19 Januari 2010

» Home » Okezone » Kasus Bank Century dan Pudarnya Koalisi

Kasus Bank Century dan Pudarnya Koalisi

SEORANG kolumnis harian Seputar Indonesia seminggu lalu membalas pesan singkat yang saya kirim kepadanya, “Koalisi bukan hanya pecah, Mas Ikrar, tapi sudah berantakan!” Tampaknya komentar kawan itu benar.

100 hari Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono bukan dipenuhi upaya pencapaian Program 100 Hari (P100H), melainkan disibukkan berbagai kasus hukum, dari soal Cicak vs Buaya, Anggodo Widjaja, dan yang selalu disiarkan langsung televisi, kasus Bank Century. Kasus Bank Century yang sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR memang mengakibatkan koalisi yang dibangun partai-partai politik pendukung koalisi pecah dan berantakan. Belum 100 hari koalisi ini terbentuk, bulan madu telah berakhir.

Masing-masing partai anggota koalisi cari selamat atau berupaya untuk membuat keseimbangan politik baru di kabinet. Walau Presiden SBY sudah mengancam untuk meninjau kembali koalisi, partai-partai politik tetap bergeming dengan posisi mereka masing-masing di dalam Pansus Bank Century. Partai Golkar misalnya, melalui Ketua Umum DPP Aburizal Bakrie, menyatakan bahwa Golkar tetap solid mendukung koalisi dan tidak berkhianat, sembari menekankan bahwa apa yang dilakukan Golkar di pansus hanyalah “Mengingatkan sahabat bahwa ada masalah yang harus diselesaikan demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia” (Seputar Indonesia, 17/1/2010).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak awal sudah mengatakan,“Kalau mau jadi maling, jangan ajak-ajak PKS.” Sedangkan anggota Pansus dari PPP dan PKB tetap mencecar mereka yang diundang pansus dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggigit. Walau kadang pertanyaan-pertanyaan beberapa anggota pansus terasa konyol, tapi tontonan sidang pansus secara langsung tetap menarik untuk diamati. Dua isu terakhir yang muncul pada minggu ini ialah: pertama, pernyataan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution agar Presiden SBY mengambil alih tanggung jawab kasus Bank Century.

Pernyataan ini mendapatkan kritikan tajam dari Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok sebagai tidak etis. Kedua, ada isu bahwa terjadi kesepakatan antara Presiden SBY dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan dicopot dari jabatannya pada Februari ini, demi menyelamatkan koalisi yang ada dan posisi Presiden SBY. Jika kedua isu itu menjadi kebenaran, tentu ada konsekuensi politiknya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Pansus Hak Angket DPR berhasil mendatangkan presiden di hadapan sidang pansus yang terhormat.

Ini juga menunjukkan bahwa Presiden SBY yang harus bertanggung jawab penuh dalam pengucuran dana talangan terhadap Bank Century. Jika ternyata ada hal-hal yang melanggar aturan hukum, akankah ini berujung pada pemakzulan terhadap Presiden SBY? Presiden tentunya tahu mengenai keputusan untuk memberikan dana talangan itu karena seperti diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur BI saat itu, Boediono, yang kini menjadi wakil presiden, tidak melaporkan hal itu ke wakil presiden, melainkan langsung kepada Presiden SBY yang sedang berada di Amerika Serikat.

Jika benar ada kesepakatan antara Aburizal Bakrie dan SBY untuk memecat Sri Mulyani ini berarti ada upaya cuci tangan dari Presiden SBY dalam kasus Bank Century dan mengorbankan Menkeu Sri Mulyani Indrawati sebagai tumbal politik. Ini juga bisa dipandang sebagai balas dendam politik Aburizal Bakrie terhadap Sri Mulyani yang tidak mau menunda perdagangan saham Bumi Resources, salah satu perusahaan Grup Bakrie saat harga saham perusahaan itu anjlok di bursa saham.

Apa pun alasannya, “pemecatan” Sri Mulyani tentunya amat menyesakkan hati kalangan intelektual kampus karena Sri Mulyani adalah tokoh intelektual kampus yang ikut aktif berjuang saat upaya reformasi politik menjelang 21 Mei 1998 sedang bergulir. Saya juga ikut dalam rapat-rapat di Fakultas Ekonomi UI dan di tempat lain pada masa itu, yang juga diikuti secara aktif oleh Sri Mulyani. Nasib kalangan profesional nonpartai memang amat mengenaskan karena ia tidak memiliki basis politik di partai. Terlepas dari apa pun yang akan terjadi, jika ternyata Sri Mulyani tidak bersalah dan hanya menjadi tumbal politik dari suatu kebijakan pemerintah yang salah, namanya akan harum kembali.

Kita juga tidak tahu, apakah nasib Sri Mulyani, kalau benar akan dipecat, juga akan dialami oleh Wakil Presiden Boediono. Jika ini terjadi, habislah benteng teknokrat/intelektual non-partai di dalam kabinet. Kalau pun ini terjadi, jika pansus sudah masuk ke agenda ke mana saja aliran dana Bank Century mengalir dan terbukti ada yang mengalir ke partai atau orang-orang dekat SBY, tamat pula nasib politik SBY. Tanpa kehati-hatian, SBY benar-benar menari-nari mengikuti irama gendang yang ditabuh partai-partai politik. Bisa saja ia lelah dan jatuh di lantai dansa politik yang kini sedang berproses di DPR.

Apa yang berlangsung di Pansus Hak Angket Bank Century merupakan taruhan politik bagi koalisi longgar atau koalisi strategis yang dibangun SBY bersama partai-partai pendukungnya. Hasilnya akan baik jika ini dilakukan mengikuti hati nurani yang suci dari para anggota pansus. Namun, jika ini didasari oleh kepentingan politik jangka pendek, akan terjadi proses pembusukan politik di dalam koalisi partai-partai pendukung SBY. Tanpa adanya tekanan politik dari luar pun, seperti demonstrasi mahasiswa, buruh, atau kekuatan rakyat yang menyatu padu, koalisi yang sudah membusuk ini tentunya akan hancur sesuai dengan hukum alam politik yang berlaku selama ini.

Jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 juga diawali oleh pembusukan politik di dalam kabinet dan MPR/DPR saat itu. Akankah sejarah berulang? Kita lihat saja nanti. Satu hal yang pasti, jika SBY salah langkah dalam kasus Bank Century, ia sedang menggali kubur politiknya sendiri.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 19 Januari 2010