Babe setidaknya mengaku telah membunuh delapan anak jalanan. Enam dimutilasi. Membaca rekam jejaknya, daftar korban masih mungkin bertambah, mengingat ia telah memulai perburuannya semenjak tahun 1997.
Begitu rapinya aksi kriminal Babe, kekejiannya terkamuflase selama lebih dari sepuluh tahun. Masyarakat tidak sedikit pun menaruh curiga pada perilaku Babe yang sesungguhnya ganjil itu.
Selama itu pula, pedagang asongan ini dikenal sebagai sosok penyayang anak sehingga masyarakat memanggilnya Babe. Sebuah panggilan hormat untuk ayah dalam bahasa Betawi.
Tanpa bermaksud membuka luka lama, teriring doa, empati, dan ungkapan duka mendalam bagi korban beserta keluarganya, penulis mencoba menelaah dari perspektif psikologi. Dengan lebih memahami, kita bisa mengantisipasi sehingga tragedi serupa tidak terulang
Paedofil berasal dari bahasa Yunani, pais yang berarti anak laki-laki dan philia yang berarti cinta, persahabatan. Paedofil sesungguhnya kelainan yang menghendaki pemuasan seksual dengan obyek anak pra-pubertas hingga usia sekitar 13 tahun.
Babe tak sekadar paedofil. Ia diindikasikan mengidap ”komplikasi” dengan homoseksual dan nekrofilia yang menyukai hubungan seksual dengan mayat. Ia hanya memilih anak laki-laki yang menurutnya ”berkelas”, mengeksekusi, menyodomi, memutilasinya dengan kesadaran.
Para pengidap paedofil ini biasanya sangat telaten dan selektif mencari mangsa sesuai seleranya. Mereka juga obsesif dan posesif terhadap korbannya. Lazimnya, mereka akan membangun persona (topeng) dengan bertindak sebagai penyayang anak. Kaum paedofil biasanya juga mendokumentasikan perilaku dan korbannya secara sistematis.
Pertanyaan yang lazim mengemuka, mengapa seseorang menjadi homoseksual paedofil? Faktor genetika, pengalaman, dan lingkungan serta interaksi antarfaktor tersebut bertanggung jawab atas munculnya paedofil. Dalam kasus Babe, tampaknya pengalaman traumatis diperkosa laki-laki di Lapangan Banteng sedemikian membekas dalam jiwanya, merusak struktur kepribadiannya, hingga membunuh naluri kelelakiannya.
Awalnya Babe adalah korban, tetapi selanjutnya, bisa jadi karena menikmati atau faktor balas dendam, ia aktif mencari korban. Anak, terutama anak jalanan, dipilih sebagai korban pengidap kelainan seksual, selain karena faktor selera ketertarikan, juga karena mudah didapat, dimanipulasi, dan paling lemah dalam pertahanan diri.
Tanpa sekali-kali bermaksud menyetujui segenap kekejian yang dilakukan Babe, penulis mengajak pembaca melihat lebih dekat kasus ini dari perspektif lain. Babe sesungguhnya bukan sekadar seorang pelaku. Babe adalah korban dari cacat peradaban yang kita bangun dalam masyarakat kita yang cenderung bergerak patologis.
Kita beranjak menjadi masyarakat modern yang berpotensi mengalami krisis eksistensi. Erich Fromm (2005) mendeskripsikannya sebagai ”malaise” (mal du siecle), kemerosotan hidup, otomatisasi diri, dan alienasi.
Alienasi merujuk pada seseorang yang tak sehat sendiri telah diprediksikan Fromm semenjak tahun 1955 dalam The Sane Society. Alienasi (aliene dalam bahasa Perancis atau alienado dalam bahasa Spanyol) adalah diksi yang lebih dahulu muncul untuk istilah psikotis, pribadi yang secara absolut terasing. ”Manusia modern”, kata Fromm, ”telah teralienasi dari dunia yang ia ciptakan sendiri, dari sesamanya, dari benda-benda, dari pemerintah, bahkan dari dirinya sendiri.
Kerasnya kehidupan membuat kita jadi makhluk yang individualis, cuek, dan abai terhadap lingkungan sekitar. Masyarakat dipaksa menghadapi perasaan sulit yang akut (an acute sense of unease) dalam kehidupan yang kian keras, berat, melelahkan. Situasi anomie, sebagaimana disebut Durkheim, kerancuan dan ketiadaan norma atau aturan yang mengikat mereka turut memperparah kondisi ini.
Sayang kita tidak bisa memutar mundur jarum jam sejarah. Babe tidak akan mengalami trauma pelecehan seksual oleh sesama jenisnya apabila tidak menggelandang. Babe menggelandang karena miskin dan sering mendapat kekerasan dari orangtuanya. Anak-anak juga tidak perlu menjadi korban Babe, seandainya mereka bukan anak jalanan. Mengapa mereka turun ke jalan? Faktor ekonomilah umumnya yang melatarbelakangi.
Kasus mutilasi Babe setidaknya adalah pelajaran bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara untuk senantiasa bijak dalam menjaga amanat kehidupan. Konstitusi kita, Pasal 34 UUD 1945, jelas mengamanatkan, fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara. Mereka tidak saja harus dilindungi, tetapi juga diberdayakan dan disejahterakan dengan fasilitas memanusiakan.
Dalam konteks ini, negara jelas telah berlaku lalai. Sekian lama kita bernegara, realitasnya, komunitas marginal yang harus menyabung nyawa di deru kehidupan jalanan, terus membengkak. Sebuah aksioma atas abai dan gagalnya pemerintah menjaga hak warga negara.
Mungkin karena terlalu sibuk mengurus negara. Atau justru karena mereka sibuk berseteru untuk merebut, mempertahankan, dan menikmati kursi kekuasaan. Alangkah menyedihkan.
Opini Kompas 20 Januari 2010