19 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » ACFTA dan ”Outsourcing”

ACFTA dan ”Outsourcing”

Oleh NOVAN HERFIYANA

Pada awal 2010 ini, ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) mulai diberlakukan. Mau tidak mau dan suka tidak suka, pemerintahan mana pun yang merancangnya, kita sebagai warga Indonesia harus siap dengan ACFTA tersebut.

Dengan diberlakukannya ACFTA, kita tidak hanya akan menghadapi kekuatan produk Cina yang makin banyak, tetapi juga harus bersaing dengan produk Cina tersebut. Apalagi, kini produk Cina bebas tarif, yang berdampak pada harganya yang lebih terjangkau (baca: murah). Pada masa lalu, produk Cina memang sudah begitu kuat pasarnya, apalagi pada era ACFTA tentu akan lebih kuat lagi.


Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bukan hanya pengusaha, para pekerja pun turut melakukan aksi demonstrasi menolak ACFTA. Meskipun para pekerja dapat menganggap ”Itu kan urusan pengusaha”, mereka tetap menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada mereka. Logika ini dapat dilihat pada pikiran ”pesimisme” tidak akan lakunya produk industri lokal yang berakibat pada akan ditutupnya industri tersebut. Akhirnya, para pekerja pun akan terkena dampaknya.

Simaklah mengapa pengusaha merasa lupa dan begitu panik ketika menghadapi ACFTA. Inilah rangkaian cerita klasik sejak dulu: mahalnya biaya tenaga kerja (perburuhan) di Indonesia, naiknya harga kebutuhan pokok, naiknya harga BBM (bahan bakar minyak) dan TDL (tarif dasar listrik), suku bunga yang tinggi, krisis moneter-ekonomi, krisis global, dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan itu seakan tak kunjung terselesaikan sehingga kita pun tidak pernah bersiap-siap untuk memulainya kembali secara progresif.

Bagaimanapun, kesepakatan pada ACFTA tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan perdagangan di kawasan ASEAN pada masa lalu. Ketika negara-negara lain sudah bersiap diri, kita memulainya pun masih diragukan. Ya, jadilah seperti ini. Kita hanya berharap pada sudut pandang: ancaman atau peluang.

Salah satu antisipasi menghadapi ACFTA ialah daya saing. Perusahaan harus dapat melakukan efisiensi (biaya produksi). Biaya produksi (perizinan, operasional, dan tenaga kerja) yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi itu harus dibenahi.

Dalam aspek SDM (sumber daya manusia), outsourcing (alih daya) merupakan salah satu pilihan. Praktik alih daya merupakan pilihan yang cukup ampuh dalam bidang usaha karena dapat mengefisiensikan segala biaya, dalam hal ini biaya tenaga kerja. Namun demikian, meskipun alih daya semakin berkembang terutama di Eropa, praktik alih daya mengalami hambatan-hambatan hukum di Indonesia.
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara jelas menampung istilah alih daya. Adapun referensi soal alih daya yang ada ialah Pasal 64, 65, dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Karena ketidakjelasan alih daya itu pula, sebagian besar pelaku sering kali melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam hal sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain misalnya, harus memenuhi syarat-syarat: (a) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, (b) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, (c) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan (d) tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Selain itu, dalam hal pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Hal ini kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yaitu kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan seperti usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), dan usaha penyediaan angkutan pekerja.

Terlepas dari itu, pro kontra alih daya pun muncul ketika pengusaha dan pekerja (baca: masyarakat) sama-sama sulit dengan beban hidup. Kedua pihak sejatinya saling membutuhkan.

Di akhir tulisan, penulis ingin menyampaikan saran tentang praktik alih daya (selain harus dijelaskan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan), yaitu (1) diaturnya upah awal yang harus ditetapkan (baca: bukan upah minimum) sehingga upah tersebut relatif lebih besar daripada pekerja tetap. (2) Dalam hal terjadi tarik-menarik soal kenaikan upah, maka perlu ditanamkan kesadaran bahwa pengusaha dan pekerja memiliki hak yang sama untuk hidup layak. Dengan demikian, dalam hal ini, negaralah yang berkewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya melalui pengusaha/pekerja sebagai sarananya. (3) Pekerja perlu diberikan pengetahuan tentang motivasi meningkatkan produksinya. (4) Pekerja perlu dibekali ilmu perencanaan keuangan sebagai komponen kesejahteraan (selain upah) pekerja, sehingga dapat mengatur keuangan yang dimilikinya dan tidak mencampuradukkan tekanan masalah di rumah ke perusahaan. (5) Pekerja perlu diberikan pengetahuan wirausaha sebagai komponen kesejahteraannya, sehingga sewaktu-waktu dapat berani memensiunkan diri secara dini dan akhirnya berwirausaha yang berdampak pada saling bergantinya posisi pekerja (bergiliran) dengan generasi berikutnya.

Ilmu-ilmu yang dapat dijadikan komponen kesejahteraan selain upah itu janganlah dijadikan beban biaya, tetapi investasi. Dengan demikian, setiap pengusaha dan pekerja dapat menyadarinya dalam situasi dan kondisi yang sama-sama sulit ini.***

Penulis, peminat masalah hukum, kemasyarakatan, dan ketenagakerjaan.
Opini Pikiran Rakyat 20 Januari 2010