomi. Gubernur BI menafsirkan derasnya aliran hot money ke SBI dan pasar saham sebagai meningkatnya kepercayaan asing terhadap Indonesia. Padahal, Minsky memperingatkan agar pejabat publik selalu berhati-hati untuk tidak menambah kerentanan dengan menciptakan optimisme secara berlebihan yang kemudian bisa memompa gelembung yang lebih besar.
Tentunya, ketika likuiditas global mengering, dana asing yang ada di Indonesia ditarik secara besar-besaran. Akibatnya, IHSG terpuruk, SUN dijual murah, rupiah terdepresiasi secara tajam, dan cadangan devisa terkuras. Ditambah lagi, BI melakukan blunder dengan menaikkan suku bunga pada bulan Oktober 2008 sehingga kesulitan likuiditas semakin menjadi-jadi. Hal tersebut mengakibatkan kegentingan situasi makro.
Kalau saja kita cukup berhati-hati dalam mengelola ekonomi makro sebelum krisis global, kegentingan tersebut niscaya bisa dihindari. Dalam kondisi genting selalu berlaku prinsip kesalahan ditutupi dengan kesalahan. Karena tidak ingin menciptakan kesan bahwa situasi semakin genting, maka apa pun harus dilakukan untuk menyelamatkan Bank Century. Padahal, kontribusi Century dalam industri perbankan kurang dari satu persen, baik dalam hal aset, kredit, maupun pengumpulan dana. Terlebih lagi, bank tersebut terjerembab bukan karena terimbas krisis global, tetapi karena dijarah habis oleh para pengelolanya.
Belajar dari krisis keuangan yang terjadi berulang-ulang, para ekonom dunia kini sedang sibuk merumuskan macro-prudential regulation atau peraturan mengenai kehati-hatian pengelolaan ekonomi makro. Tujuannya adalah untuk membuat pagar bagi para pembuat kebijakan yang cenderung lebih memerhatikan kepentingan jangka pendek. Ketidakhati-hatian kebijakan makro terlalu sering menciptakan risiko sistemik yang sangat sulit untuk dikendalikan ketika situasi sudah telanjur terlalu buruk untuk bisa dikoreksi.
Konsep kerangka kerja macro-prudential jauh berbeda dibanding stabilisasi makro. Dalam stabilisasi makro, misalnya, inflasi yang rendah sering dijadikan tujuan, seperti yang sekarang ini dilakukan oleh BI. Akan tetapi, dalam konsep macro-prudential, kerentanan finansial justru sering kali merupakan akibat dari rendahnya inflasi. Membaiknya daya beli akibat inflasi yang rendah dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap aset yang kemudian memicu gelembung di sektor finansial dan properti. Paradigma yang digunakan jelas sangat berbeda.
Intinya, belajar dari kesalahan yang lalu tampaknya kita memerlukan perubahan dalam paradigma kebijakan makro. Dari hanya stabilisasi menjadi macro-prudential. Apakah pengelola makro di negeri kita sudah siap untuk mengubah cara berpikir mereka sendiri?