22 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Remaja dan HIV/ AIDS di Kudus

Remaja dan HIV/ AIDS di Kudus

DUA penderita acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di Kabupaten Kudus diketahui masih berusia di bawah lima tahun, mereka positif mengidap human immunodeficiency virus (HIV) karena lahir dari ibu yang terkena virus yang sama.

Hingga akhir bulan sedikitnya ditemukan 9 pengidap HIV/ penderita AIDS, dua di antaranya telah meninggal. (Suara Merdeka, 23 November 2009).


Mata kita akan terbelalak, heran sejenak. Selama ini di kota itu tidak ada informasi mengenai jumlah penderita penyakit menurunnya sistem kekebalan tubuh itu, tapi fakta berbicara lain.

Kita terninabobokan oleh sebutan Kota Santri karena di kota itu ada 86 pondok pesantren yang menggunakan pendekatan tradisional ataupun modern. Mungkin juga terlena sebagai simbol satu-satunya kabupaten di Indonesia yang menggunakan kata Arab: quds yang artinya suci (Cermin, 2005).

Kata-kata simbol, yang dianalogikan sebagai wujud dari kebaikan hanya akan menjadi kata-kata kosong manakala hanya dipahami sebagai status, kelekatan sejarah tetapi di dalamnya tidak menapak ke bumi dengan gerakan realitasnya untuk mencoba berpikir terbuka, kritis dan memahami bahwa ada masalah di dalamnya.

Bisa jadi, serbuan HIV/AIDS yang kita hanya kenal terjadi di kota-kota besar, Indonesia, akhirnya juga terjadi di kota Kudus. Apakah kita masih akan mengingkari bahwa di Kota Kretek, sebutan lain kota Kudus, tidak ada kasus HIV/AIDS? 

Sejak dicanangkan pada tanggal 1 Desember 1988 sebagai Hari Dunia untuk AIDS sampai hari ini persoalan dan permasalahan mengenai HIV/AIDS belum semakin membaik, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terbanyak di negara kita antara umur 20 dan 29 tahun, terinci 8.862 HIV dan 4.732 AIDS (Ditjen PPM & PL, Depkes RI, Juni 2009). 

Fakta ini menunjukkan bahwa  penderita AIDS masih usia produktif, jika sejak masa inkubasi  sejak terjangkit HIV positif  sampai ADIS positif adalah  5 ñ 10 tahun maka  bisa kita prediksi mereka tertular HIV sejak berumur 15 ñ  21 tahun dan usia ini termasuk dalam usia remaja.

Sindroma yang merontokkan sistem kekebalan tubuh itu  hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama, kendati jumlah kasus HIV/AIDS di Kudus  kelihatannya masih sedikit.

Namun  tentu saja angka yang kita dapatkan selama ini tidak menjamin kondisi yang sebenarnya, inilah yang dinamakan fenomena gunung es: data yang muncul  hanya menggambarkan situasi di permukaan, sementara kasus yang tidak diketahui  jauh lebih banyak.    

Jumlah penduduk di Kabupaten Kudus tercatat 747.488 jiwa terdiri atas 369.884 laki-laki dan 377.604 perempuan. Banyaknya penduduk menurut kelompok umur usia 10 ñ 19 tercatat 148.854 (BPS Kudus, 2007).

Menurut Piaget dalam Hurlock (1980, h.206) kajian psikologi perkembangan mengatakan bahwa usia  remaja didefinisikan sebagai usia ketika individu secara psikologis berinteraksi dengan masyarakat dewasa.

Pada masa remaja, anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkat yang sama.

 Antara lain dalam masalah hak dan berintegrasi dalam masyarakat, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok dan transformasi intelektual yang khas.

Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 tahun dan akhir remaja bermula dari usia 16 sampai 18 tahun yaitu usia matang secara hukum. Artinya jumlah usia dalam kategori remaja di Kudus sekitar 140 ribuan jiwa.

Adanya informasi yang diberikan pada remaja bahwa HIV/AIDS dapat menular pada semua orang perlu dimasyarakatkan sehingga membuat remaja akan lebih waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan.

Kewaspadaan akan memotivasi remaja untuk berperilaku seksual yang sehat.  Untuk itu, juga perlu adanya penanaman pendidikan kesehatan reproduksi  sejak kecil yang nantinya akan membentuk perilaku seksual yang sehat.

Hasil penelitian penulis tahun 2007 di Kudus dapat disimpulkan, pertama, remaja di Desa Mata Air di Kudus telah melakukan beberapa perilaku seksual seperti mengenal berpacaran dengan cara pegangan tangan,  memeluk, mencium, dan ada yang melakukan hubungan pranikah.

Kedua, Orang tua di Desa Mata Air bisa dikatakan hanya sedikit berperan dalam perkembangan seksualitas remaja, hal ini terlihat dari minimnya perhatian dari orang tua ketika putra atau putrinya menginjak remaja dengan dimulainya siklus menstruasi dan mimpi basah (10)

— Mochamad  Widjanarko, dosen di  Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, dan peneliti sosial
Wacana Suara Merdeka 23 Januari 2010