MEMBACA tulisan Tasroh SS MPA MSc berjudul Revitalisasi Ebeg dan Calung (SM, 4/01/10 ) perlu kiranya diberikan beberapa catatan. Ebeg yang dimaksud dalam tulisan tersebut bukanlah dalam pengertian ebeg sebagai bentuk komunikasi tradisional Banyumas.
Ebeg sebagaimana digambarkan Tasroh adalah kelompok pengamen keliling perumahan dengan memanfaatkan simbol-simbol ebeg.
Sikap mengolok-olok warga perumahan terhadap para pemain ebeg karena pakaian kumuh dan kostum mereka yang compang-camping juga sangat disayangkan. Meski sikap semacam itu dapat dimengerti, sebab khalayak ebeg adalah warga perumahan yang heterogen, sehingga tidak memahami hakikat ebeg.
Sebagai komunikasi tradisional sesungguhnya ebeg selalu hadir dengan latar desa, adat, dan tradisi. Khalayak ebeg adalah anggota masyarakat yang dianggap sebagai insider, sehingga mempunyai preferensi dan pemahaman terhadap media dan pesan dalam ebeg.
Khalayak ebeg memiliki kesadaran terhadap kesamaan adat, bahasa, dan norma budaya. Bisa dimaklumi jika warga perumahan menertawakan penampilan pengamen ebeg, lantaran mereka adalah penonton yang dalam sistem komunikasi tradisional merupakan outsider.
Ebeg merupakan perpaduan seni tari dan seni musik tradisional yang sering dipertunjukkan dalam ritual adat Jawa Banyumasan, seperti upacara sedekah bumi atau hajatan pengantin.
Bentuk komunikasi ini hingga sekarang masih bertahan, namun di beberapa tempat di Banyumas bubar atau gulung tikar dengan bebagai alasan, seperti faktor managerial dan regenerasi.
Oleh sebab itu diperlukan kepedulian banyak pihak agar aset budaya lokal ini tetap bertahan di tengah golablisasi.
Ebeg memerlukan pengorganisasian dan pendanaan untuk memelihara peralatan.
Organisasi ebeg bersifat tradisional, dalam arti tidak legal formal. Kelompok ebeg tidak mempunyai struktur organisasi resmi, tidak memiliki badan hukum, dan seringkali tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di tingkat desa maupun di Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas).
Karenanya ebeg sulit mendapat bantuan dana dari anggaran pemerintah daerah.
Untuk mengatasi masalah pendanaan, biasanya kelompok ebeg melakukan komodifikasi dalam pementasan.
Ebeg saat ini bukan hanya dipentaskan dalam ritual adat, namun juga acara-acara res mi pemerintah dan swasta, seperti peringatan 17 Agustus, peresmian perkantoran, pertunjukan di objek wisata, kampanye politik, dan program-program pemerintah lainnya.
Masalah kedua, berkaitan de ngan pelestarian dan proses regenerasi ebeg di Banyumas. Para pe main adalah orang dewasa, sehingga menimbulkan permasalahan dalam proses regenerasi.
Anak-anak dan remaja generasi sekarang kurang berminat untuk menekuni kesenian ebeg. Mereka lebih tertarik duduk berjam-jam di depan komputer untuk bermain game atau facebook.
Kalau pun saat ini muncul tren pemain ebeg anak-anak usia sekolah, keterlibatan mereka mengundang pro-kontra di masyarakat.
Di satu sisi keterlibatan anak belasan tahun dalam ebeg berdampak positif terhadap pelestarian dan regenerasi. Di lain sisi, banyak orang tua keberatan bila anaknya menjadi pemain ebeg, karena dikhawatirkan mengganggu waktu belajar mereka.
Sesuatu yang sangat berbeda, misalnya dengan anak-anak dan remaja di Bali yang masih antusias mempelajari dan mengikuti berbagai bentuk media dan kesenian tradisional yang ada. Hal ini dikarenakan media komunikasi dan kesenian tradisional di Bali berkaitan erat dengan tradisi, adat, bu daya, dan agama.
Ebeg acapkali dianggap kuno, ketingggalan zaman, klenik, atau hal-hal yang berhubungan dengan mistik, sehingga dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
Selain itu, untuk dapat menjadi pemain ebeg seseorang harus memiliki indang, yang biasa diperoleh dengan laku tirakat berupa puasa, mutih, dan bertapa di tempat-tempat keramat atau makam. Indang adalah roh atau mahkluk gaib yang biasa dipanggil untuk merasuki pemain ebeg saat trance. (10)
— Chusmeru, pecinta ebeg, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, Purwokerto
Wacana Suara Merdeka 20 Januari 2010