SEJAK kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mulai diberlakukan pada tahun pelajaran 2004 - 2005, pembelajaran IPA di jenjang SMP/ MTs yang sebelumnya terpisah antara fisika dan biologi, melebur menjadi pembelajaran IPA terpadu.
Dalam pembelajaran yang terpadu tersebut ditambahkan materi kimia, dan salah satu konsentrasinya pada pengenalan bahan kimia dalam makanan atau yang populer disebut zat aditif makanan. Ada lima jenis zat aditif makanan, yaitu pewarna, pemanis, pengawet, penyedap rasa, dan antioksidan.
Ditinjau dari asalnya, ada dua jenis zat aditif makanan, yaitu alami dan sintetis (buatan). Industri bahan makanan di Indonesia terus berkembang pesat, produk yang dihasilkan umumnya berupa bahan makanan olahan yang sarat dengan zat aditif.
Namun perlu diingat bahwa penggunaan zat aditif makanan tidak boleh dilatarbelakangi maksud menipu konsumen ataupun berdampak menurunkan nilai gizi makanan.
Kenyataanya produsen makanan atau penjual jajanan olahan cenderung hanya berorientasi pada prinsip keuntungan besar dengan biaya produksi kecil tanpa memedulikan dampak negatif bagi kesehatan konsumen.
Hal ini mengindikasikan bahwa zat aditif sintetis lebih banyak digunakan. Padahal mayoritas konsumennya adalah anak-anak sekolah.
Bisa dibayangkan selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP mereka mengonsumsi jajanan yang penuh dengan zat aditif yang kurang jelas statusnya boleh atau tidaknya oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM). Selama 9 tahun itu betapa banyak tumpukan zat racun di dalam tubuh anak-anak didik kita yang didapatkan dari sekolah.
Sungguh sangat ironis mengingat sekolah adalah wahana keilmuan tetapi penerapan dari ilmu itu sendiri nihil. Hingga saat ini kualitas pendidikan kita sangat terpuruk di tingkat internasional, apakah salah satu penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak-anak didik selama di sekolah?
Masalah pertumbuhan dan perkembangan yang memengaruhi kecerdasan mereka sangat jelas dan dekat dengan kita (guru-guru mereka), tapi mengapa kita tidak melakukan apapun untuk mencegahnya atau paling tidak meminimalisasi dengan cara yang lebih konkret dalam menyeleksi jajanan di sekolah?
Alangkah berdosanya kita sebagai orang tuanya di sekolah membiarkan anak-anak didik terus sepanjang masa sekolahnya mengonsumsi jajanan yang tidak sehat.
Penambahan materi kimia di jenjang SMP pada saat KBK diberlakukan pada tahun 2004, banyak menuai kritikan karena akan menambah beban kurikulum tapi dengan melihat kenyataan anak didik akrab dengan jajanan maka dipandang sangat urgen meteri kimia melebur dalam pembelajaran IPA terpadu. Inilah salah satu arti penting materi kimia melebur dalam pembelajaran IPA terpadu.
Jika dihitung sudah 5 tahun materi kimia dibelajarkan di sekolah, apakah sudah ada sentuhan langsung (direct touch) dengan kualitas hidup sehat anak-anak didik kita? Materi IPA, khususnya kimia, diharapkan tidak hanya di atas kertas, tidak hanya untuk dibaca dan dihafalkan untuk mencapai academic target orientedtetapi juga life skill target oriented.
Karena itu, marilah kita leburkan nilai-nilai IPA dalam kehidupan sehari-hari anak didik kita, terutama dalam pemilihan jajanan dan gaya hidup sehat di sekolah ataupun di lingkungan luar sekolah. Jadi, jika guru-guru, khususnya guru IPA, menjadi petugas BBPOM di sekolah, mengapa tidak?
Zat aditif dalam jajanan biasanya terdapat pada minuman / makanan ringan kemasan dan makanan/ minuman olahan. Makanan ringan yang kemasannya menarik bagi anak-anak atau yang biasanya poluler disebut ciki-ciki jika dibaca kandungannya selalu mengandung monosodium glutamat.
Bisa dibayangkan selama 9 tahun di sekolah dasar (SD sampai dengan SMP) setiap hari mereka secara kontinu mengonsumsinya dengan jumlah yang relatif banyak.
Hasil penyelidikan Dr Ho Man Kwok pada tahun 1969 mengungkapkan kasus yang dikenal chinese restaurant syndrome (CRS) dengan salah satu gejalanya adalah pusing kepala (gangguan otak).
Dalam kondisi seperti gejala tersebut, apakah anak dapat konsentrasi belajar? Bukan tidak mungkin akhirnya memicu tumbuhnya kanker otak atau penyakit otak lainnya.
Belum lagi pemanis buatan seperti sakarin, aspartam dan lain-lain. Penelitian medis menyatakan bahwa apabila dikonsumsi secara berlebihan dan kontinu akan memicu tumbuhnya sel kanker, misalnya kanker kandung kemih.
Bahan pengawet sintetis yang sering dipakai pada produk makanan ringan ciki-ciki yang digemari anak-anak , kecap , dan lain-lain adalah asam benzoat, natrium benzoat, dan natrium nitrat.
Penggunaan pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan iritasi lambung dan saluran pencernaan. Efek selanjutnya tentunya memengaruhi penyerapan zat gizi makanan di dalam usus penyerapan (ileum).
Demikian juga zat aditif sintetis lainnya, secara logika jika dikonsumsi secara berlebihan dan kontinu akan menimbulkan gangguan kesehatan atau daya tahan tubuh seseorang menjadi berkurang.
Tubuh bukannya kaya akan zat gizi melainkan kaya akan bahan kimia berbahaya. Jelas semua itu sangat berpengaruh terhadap kualitas belajar anak.
Jajanan olahan yang dijual di luar atau bahkan di kantin sekolah juga seharusnya tidak lepas dari pengawasan sekolah dan guru-guru IPA khususnya. Boraks, formalin, dan rhodamin B adalah zat aditif yang dilarang BBPOM, tetapi hingga saat ini masih ditemukan penggunaan zat aditif tersebut pada jajanan anak sekolah.
Seperti temuan BBPOM belum lama ini.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimanakan peran konkret (tidak hanya teori) pembelajaran di kelas, sehingga dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang zat aditif dan efek negatifnya.
Apalagi di era manajemen berbasis sekolah seperti sekarang ini, guru dituntut untuk lebih kreatif mengembangkan bahan ajar yang bersentuhan langsung dengan kondisi anak didik sehingga lebih bermakna bagi kehidupan sehari-harinya.
Tentu saja dalam hal ini, guru harus mempunyai referensi yang lebih dari sekadar buku materi.
Dengan maraknya teknologi internet adalah salah satu alternatif untuk menggali informasi lebih banyak tentang zat aditif makanan.
Peran BBPOM di sekolah misalnya dengan memberikan diklat bagi guru tentang zat aditif makanan akan menjadikan guru sebagai kepanjangan tangan BBPOM dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan pengawasan makanan jajanan anak-anak sekolah. (10)
— Yohanes Eko Nugroho SPd, guru IPA terpadu SMP Negeri 2 Ungaran Kabupaten Semarang
Wacana Suara Merdeka 20 Januari 2010