19 Januari 2010

» Home » Kompas » Sri, Kesalahan atau Kejahatan

Sri, Kesalahan atau Kejahatan

Sebagai rakyat biasa, belakangan ini saya sering sakit kepala menyaksikan siaran tentang ”pengadilan”. Apalagi ”pengadilan” yang mengusik nurani. ”Pengadilan” itu mencari ”kesalahan” dan setiap menemukan kesalahan, mereka minta dicatat dan ditindaklanjuti. Yang ”bersalah” agar dihukum.
Vonis hukuman pun memiliki beragam motif. Tidak melulu untuk menimbulkan efek jera atau memberi rasa keadilan. Ada vonis yang bertujuan sekadar menjalankan tugas, menyenangkan atasan, menjalankan aspek-aspek legalistik-formal, balas dendam, dan mempermalukan orang.

 

Kalau penjara semakin penuh, dan penjahat negara makin banyak ditangkap dan tak pernah berhenti, jangan-jangan kita telah lebih banyak menangkap orang yang ”bersalah” ketimbang yang jahat. Kita semua tentu menginginkan, dengan demokrasi, Indonesia bisa berubah menjadi bangsa yang besar. Namun, untuk menjadi bangsa yang besar, para elite dan pemimpinnya harus bisa membedakan antara kesalahan dan kejahatan.
Perubahan dan kesalahan
Setiap kali menghadapi perubahan, seorang pemimpin selalu menghadapi suasana yang dilematis. Mengambil langkah A dan B, menolong atau membiarkan mati, mengambil langkah berani yang berisiko atau mendiamkan saja.
Lord Erlington mengatakan, pemimpin yang tak melakukan kesalahan adalah pemimpin yang tak melakukan apa-apa. Karena itu, di era perubahan ini banyak ditemui pemimpin dan birokrat yang tak melakukan apa-apa. Serapan dana APBN rendah, proyek yang dikerjakan yang gampang- gampang saja dan rutin. Tak ada yang baru, apalagi terobosan (breakthrough). Hasilnya menjadi bagus: posisi aman, jabatan terus diperpanjang atasan.
Sebaliknya, mereka yang melakukan breakthrough menghadapi risiko tinggi sebab perubahan sering kali harus dimulai dengan penghancuran belenggu-belenggu dan kekuasaan-kekuasaan lama. Risiko mengalami benturan, perlawanan dan kemungkinan ”salah” atau dipersalahkan sangat besar.
Mereka justru dipecat, diganti, atau diadili. Menghadapi krisis atau perubahan kalau tidak direspons bisa mati, tetapi kalau dihadapi dan keputusan yang diambil salah, mati juga. Karena itu, pemimpin yang menghadapi perubahan dan mau mengatasinya berpotensi melakukan kesalahan. Namun, apakah kesalahan otomatis sebuah kejahatan?
Herbert Simon, ahli ekonomi-politik, penerima hadiah Nobel Ekonomi 1978, menandaskan, ”Percuma ’mengadili’ keputusan yang sudah diambil. Apalagi bila digunakan ’rasionalitas’, karena dalam setiap pengadilan keputusan strategis setiap pemimpin selalu ditengarai oleh suasana keterbatasan.”
Keterbatasan itulah yang mungkin dihadapi oleh mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Keterbatasan atau ketidaklengkapan informasi, terbatasnya waktu, banyak celah hukum, kecerdikan penjahat yang memanfaatkan situasi, lemahnya sistem komunikasi, kesibukan para atasan, dan tentu saja keterbatasan otak manusia.
Dengan demikian, percuma mencari-cari kesalahan pengambilan keputusan yang diambil Sri Mulyani. Percuma mempersoalkan efek sistemik atau tidak, atau kebijakan-kebijakan yang diambil, sementara penjahat yang melakukan kejahatan dibiarkan menari-nari dan menikmati keuntungan. Dalam teori bounded-rationality, Herbert Simon menegaskan, secara psikologi, manusia pengambil keputusan hanyalah partly rational.
Bersyukurlah
Selain harus mampu membedakan antara kesalahan dengan kejahatan, bangsa Indonesia juga harus belajar melihat jauh ke depan. Seligman, Bapak Psikologi Positif, mengatakan, ”Sumber kebahagiaan suatu bangsa sangat erat hubungannya dengan rasa syukur dan motivasi membalas.”
Kita patut bersyukur kesalahan yang diambil Sri tidak merembet ke mana-mana. Ini dapat berarti dari 100 keputusan yang diambilnya, 99 persen di antaranya berujung pada hasil yang baik. Rasa syukur ini bukanlah sebuah pembenaran terhadap sebuah kesalahan, tetapi merupakan alat untuk bertindak dan berani menghadapi perubahan.
Rasa syukur adalah modal penting untuk mendorong optimisme. Seperti kata Seligman, ”Manusia selalu memiliki dua jenis harapan, yaitu harapan bagus dan harapan buruk.” Saya khawatir kalau para elite terus memperbesar ”harapan-harapan buruk”, segala optimisme yang melahirkan ”harapan-harapan bagus” habis ditelan ”harapan-harapan buruk”.
Sebagai bangsa yang belum benar-benar kaya, kita hendaklah jangan gegabah membuang baju hanya gara-gara sehelai benangnya lepas sehingga seakan-akan seluruh jalinannya terburai.
Kita juga harus mulai menghentikan efek dendam keris Empu Gandring dan bukan memelihara dendam. Kalau semua pemimpin yang salah mengambil keputusan diidentikkan dengan penjahat, maka tersenyumlah semua penjahat.
Rhenald Kasali Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia
Opini Kompas 20 Januari 2010