Iksan Basoeky
(Peneliti pada Center For Studies of Religion and Culture)
Bertepatan dengan pergantian tahun baru 2010, secara resmi diberlakukan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Negara-negara ASEAN dengan Cina mulai awal Januari ini membuka ruang gerak perdagangan bebas dan Cina selaku negara yang diuntungkan semakin tak terbenturkan.
Semua negara bagian ASEAN, termasuk negara Indonesia, menyepakati diberlakukannya perdagangan bebas tersebut. Liberalisasi perdagangan antar-ASEAN dan Cina benar-benar akan menjadi hal yang sangat monumental dalam dunia perdagangan. Ini justru menimbulkan optimisme dan pesimisme yang lahir pada kemudian hari. Sebab, dibukanya pintu masuk produksi Cina akan berakibat terjadinya banjir produksi besar-besaran.
Apalagi, secara bersamaan, enam negara di ASEAN (Brunei, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Indonesia) sepakat akan menambah 7,881 jenis tarif yang diturunkan menjadi nol. Artinya, jumlah pos tarif yang masuk dalam tarif presensi efektif untuk perdagangan bebas ASEAN menjadi 54.457 atau 99,11 persen dari seluruh jenis tarif perdagangan.
Hasilnya, rata-rata tarif yang berlaku di enam negara di atas akan turun dari 0,79 persen pada 2009 menjadi 0,05 persen pada 2010 ini (Kompas, 4/01/2010). Stabilitas penurunan ini adalah sebuah kepastian awal dari tarif impor antara ASEAN dan Cina yang akan turun secara signifikan. Selaku negara yang didominankan dalam perdagangan bebas ini, keberadaan Cina membuat banyak kalangan khawatir akan dampak negatif yang akan muncul.
Melalui Early Harves Programme (EHP), yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk, seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan dan minuman, serta produk yang lainnya; secara perlahan, tapi pasti, bea masuk ke dalam negeri akan terhapus. Adanya EHP menjadikan keyakinan para petinggi di ASEAN ini bertambah afdhal, lebih-lebih masyarakat yang menjadi tumpuan dan objek sasaran perdagangan bebas itu.
Fenomena ini sekaligus melengkapi bahwa lalu lintas antarbarang negara-negara ASEAN-Cina di lapangan akan mengalir dengan bebas, tanpa proteksi tarif apa pun. Dengan demikian, negara Cina akan leluasa mengimpor hasil produksi mereka ke berbagai negara di ASEAN. Pengiriman yang mereka lakukan itu juga diuntungkan dengan kesepakatan publik yang menekankan adanya penurunan tarif pemasukan barang. Namun, keberadaan itu tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan untuk negara ASEAN dan Cina walaupun lebih sedikit atau sebaliknya.
Dari Cina
Mengingat gonjang-ganjingnya persoalan perekonomian dan produksi dalam negeri, sebetulnya hal ini bukanlah merupakan suatu kebanggaan bagi negara Indonesia yang ikut andil dalam mengambil kesepakatan. Malah, itu menimbulkan tanda tanya besar, siapkah Indonesia menyambut kedatangannya dan mampukah produksi dalam negeri menyaingi hasil produksi mereka serta bagaimana nasib produksi lokal ke depan setelah diberlakukannya liberalisasi pasar?
Selama ini, kontribusi pemerintah masih bisa dipandang lemah dan belum adanya kesadaran secara continue bahwa masih banyak persoalan yang ada dalam negeri yang belum terselesaikan. Di samping itu, penyadaran yang datang dari sejumlah pihak menggiring kita untuk terus berhati-hati dalam menerima perdagangan bebas. Sektor industri tekstil mempunyai peran strategis yang paling mendapatkan tekanan. Sebab, diakui atau tidak, sebelum perdagangan bebas diberlakukan, Cina sudah mampu membuat tekstil porduksi kita terengah-engah dalam posisi dilematis. Sikap pemerintah harus tegas dalam melakukan pembenahan di semua sektor penghasil produksi. Pemerintah tidak cukup melakukan upaya masif tanpa ada bukti konkret dalam mendukung peningkatan stabilitas produksi yang ada sekaligus memberi dorongan untuk malakukan pengelolaan produksi dalam negeri lebih baik dan dipercaya hasilnya.
Kesepakatan ACFTA penting diperhatikan dengan jeli oleh pemerintah jika tidak menginginkan nasib produksi kita tetap jalan di tempat. Sebab, persoalan ACFTA adalah persoalan besar yang juga membutuhkan kerja keras dari pemerintah selaku pengambil kebijakan awal hingga diberlakukannya liberalisme pasar. Potensi produk domestik dalam negeri harus ditingkatkan. Pertama, memberikan kepercayaan kepada masyarakat Indonesia guna mengelola potensinya. Tidak cukup penanaman kepercayaan itu diberikan kepada masyarakat kita, kepercayaan itu juga harusnya dapat diakses oleh negara luar.
Kedua, Indonesia harus cerdas membaca perkembangan pasar global yang terjadi. Pemerintah mau tidak mau harus memberikan suntikan terhadap industri dalam negeri dan memasarkannya keluar. Artinya, kita tidak hanya menjadi pengimpor setia, tetapi eksportir yang dipercaya.
Opini Republika 7 Januari 2010
07 Januari 2010
ACFTA dan Masa Depan
Thank You!