19 Januari 2010

» Home » Kompas » Kerugian Talangan Bank Century

Kerugian Talangan Bank Century

Sejauh ini belum ada penghitungan resmi yang dikeluarkan pemerintah tentang kerugian finansial sebagai akibat dari penyelamatan Bank Century. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menampilkan salah satu metode penghitungan kerugian tersebut, hanya sekadar untuk membangunkan kesadaran publik bahwa kerugian memang telah terjadi.
Metode yang diterapkan adalah penghitungan kerugian ”aktual” atau kerugian yang sudah betul-betul terjadi pada tanggal tertentu. Sebagai basis penghitungan, kita akan menggunakan neraca Bank Century pada bulan Juli 2009 sebagaimana tercantum pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan.
Penggunaan laporan keuangan per 31 Juli 2009 didasari atas kenyataan bahwa penyertaan modal sementara (PMS) yang diinjeksikan ke Bank Century sampai tanggal 24 Juli 2009 adalah sebesar Rp 6.762,4 miliar. Kedua tanggal tersebut berdekatan sehingga penghitungan tidak terlalu berbeda jika menggunakan salah satu tanggal tersebut.


Ekuitas Bank Century pada Juli 2009 ternyata hanya memiliki nilai buku sebesar Rp 678,5 miliar. Dengan demikian, dana PMS hanya memiliki nilai buku sepersepuluhnya. Kerugian yang harus ditanggung Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah Rp 6,08 triliun atau 90 persen dari total dana talangan.
Dalam bahasa pasar modal, LPS membeli Bank Century dengan harga 10 kali lipat nilai bukunya. Kalau saat itu LPS tidak mau menanggung kerugian, Bank Century harus bisa dijual kepada investor dengan price to book value (PBV) sebesar 10 kali. Sangat sulit untuk menjual sebuah bank semahal itu. Catatan historis akuisisi bank di Indonesia, harga jual berada di kisaran PBV tiga kali. Itu pun kalau ada yang mau beli.
Rencananya, LPS akan menjual Bank Century lima tahun yang akan datang. Berapa nilai Bank Century seharusnya lima tahun yang akan datang bila LPS tidak ingin rugi? Tentu nilainya bukan lagi Rp 6,76 triliun karena kita harus memperhitungkan biaya imbangan (opportunity cost). Kita bisa mengasumsikan uang sebesar itu diinvestasikan LPS dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang memberikan tingkat bunga tertentu setiap bulan.
Untuk menentukan nilai lima tahun mendatang, harus disimulasikan dengan tingkat suku bunga tertentu. Dari data historis, tingkat bunga SBI berada di rentang 6 persen sampai 14 persen. Mari kita simulasikan dengan suku bunga 6, 10, dan 14 persen.
Dengan asumsi suku bunga 6 persen, uang sebesar Rp 6,76 triliun lima tahun mendatang harus sama dengan Rp 9,05 triliun. Kalau suku bunga adalah 10 dan 14 persen, nilainya akan sama dengan Rp 10,89 triliun dan Rp 13,02 triliun. Agar LPS tidak rugi, nilai jual Bank Century lima tahun yang akan datang harus berada di rentang Rp 9 triliun sampai dengan Rp 13 triliun.
Kerja ekstra keras
Apakah nilai jual sebesar itu bisa diwujudkan? Tentu harus disimulasikan dengan suatu angka angan-angan. Contohnya, kalau target PBV yang realistis adalah 3 kali, nilai buku ekuitas Bank Century untuk bisa dijual Rp 9 triliun adalah Rp 3 triliun (Rp 9 triliun dibagi PBV). Untuk mencapai angka ekuitas Rp 3 triliun, akumulasi nilai buku harus tumbuh sebesar 35 persen per tahun. Sebuah tingkat pertumbuhan yang teramat tinggi walaupun tidak mustahil.
Apalagi kalau titik impasnya adalah Rp 13 triliun, nilai buku ekuitas lima tahun mendatang adalah Rp 4,3 triliun. Itu berarti nilai ekuitas harus tumbuh sebesar 45 persen per tahun. Kalau saja keuntungan Bank Century tidak dibagikan dalam bentuk dividen dan dengan demikian diakumulasikan sebagai tambahan modal setiap tahun, kisaran target return on equity (ROE) yang harus dicapai adalah 35 sampai 45 persen per tahun. Sebuah target tingkat keuntungan yang jauh berada di atas normal. Sebagai catatan, ROE untuk bank sekelas Bank Century normalnya adalah sekitar 12 persen.
Kesimpulannya, kalau kerugian hanya diupayakan untuk ditutup dengan cara mengembangkan nilai jual, hampir bisa dipastikan sulit untuk dicapai. Dibutuhkan kerja ekstra keras selama lima tahun berturut-turut untuk menciptakan laba yang jauh di atas normal. Itu pun kalau setiap tahun terjadi keuntungan. Bagaimana kalau ternyata dalam kurun tertentu malah yang tercetak adalah kerugian operasional? Pasti lebih sulit lagi untuk menutupi kerugian.
Mengingat ketidakmungkinan tersebut, menutup kerugian talangan Bank Century jelas harus dibarengi dengan cara lain. Salah satunya adalah dengan mengejar aset yang dilarikan ke luar negeri oleh trio pemilik Bank Century, yakni RT, RAR, dan HAW. Data-data yang dilansir oleh Badan Reserse Kriminal Polri menunjukkan harta ketiga orang ini di luar negeri mencapai puluhan triliun rupiah. Masalahnya adalah kita belum bisa memastikan berapa harta mereka yang bisa disita.
Biasanya, semakin lamban aparat kita bertindak, semakin besar kemungkinan harta itu dipindahtangankan atau disembunyikan di negara-negara yang merupakan safe heaven. Kita hanya bisa berharap bahwa aparat hukum di negeri kita bisa sedikit lebih cekatan. Pengalaman kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dahulu, harta para buronan sulit untuk dikejar walaupun ada di negara tetangga.
Tampaknya tugas untuk bisa menutup kerugian tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada para profesional yang sekarang mengelola Bank Mutiara. Mau tidak mau, kita harus minta bantuan para penegak hukum, terutama yang berada di negara lain.
Iman Sugema Doktor Ekonomi bidang Moneter dan Perbankan
Opini Kompas 20 Januari 2010