Dari sisi ekonomi makro pun Indonesia belum siap penuh menjalani perdagangan bebas ASEAN-China dan masih banyak yang harus dibenahi untuk mempersiapkan kiprahnya di FTA
MENGAWALI tahun 2010, Free Trade Agreement (FTA) ASEAN dengan Republik Rakyat China (RRC) resmi mulai diberlakukan. Dengan berlakunya kesepakatan itu maka terbentuklah sebuah komunitas pasar bebas yang besar di Asia Timur, yang mewadahi sekitar 1,9 miliar penduduk. Indonesia sebagai salah satu anggota penting ASEAN tentu sangat berkepentingan menyambut dimulainya perdagangan bebas tersebut.
Pertanyaannya, apakah China dengan 1,3 miliar penduduknya nanti benar-benar mampu menyerap produk-produk negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia? Sudah siapkah Indonesia berkiprah di forum atau kesepakatan itu yang akan segera bergulir itu?
Pertanyaan pertama muncul lantaran adanya tiga pertimbangan krusial yang harus diperhatikan serius terutama oleh pemerintah dan pelaku bisnis dari 10 negara anggota ASEAN dalam menjalin hubungan dagang secara bebas dengan China.
Pertama, fakta yang selama ini memperlihatkan bahwa memasarkan produk-produk asing di Negeri Tirai Bambu itu tidak mudah. Pasar domestik China pada praktiknya hanya menyumbang sedikit dari rata-rata pendapatan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negeri komunis tersebut.
Data yang dipublikasikan majalah mingguan The Economist edisi 17 Oktober 2009 menunjukkan pasar dalam negeri China cuma memberi kontribusi kurang dari 5% dari total penjualan perusahaan terkenal sekaliber Astra-Zeneca, Bayer, Pfizer, dan P&G (Procter & Gamble). Banyak usaha manajerial sudah dilakukan oleh para pimpinan perusahaan itu dengan mendatangkan para konsultan bisnis profesional. Namun, sejauh ini belum satupun dapat menjawab tantangan tertutupnya pasar domestik China.
Kedua, setelah bergabungnya China ke dalam rezim perdagangan bebas bernama World Trade Organization (WTO) tahun 2001, pemerintah negara itu masih saja memperketat kebijakan nasionalisme dalam perekonomiannya. Proteksionisme melalui subsidi dan tarif masih menjadi senjata yang ampuh dalam tataran birokratis.
Di luar itu, ketergabungannya dalam WTO sejak 2001 lalu tampak dijadikan alat (strategi) baginya untuk membuka pasar domestik mitra-mitra dagangnya hingga produk-produk China membanjiri para mitra dagangnya itu. Ini dibuktikan dengan surplus perdagangannya yang meningkat dengan sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.
Ketiga, salah satu faktor rendahnya konsumsi masyarakat China adalah politik kebijakan pemerintah negeri itu untuk memperluas industrialisasi dengan tetap mematok upah pekerja (buruh) yang cenderung rendah. Langkah ini ditempuh guna tetap menarik/menggaet investasi asing langsung (foreign direct investment) di negara itu. Di sisi lain, konsumsi masyarakat akan tertahan. Modus ini sudah sering dipersoalan oleh AS dalam sengketa dagangnya dengan China.
Neraca Perdagangan Jika kondisi tidak fair seperti itu tidak berubah setelah dimulainya perdagangan bebas ASEAN-China, niscaya pasar domestik China tidak dapat diharapkan mampu menyerap produk-produk asing termasuk dari negara-negara anggota ASEAN, tak terecuali Indonesia. Lantas, sekali lagi, sudah siapkah kita menjalani perdagangan bebas dengan China?
Dilihat dari neraca perdagangan nonmigas (minyak dan gas bumi) Indonesia-China tahun 2008 dan 2009 misalnya, tampak Indonesia sesungguhnya belum sepenuhnya siap menghadapi (berkiprah di) pasar bebas ASEAN- China. Pada tahun 2008 perdagangan nonmigas Indonesia- China defisit di pihak Indonesia 7,160 miliar dolar AS. Kemudian, tahun 2009 per September defisit juga di pihak Indonesia 3,157 miliar dolar AS.
Defisit Indonesia sebanyak itu tentu berkontribusi cukup signifikan bagi defisit ASEAN yang mencapai 78 miliar dolar AS dalam menjalin hubungan dagang di sektor nonmigas dengan China pada tahun 2008.
Lalu, ditilik dari sisi ekonomi makro pun Indonesia sejatinya juga belum siap penuh menjalani perdagangan bebas ASEAN- China. Masih banyak yang harus dibenahi untuk mempersiapkan kiprahnya di FTA ASEAN-China.
Dilihat dari indeks produksi industri berskala besar dan sedang, khususnya dalam triwulan pertama 2008, hampir semua sektor dalam industri manufaktur kita menurun. Hanya empat sektor yang mengalami penguatan/peningkatan, yakni industri makanan dan minuman, industri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta industri furnitur dan pengolahan lainnya (Badan Pusat Statistik 2009).
Selain indikator itu, pertumbuhan kredit yang cenderung melemah untuk bisnis dan individu selama rentang waktu November 2008 hingga Mei 2009, dari 45 persen dan 30 persen menjadi 16 persen dan 22 persen, diperkirakan akan berdampak negatif bagi prospek industrialisasi ke depan. Hal ini ditambah persentase kredit macet (nonperforming loans) yang mencapai 4,5 persen pada Juni 2009. Angka ini meningkat 0,7 persen bila dibandingkan dengan kredit macet Desember 2008.
Sementara itu, upaya yang ditempuh dalam proses pemulihan krisis ekonomi yang lalu, pemerintah cenderung memprioritaskan pada pemberian insentif pajak (85 persen) ketimbang infrastruktur. Dengan ini, upaya menarik investasi asing langsung sedikit melambat karena minimnya sarana dan prasarana yang menunjang. Tingginya instabilitas pekerja/buruh dalam hubungan industrial juga berpengaruh besar terhadap berkurangnya investasi asing langsung yang masuk.
Semua itu ikut andil terhadap belum siapnya industri kita berkompetisi di ajang pasar bebas ASEAN-China. Produk-produk industri kita dikhawatirkan tidak cukup kompetitif baik dari segi kualitas maupun harga bila harus bersaing dengan produk-produk serupa dari sesama anggota ASEAN, apalagi dengan produk yang sama dari China yang sudah terkenal kompetitif terutama dari segi harga.
Produk-produk industri Indonesia memang akan mudah memasuki pasar domestik China setelah FTA ASEAN-China resmi mulai berlaku 1 Januari 2010. Namun, karena pemerintah China menerapkan kebijakan perdagangan di pasar domestiknya secara tidak fair, tidak serta-merta produk-produk industri Indonesia yang membanjiri China akan dibeli oleh banyak masyarakat sana.
Di sisi lain, kian leluasanya produk-produk China memasuki pasar domestik Indonesia akan semakin memberi keuntungan bagi Negeri Tirai Bambu itu karena tren konsumsi masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat. (10)
—Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY di Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 8 Januari 2010