Oleh Iwan Dermawan Hanafi
Gong perdagangan bebas di bawah rezim ACFTA (Asean-China Free Trade Area) telah ditabuh oleh pemerintahan negara-negara ASEN plus Cina pada 1 Januari 2010. Namun, belum juga skema ACFTA diimplementasikan, atas usulan pengusaha Indonesia, seminggu sebelum pergantian tahun, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda 228 pos tarif produk industri. Sebagai konsekuensinya, harus dilakukan renegosiasi di forum Asean-Cina. Kebijakan yang sesungguhnya mencerminkan inkonsistensi ini, terpaksa diambil pemerintah karena produk industri itu masih perlu waktu untuk berdaya saing.
Skema ACFTA akan berlangsung dengan cara menghapuskan bea masuk produk impor atau menjadi nol persen. Akibat nyatanya adalah produk Cina yang memang terbukti murah akan membanjiri pasar Indonesia. Dampak berikutnya dari ACFTA bagi aktivitas bisnis sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu usaha yang produknya dipasarkan untuk Asean-Cina. Produk industri yang berkualitas lebih baik dan dengan harga lebih murah, singkatnya produk industri yang paling menguntungkan konsumen, dapat dipastikan lebih dipilih konsumen. Produk industri demikian akan selamat di era perdagangan bebas, tidak peduli dari negara mana pun produk itu berasal. Jargon ”belilah produk dalam negeri” tidak lagi relevan, setidaknya semakin kurang diminati. Era perdagangan bebas memang akan memanjakan konsumen. Konsumen pula yang akan menentukan hidup atau matinya suatu industri. Konsumen tidak akan peduli dari mana suatu produk berasal, bila terbukti baik untuk konsumen, maka konsumen akan membeli. Dalam kenyataan, justru itulah yang terjadi.
Tingkatkan daya saing
Pada umumnya, kerja sama ekonomi/perdagangan regional terjadi secara bertahap, dari bentuk yang paling sederhana yaitu PTA (Preferential Trading Arrangement/Penetapan Perdagangan Istimewa), kemudian meningkat menjadi FTA (Free Trade Area/Kawasan Perdagangan Bebas), lalu CU (Custom Union/Integrasi Pabean), CM (Common Market/Pasaran Bersama), hingga penyatuan ekonomi EU (Economic Union), seperti yang sudah dicapai Eropa.
Sistem perdagangan pada dasarnya selalu dikaitkan dengan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan barang dan jasa. Di masa modern, orang cenderung untuk memenuhi kebutuhannya dengan bantuan dan kerja sama pihak lain. Bantuan dan kerja sama dengan pihak lain itu mengandung unsur-unsur spesialisasi dan pemanfaatan surplus. Melalui spesialisasi, orang berusaha meningkatkan produktivitasnya dengan mengkhususkan diri pada bidang, keahlian, keunggulan yang ada pada dirinya, memanfaatkan faktor waktu, sarana, dan faktor-faktor produksi lain secara intensif, efisien, dan efektif. Melalui pemanfaatan surplus, orang berusaha untuk memanfaatkan kelebihan hasil produktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan pihak lain. Kegiatan perdagangan pada dasarnya merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa yang berlangsung dalam kerangka spesialisasi dan pemanfaatan surplus.
Orientasi ke dalam, statistik menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, ekspor nonmigas Indonesia sekali-sekali mengalami surplus. Membengkaknya defisit transaksi berjalan Indonesia berkaitan dengan laju pertumbuhan ekspor yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan impor. Memang ekpor nonmigas Indonesia mengalami peningkatan, tetapi surplus semakin melorot karena laju impor jauh lebih cepat melesat daripada laju ekspor. Khusus perdagangan bilateral Indonesia-Cina, keadaan juga mengkhawatirkan. Tahun 2006, Indonesia masih surplus akan tetapi terus menurun, sebaliknya Cina di tahun 2006 defisit tetapi terus meningkat, sehingga pada 2009 Indonesia mengalami defisit 3,5 miliar dolar AS.
Ekspor Indonesia sangat peka pada kendala produksi dan perkembangan harga di pasar global. Sebagai solusi, bagaimanapun domain pemerintah (melalui kewenangan mengaturnya) merupakan lokomotif yang menentukan survival dunia bisnis Indonesia. Diharapkan pemerintah melakukan kajian mendalam sebelum meliberalkan suatu sektor usaha Indonesia. Keberpihakan bukanlah barang haram, terlebih dalam kondisi Indonesia saat kini yang masih dalam masa recovery. Pemerintah harus melakukan pemantauan mutu barang impor untuk melindungi konsumen Indonesia. Paling tidak dengan keharusan menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia), produk impor juga harus dipastikan tidak adanya keberpihakan di negara asal.
Bagi pengusaha, target efesiensi di segala lini mutlak diterapkan, sehingga produk makin berkualitas dengan harga bersaing. Pengusaha semakin dituntut untuk memperluas pasar, tidak hanya memasok kebutuhan nasional, melainkan juga lebih merebut pasar Cina dan Asean. Dengan demikian, ACFTA akan menjadi harapan bagi pengusaha yang efesien dan menjadi tantangan bagi pengusaha yang masih memerlukan keberpihakan serta pembinaan pemerintah.
Dari ulasan di atas, kita melihat bahwa pintu gerbang ACFTA baru saja dibuka dan dinamikanya akan masih terus berlangsung. Terlepas apa pun dampaknya, dalam arti ACFTA tetap eksis atau bubar. Satu hal yang pasti adalah bahwa dunia bisnis Indonesia perlu bebenah diri dengan meningkatkan daya saingnya dalam pertarungan bisnis.
Goresan pena ini tidak dapat meramalkan dengan tepat apa yang akan terjadi dengan kondisi ekonomi Asean-Cina di masa mendatang. Bahwa ramalan futurologi kelas dunia sekaliber John Naisbitt sekalipun, tetap memiliki risiko kesalahan ramalan yang tidak kecil. Hanya dengan becermin dari dinamika perdagangan Indonesia, kita dapat menentukan bagaimana dan kapan harus bertindak, yaitu sejak dini bekerja lebih keras lagi dan berusaha menjadi thinker, producer, dan trader yang tangguh dan berkelanjutan.
Semoga di awal 2010 ini, kita merefleksi diri dan menjadi momentum agar pendulum lebih sering berada dalam tantangan dan harapan berseberangan dengan dampak negatif (tantangan dijadikan pemicu meningkatkan daya juang, daya juang yang tinggi meraih harapan). Dengan harapan, Indonesia memperoleh manfaat maksimum dari ACFTA, sehingga berkontribusi menyejahterakan bangsa Indonesia.***
Penulis, Ketua Kadin Indonesia Komite Singapura dan Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 8 Januari 2010