19 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menguji Legalitas Perpu JPSK

Menguji Legalitas Perpu JPSK

Pijakan untuk bail out, menurut Kejagung adalah Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Hal ini jelas menunjukkan, versi Kejagung, Perpu JPSK masih berlaku.

SUDAH sejak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 landasan hukum atau legalitas produk hukum yang menjadi dasar penyelamatan (bail out) Bank Century dipertanyakan. Produk hukum dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).


Untuk memastikan legalitas Perpu JPSK, dasar bail out (pemberian dana talangan) Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, Kejaksaan Agung (Kejagung) memang sudah menyatakan bahwa hal itu tidak melawan hukum. Landasan pijak bail out untuk bank tersebut, menurut Kejagung adalah Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK (Suara Merdeka, 24 Oktober 2009). Hal ini jelas menunjukkan, versi Kejagung, Perpu JPSK masih berlaku.

Berita terbaru, mungkin karena frustrasi dengan status Perpu JPSK, Menteri Keuangan (Menkeu) menyatakan, penanganan Bank Century termasuk bail out Rp 6,7 triliun oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) sejak 21 November 2008 tidak lagi menggunakan Perpu JPSK, tetapi berdasarkan UU LPS (Suara Merdeka, 14 Januari 2010).

Berbeda dari pemberitaan sebelumnya, menurut Menkeu, berdasarkan hasil rapat paripurna 18 Desember 2008 mengenai Perpu JPSK secara resmi disampaikan Ketua DPR dalam sebuah surat tanggal 24 Desember 2008 (Suara Merdeka, 1 Oktober 2009). Paripurna tidak secara eksplisit menolak Perpu JPSK. Selain itu, pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 22 dan UU No 10 Tahun 2004 Pasal 25 untuk mengajukan RUU JPKS.

Menurut Menkeu, DPR bersepakat meminta pemerintah agar mengajukan RUU JPSK sebelum 19 Januari 2010 dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan mekanisme dewan yang berlaku. Hal ini, mungkin, oleh Menkeu, dipahami sebagai belum ada penolakan terhadap Perpu. Jadi, dalam pemahaman Menkeu, kala itu, Perpu JPSK masih berlaku. Dasarnya, pengajuan RUU JPSK sesuai hukum. Tambahan pula, dalam RUU JPSK, ada pencantuman Pasal 30 dan 31 dalam RUU JPSK sebagai aturan peralihan bagi legalitas bail out. Tidak heran, dengan nada retoris Menkeu mengatakan, ‘’Pasal itu mengatakan dengan berlakunya RUU JPSK maka Perpu tidak lagi berlaku. Itu hanya konsekuensi logis’’. Hal ini sebetulnya merupakan kecerdasan tautologis saja, sesungguhnya Perpu JPSK masih berlaku dengan meminjam tangan pengajuan RUU JPSK.

Menkeu memang sempat membantah adanya tuduhan pasal-pasal tersebut digunakan untuk legitimasi pengucuran dana talangan Bank Century dan perlindungan terhadap pejabat tertentu.  Namun, menurut anggota Komisi XI DPR Natsir Mansyur, hal itu pertanda pemerintah memainkan trik dalam kasus Century yang pada intinya melegalkan kembali Perpu No 4/2008 yang telah ditolak oleh DPR (Suara Merdeka, 29 September 2009).

Ditambahkan Mansyur, dalam kasus ini pemerintah mencoba mencari perlindungan hukum melalui RUU JPSK. Peraturan peralihan itu berbunyi, dengan diterimanya RUU JPSK sebagai UU JPSK maka penolakan tentang Perpu JPSK dicabut. ”Artinya Perpu itu masih berlaku sampai sekarang sehingga bail out menjadi sah” (Suara Merdeka, 29 September 2009).

Mengingat ada perbedaan interpretasi antara pemerintah dan DPR, untuk mengatasi persoalan, Kepala Biro Humas BPK menyarankan kepada DPR untuk mengajukan permohonan pendapat hukum kepada MA atas legalitas atau status Perpu No 4 Tahun 2008 tersebut. Hal inipun merupakan suatu trik untuk melegitimasi keberadaan Perpu JPSK.

