Oleh TOTOK SISWANTARA
Sebenarnya industri dalam negeri masih memiliki daya hidup menghadapi perdagangan bebas dunia, khususnya antara ASEAN dan Cina (ACFTA). Daya hidup itu tentu tidak bisa dilakukan secara instan. Akan tetapi, harus melalui kerja superkeras dan proses yang sistemik untuk mewujudkan praktik agilitas industri dalam negeri. Celakanya, strategi pengembangan industri selama ini hanya berkutat dengan regulasi setengah hati dan kebijakan stimulus fiskal yang tidak efektif. Selama ini, program stimulus industri nasional penyerapannya sangat lambat karena ketidaksiapan birokrasi di lapangan. Kehebatan industri Cina dalam hal cost leader mampu membuat produk dengan harga murah, sangat sulit dilawan industri Indonesia.
Dalam kondisi tersebut, mestinya strategi perindustrian di negeri ini memakai jurus diferensiasi. Namun, masalah diferensiasi juga sulit diwujudkan lantaran daya inovasi bangsa Indonesia masih rendah. Hal itu bisa dilihat dari indeks inovasi Indonesia yang jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Laporan International Innovation Index 2009 menempatkan Malaysia di posisi 21 dan Thailand di posisi 44. Sementara Indonesia di posisi ke-71 dari 108 negara yang diukur. Keinginan Menperin M.S. Hidayat agar sektor industri bisa tumbuh rata-rata 6 persen terasa hampa. Apalagi pelaku industri sekarang ini kesulitan menjalankan strategi dasar, seperti strategi biaya produksi rendah, strategi segmentasi pasar, dan strategi diferensiasi produk.
Salah satu sektor industri yang sangat rentan menghadapi perdagangan bebas adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) beserta derivatifnya. Total penyerapan tenaga kerja di industri TPT secara nasional mencapai empat juta orang. Selain itu, ada sekitar 200.000 unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang terkait industri TPT. Secara nasional, UKM-TPT mampu menyerap tenaga kerja hingga satu juta orang dengan nilai produksi rata-rata 15 triliun rupiah dan ekspor sekitar 900 juta dolar AS. Jika industri TPT kehilangan daya hidup alias tidak mampu bertahan menghadapi perdagangan bebas, akan terjadi ledakan pengangguran.
Spektrum industri TPT meliputi pembuatan serat buatan (man-made fibre) sampai dengan pakaian jadi (clothing atau garmen). Lokasi utama kluster industri TPT adalah di Jabodetabek (termasuk Karawang), Greater Bandung (meliputi Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Sumedang, dan Purwakarta), dan Semarang (kabupaten dan kota). Fakta menunjukkan, kondisi industri TPT sejak diberlakukannya AFTA pada 2003 semakin menurun kinerjanya akibat semakin rendahnya daya saing produk dibandingkan dengan negara kompetitor. Hal itu diperparah lagi dengan seringnya gejolak UMR (upah mininum regional), krisis listrik dan energi. Semua itu menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ironisnya, pemerintah kurang trengginas melihat kondisi itu. Sikap pemerintah itu pada gilirannya menyebabkan deindustrialisasi.
Selain itu, faktor otonomi daerah justru menyebabkan kenaikan pajak lokal dan menyuburkan korupsi. Pemerintah daerah berlomba-lomba membuat peraturan daerah untuk mengisi pendapatan asli daerah (PAD) tanpa memikirkan dampaknya bagi kelangsungan dunia usaha beserta nasib kaum buruh. Dunia usaha justru dililit oleh pajak daerah maupun retribusi daerah yang bukan saja membebani akan tetapi juga menambah inefisiensi. Masih ada perda yang tumpang tindih dan kurang rasional, seperti perda yang mengatur biaya retribusi tenaga kerja untuk kesehatan, kewajiban latihan tenaga kerja, dan PHK.
Mestinya di Indonesia semakin banyak industri yang dalam kondisi agilitas. Pada era digitalisasi ekonomi, agilitas (agility) merupakan bentuk praktik bisnis manufaktur yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Apalagi pengembangan kapabilitas dan fleksibilitas bagi usaha manufaktur adalah adanya transformasi. Pertama, craft production, penyelesaian kerja secara individual dengan basis job establishment and grade system. Kedua, mass production, produksi dilaksanakan untuk memproduksi barang dalam jumlah yang besar, variasi produk minimal dan meningkat ketika ada peningkatan waktu. Ketiga, lean production, penerapan prinsip just in time dan mengurangi kegiatan yang sia-sia untuk meminimalkan biaya produksi. Keempat, agile manufacture, menekankan pada upaya untuk mengurangi waktu yang didukung oleh job establishment dan kekompetenan tenaga kerja.
Industri nasional harus bisa mencapai kondisi agilitas, yaitu memiliki kapabilitas bisnis yang mencakup struktur organisasi, sistem informasi berbasis web, proses logistik, dan pola pikir organisasi yang cerdas dan fleksibel untuk merespons setiap perubahan yang terjadi secara cepat. Menurut pakar teknologi industri Hooper, agilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan mengeksploitasi kemampuan internal dan eksternal guna menyukseskan persaingan dalam lingkungan bisnis yang tidak dapat diprediksi.
Perkembangan konvergensi TIK yang sangat pesat, khususnya e-Procurement dan e-Commerce yang berbasis web service semakin mendorong agilitas industri. Karena mampu mengefektifkan link konsumen dan pemasok secara langsung. Agile supply chain memerlukan fleksibilitas dan sistem interoperabilitas sehingga tercapai rantai pasokan yang efektif. Sehingga perusahaan bisa menciptakan link dengan pasar, jaringan distribusi, proses pabrikan, dan aktivitas procurement untuk memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dengan biaya yang lebih rendah. Itulah yang menjadi kunci sukses entitas industri di Cina sehingga mampu membanjiri dunia dengan produk murahnya. Industri Cina semakin menggeliat karena faktor agilitas bersenyawa dengan faktor produktivitas tenaga kerja yang baik.***
Penulis, pengkaji transformasi teknologi dan industri.
Opini Pikiran Rakyat 20 Januari 2010