Maksudnya, selama belum ada pendapat hukum maka Perpu dimaksud tetap berlaku. Memang, ada anggota DPR yang berpandangan bahwa dalam kenyataanya, DPR resmi menolak pengesahan Perpu JPSK (Suara Merdeka, 30 September 2009). Ketua Komisi XI DPR Ahmad Hafiz Zawawi mengatakan pihaknya membacakan surat bahwa pembahasan RUU JPSK antara pemerintah dalam hal ini Menkeu, BI, dan Komisi XI DPR tidak mencapai kesepakatan. Komisi XI menyatakan dengan tidak disetujuinya Perpu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK, itu berarti ditolak (Suara Merdeka, 30 September 2009).

Di tempat lain, seperti diberitakan Suara Merdeka, 31 Desember 2009, menyusul penerimaan surat pengantar Presiden tanggal 11 Desember 2009 bernomor R-61/ Pres/ 12/2009 tentang pengajuan RUU Pembatalan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) itu, surat Presiden menugaskan Menkeu dan Menkumham mewakili pemerintah dalam membahas RUU JPSK. Meskipun tidak menyebutkan implikasi, berdasarkan Pasal 25 Ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, surat tersebut bisa menjadi jalan untuk tetap memberlakukan Perpu JPSK, sekalipun surat Presiden tersebut telah dikembalikan kepadanya.

Pasal 25 Ayat (4) jo. Pasal 36 Ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan, ‘’Dalam hal Perpu ditolak DPR maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perpu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut’’.

Pasal itu jelas menegaskan, tindakan pihak pemerintah yang ditandai dengan pengiriman surat pengantar Presiden ketika DPR membawa konsekuensi bahwa Perpu JPKS dianggap masih berlaku hingga selesainya pembahasan RUU pencabutan Perpu JPSK dimaksud.

Sejumlah pengamat memang menilai bahwa langkah Presiden, bersurat tersebut merupakan sebuah upaya untuk mengakali, bila Perpu JPSK masih belum dicabut sampai dengan saat pembuatan surat pengantar RUU pencabutan tersebut. ‘’Ini hanya akal-akalan saja. Untuk itu, DPR harus waspada, dan menegaskan bahwa Perpu tersebut sudah tidak punya legitimasi sejak ditolak 18 Desember 2008,’’ ujar dosen HTN Univeristas Andalas Saldi Isra.

Isra juga mengakui bahwa langkah tersebut merupakan upaya pemerintah untuk memberikan dasar hukum kepada pencairan dana talangan  Century setelah Perpu JPSK ditolak DPR. ìDPR harus menegaskan bahwa Perpu tersebut sudah ditolak. Bahkan RUU JPSK yang diajukan oleh pemerintah juga ditolak oleh DPR periode lalu. Artinya, secara substansi Peppu tersebut sudah tidak punya landasan hukum,î tegas Isra (Suara Merdeka, 31 Desember 2009).

Sayangnya, masih menggunakan logika konstitusi lama, menurut Isra, begitu Perpu ditolak oleh DPR, maka tidak bisa berlaku lagi. Jika pemerintah tetap bersikap seperti itu, menganggap Perpu tersebut baru dicabut tertanggal 11 Desember 2009, kata Saldi, artinya pemerintah melegitimasi pencurian uang negara.

Tampaknya problematika hukum ketatanegaraan Republik Indonesia kontemporer yang muncul sehubungan dengan Perpu JPSK sebagaimana dikemukakan di atas adalah: ‘’Apakah Perpu tidak berlaku sejak ditolak DPR, atau setelah adanya pencabutan oleh Presiden?’’ Dengan kepala dingin mestinya legal issue ketatanegaraan ini mudah dijawab.

Kaidah hukum ketetanegaraan Indonesia paling mutakhir sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 25 Ayat (4) dan yang oleh pembuat UU dirasakan sebagai sebuah kebutuhan untuk diulangnyatakan lagi dalam Pasal 36 Ayat (4) UU 10/2004 dengan tegas telah menyediakan jalan yang terang benderang bahwa Perpu JPSK tidak berlaku bila RUU pencabutan yang diajukan pihak eksekutif, termasuk dalamnya pengaturan tentang segala akibat dari penolakan atas Perpu JPSK telah mendapat persetujuan DPR dan diundangkan di Lembaran Negara Republik Indonesia.(10)

— Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Wacana Suara Merdeka 20 Januari 2010